Kronologi Kapal Tongkang Tabrak Jembatan Mahakam dan Penjelasan Pelindo


Kapal tongkang menabrak Jembatan Mahakam pada Sabtu malam (26/4). PT Pelabuhan Indonesia atau Pelindo Regional 4 Samarinda memberikan klarifikasi terkait insiden ini.
Tim Humas Pelindo Regional 4 Samarinda Ali Akbar menjelaskan insiden kapal tongkang menabrak Jembatan Mahakam terjadi sekitar pukul 23.00 WITA, Sabtu malam (26/4). Saat itu, kapal tongkang milik PT SKA sedang melakukan olah gerak tambat untuk menunggu pelayanan penggolongan jembatan keesokan harinya.
"Pada jam tersebut sudah tidak masuk jam kegiatan penggolongan di Jembatan Mahakam," ujar Ali Akbar, dikutip dari Antara, Minggu (27/4).
Saat olah gerak tambat, tali pengikat tugboat ke tongkang putus. Akibatnya, tongkang hanyut terbawa arus ke arah bawah jembatan.
Upaya penahanan yang dilakukan oleh tugboat pemilik barang tidak berhasil, sehingga pihak kapal melaporkan kejadian tersebut ke kepanduan Pelindo untuk meminta bantuan evakuasi.
Pelindo sebagai pihak yang mengelola operasional pelayaran kapal di Sungai Mahakam Samarinda kemudian mengerahkan dua unit kapal tunda untuk melakukan evakuasi.
Saat proses evakuasi, posisi tongkang sudah melewati kolong jembatan dan mendekati Jety Pertamina. Evakuasi akhirnya dilakukan ke area dekat Masjid Jami' Darun Ni'mah, Karang Asam.
"Posisi Pelindo di sini membantu evakuasi tongkang yang hanyut di wilayah kerja Pelindo sebagai tanggung jawab atas keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan maritim," ujar Ali Akbar.
Benturan tersebut menyebabkan kerusakan pada area safety fender, yang berfungsi sebagai pelindung utama pilar jembatan.
Sebagai catatan, Jembatan Mahakam I berulang kali menjadi korban tabrakan kapal tongkang. Insiden serupa terakhir terjadi pada Minggu sore, 16 Februari, ketika tongkang bermuatan kayu sengon menabrak fender pilar ketiga atau P3 jembatan.
Jembatan Mahakam I dibangun oleh PT Hutama Karya (Persero) pada 1982 dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 2 Agustus 1986. Pembangunan jembatan sepanjang 400 meter, lebar 10 meter, dan tinggi lima meter ini menelan biaya Rp 7,2 miliar.
Desainnya yang terinspirasi arsitektur Belanda dengan konstruksi baja itu juga dilengkapi dengan dua jalur pejalan kaki di sisinya.
Anggota DPRD Kalimantan Timur atau Kaltim Sapto Setyo Pramono yang ikut meninjau lokasi kejadian, menyampaikan keprihatinannya. Ia menekankan bahwa insiden ini seharusnya tidak terjadi, mengingat telah ada Peraturan Daerah atau Perda Nomor 1 Tahun 1989 yang mengatur zona steril di sekitar jembatan.
"Area steril itu 500 meter, dan 5 kilometer steril di kanan kirinya. Ini memang harus kita perhatikan, jadi kalau sudah begini ini sudah ranah pidana," kata Sapto.
Ia meminta pertanggungjawaban dari Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan atau KSOP dan Pelindo atas insiden itu. Dia telah berkoordinasi dengan Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional atau BPJN untuk melakukan evaluasi menyeluruh terkait kejadian tersebut.
"Saya minta rapat secepat-cepatnya besok. Kami panggil semua pihak, siapa saja, bahkan instansi yang lalu lintas di pengolongan ini siapa saja, ini enggak boleh dibiarkan," ujarnya.
Sapto mendesak agar lalu lintas penggolongan jembatan ditutup sementara waktu untuk mencegah terjadinya korban jiwa, mengingat pengalaman buruk insiden serupa di Jembatan Kutai Kartanegara beberapa waktu lalu.