KontraS, Imparsial, YLBHI Siapkan Gugatan ke MK, Tolak Pengesahan Revisi UU TNI


Sejumlah lembaga pro demokrasi berencana mengajukan gugatan terhadap revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang sudah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Kamis (20/3), hari ini. Langkah uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai sebagai langkah yang paling realistis untuk menggugurkan pengesahan revisi UU TNI.
Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra menegaskan pihaknya bersama dengan koalisi masyarakat sipil berencana mengajukan gugatan terhadap UU TNI. Imparsial sejauh ini masih menunggu draf UU TNI yang disahkan oleh DPR.
"Sementara ini tidak ada jalan lain yang tersedia secara konstitusional selain dari mengajukan judicial review ke MK. Karena melalui legislative and executive review nyaris mustahil untuk saat ini," kata Ardi lewat pesan singkat WhatsApp, Kamis (20/3).
Ardi menambahkan Imparsial akan lebih dulu mempelajari aspek formil maupun materil dari revisi UU TNI yang baru disahkan hari ini. Menurutnya, ada perubahan paradigma signifikan dalam UU TNI teranyar yang cenderung mereduksi prinsip supremasi sipil.
Sikap serupa juga disampaikan oleh KontraS. Koordinator KontraS, Dimas Arya Sapurta menyampaikan pihaknya berniat mengajukan uji materi ke MK terhadap UU TNI hasil revisi saat ini. Mereka berencana untuk segera menggelar koordinasi dengan kelompok masyarakat sipil lainnya. "Yang berkaitan dengan materilnya tentu akan dilakukan secara bersama-sama masyarakat sipil," kata Dimas melalui pesan suara WhatsApp, Kamis (20/3).
Dimas menegaskan jalur gugatan ke MK merupakan langkah paling efektif untuk membatalkan pasal atau aturan yang dianggap bermasalah dalam UU TNI terbaru. KontraS menyadari bahwa jalur politik melalui parlemen atau legislative review tidak efektif karena minimnya oposisi dan besarnya pengaruh pemerintah.
"Legislative review persyaratannya tidak terpenuhi karena tidak ada partai politik yang menyuarakan penolakan terhadap revisi UU TNI," ujar Dimas.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga bersikap serupa. Mereka mempertimbangkan judicial review ke MK sebagai opsi untuk menyikapi pengesahan revisi UU TNI. "Tentang ke MK kami belum diskusikan lebih lanjut, tapi ini adalah opsi," kata Ketua YLBHI Muhammad Isnur, Kamis (20/3).
Organisasi pro demokrasi lainnya, yakni PARA Syndicate juga menilai bahwa uji materi ke MK adalah salah satu langkah yang perlu ditempuh untuk menolak revisi UU TNI. Pengesahan revisi UU TNI dinilai berpotensi melemahkan supremasi sipil dan demokrasi.
"Sebelum langkah itu dilakukan, kami akan berkonsolidasi dengan masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi pro-demokrasi lainnya agar langkah ini memiliki dasar hukum yang kuat serta dukungan publik yang luas," kata Direktur Eksekutif PARA Syndicate, Virdika Rizky Utama.
Virdika menekankan upaya untuk menggugat pengesahan revisi UU TNI juga harus dibarengi dengan suara gerakan masyarakat sipil melalui media, aksi massa, maupun diskusi publik untuk menolak kembalinya militerisme ke ranah sipil.
"Kesadaran publik mengenai dampak buruk dari revisi ini terhadap demokrasi juga perlu diperkuat agar tidak ada normalisasi terhadap kebijakan yang mengancam reformasi 1998," ujarya.
Dewan Perwakilan rakyat telah mengesahkan revisi undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI dalam forum rapat paripurna pada Kamis (20/3).
Ketua DPR Puan Maharani menyampaikan ada tiga perubahan yang tercantum dalam revisi UU TNI, antara lain penambahan tugas pokok prajurit selain perang, penambahan pos sipil yang dapat dijabat oleh prajurit aktif dan perpanjangan batas usia pensiun.