BGN Atur Bhayangkari, TNI AD, dan Muhammadiyah Kelola Banyak Dapur MBG


Badan Gizi Nasional (BGN) menertibkan aturan tata kelola program makan bergizi gratis (MBG) terkait pengelolaan dapur pusat atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Perbaikan skema ini merupakan hasil evaluasi terhadap masalah pembayaran di SPPG di Kalibata, Pancoran, Jakarta.
Kepala BGN, Dadan Kusdiana, menguraikan polemik SPPG Kalibata berawal dari yayasan yang bekerja sama dengan BGN tapi tidak memiliki fasilitas dapur sendiri. Dadan mengatakan yayasan tersebut hanya menitip operasional kepada pihak lain. Polemik berlanjut ketika uang yang dikirim BGN ke yayasan tidak dibayarkan ke pemilik fasilitas dapur.
Dadan mengatakan pihaknya kini membatasi yayasan yang dapat mengelola SPPG dalam satu provinsi. Aturan teranyar itu mengatur satu yayasan hanya dapat mengelola 10 SPPG. “Kalau lintas provinsi hanya 5 SPPG,” kata Dadan saat menghadiri rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR, pada Selasa (6/5).
Pengecualian diberikan kepada yayasan yang terafiliasi dengan institusi resmi seperti Bhayangkari Polri dan Kartika Eka Paksi yang terafiliasi dengan TNI AD. “Contoh lain Muhammadiyah. Muhammadiyah itu satu di seluruh dunia, maka mereka sudah memiliki pojok khusus sehingga memungkinkan untuk mengolah SPPG di seluruh Indonesia,” ujar Dadan.
Penyebab Keracunan Makanan
Dadan juga enguraikan penyebab kasus keracunan makan bergizi gratis (MBG). Dia menjelaskan menu makanan MBG yang dimasak terlalu awal sehingga menjadi basi ketika dihidangkan.
Kasus keracunan pertama terjadi di SDN 3 Dukuh Sukoharjo, Jawa Tengah, pada 16 Januari lalu. Saat itu, 40 siswa SDN Dukuh 03 Sukoharjo yang mual dan muntah-muntah karena melahap menu MBG.
Menurut Dadan, perkara yang menimpa puluhan siswa itu dipicu oleh kondisi makanan yang belum matang. "Jadi saat masakan sudah diolah, saat mau menggoreng gasnya habis," kata Dadan dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi IX DPR pada Selasa (6/5).
Situasi serupa juga terjadi di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Sumatera Selatan pada Senin, 5 Mei. Saat itu, 121 siswa dari tingkat PAUD hingga SMA mengalami keracunan makanan bergizi gratis yang disediakan satu penyedia pangan gizi (SPPG) di wilayah tersebut.
Dadan melanjutkan, penyebab 60 siswa SDN Proyonanggan 5 Batang, Jawa Tengah, mengalami gejala mual dan sakit perut setelah mengkonsumsi hidangan MBG pada 18 April karena waktu distribusi yang tidak sesuai semestinya.
"Masakan dalam keadaan baik, kemudian dikirim dengan tepat waktu. Tetapi di sekolah ada acara, sehingga makanan itu terlambat dimakan oleh siswa," ujarnya.
Lebih lanjut, Dosen Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor (IPB) itu juga menjelaskan asal mula keracunan makan yang menimpa 78 anak di MAN 1 dan SMP PGRI 1, Cianjur, Jawa Barat pada 22 April. Dadan mengatakan, pihaknya masih menunggu hasil uji laboratorium untuk menguraikan sebab insiden keracunan tersebut.
Selanjutnya, Dadan juga menjelaskan sebab keracunan MBG di SMPN 35 Kota Bandung, Jawa Barat pada 29 April lalu. Menurutnya, insiden keracunan yang menimpa 342 siswa dan dua orang guru tersebut berawal dari paket makanan yang diolah oleh restoran yang dikonversi menjadi SPPG.
Dadan menilai tempat itu seharusnya sudah memenuhi standar kebersihan dan kelayakan makanan. "Jadi sebetulnya dari segi kualitas makanan higienis sudah sebetulnya memenuhi syarat. Tetapi ada beberapa siswa yang terdampak kami sampai sekarang belum dapat laporan," kata Dadan.
Di hadapan para anggota parlemen, Dadan mengatakan pihaknya telah memperbaharui standar operasional prosedur (SOP). Antara lain pemilihan bahan baku yang lebih selektif.
Selain itu, BGN juga berencana untuk menerapkan aturan untuk mempersingkat selisih waktu antara waktu memasak dengan waktu pengiriman. "Ini untuk mencegah terjadinya basi," kata Dadan.
BGN juga meningkatkan protokol keamanan saat proses pengantaran dari SPPG ke sekolah. Dadan menyebut pihaknya kini menerapkan toleransi waktu 15-30 menit agar paket makanan segera dapat disantap oleh siswa setibanya di sekolah.