Ekonom Nilai Kebijakan Prabowo Banyak Terinspirasi Pemikiran Sumitro


Gagasan begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo diyakini masih relevan untuk diimplementasikan dalam kebijakan ekonomi Indonesia saat ini. Para ekonom menilai banyak pemikiran Sumitro yang menginspirasi kebijakan ekonomi Presiden Prabowo Subianto.
Tidak hanya soal pengelolaan aset-aset negara melalui Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), kebijakan lainnya seperti program hilirisasi sumber daya alam hingga kebijakan deregulasi pemerintahan Prabowo saat ini juga memiliki kaitan dengan pemikiran Sumitro.
Hal ini disampaikan sejumlah ekonom senior dalam sesi panel Membedah Gagasan Sumitro: Negara sebagai Motor Pembangunan dalam simposium nasional ‘Sumitronomics dan Arah Ekonomi Indonesia" yang diselenggarakan oleh Katadata, di Jakarta, Selasa (3/6). Katadata bekerja sama dengan Ikatan Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (Iluni FEB UI) sebagai knowledge partner dalam acara ini.
Penguatan Pengelolaan Modal Dalam Negeri Lewat Danantara
Ide bahwa negara perlu andil dalam pengelolaan investasi atau yang sekarang dikenal lewat BPI Danantara awalnya dicetuskan oleh Sumitro. Lembaga ini diresmikan oleh Prabowo pada Februari 2025 lalu.
Sumitro sebelumnya pernah menyebut bahwa diperlukan lembaga khusus yang mengelola dana hasil penyisihan laba badan usaha milik negara (BUMN).
“Sumitro menekankan pentingnya pemupukan modal dalam negeri, jadi bukan hanya investasi asing. Itulah Danantara dalam pandangan saya,” kata Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Prof. Didik Rachbini.
Pengajar Economies in South and Southeast Asia Leiden University, Rizal Sidiq, menyebut Sumitro pernah mengusulkan lembaga National Development Investment Corporation Agency di Malaysia ketika ia menjadi advisor untuk pemerintah Malaysia.
“Tapi itu bukan sovereign wealth fund, lebih ke upaya memusatkan investasi ke dalam satu lembaga. Sumitro menganggap saat itu investor atau sektor privat Malaysia masih terlalu kecil dan fragmented,” kata Rizal dalam simposium nasional "Sumitronomics dan Arah Ekonomi Indonesia" yang diselenggarakan Katadata, di Jakarta, Selasa (3/6).
Hilirisasi Ala Sumitro
Sumitro juga kerap menekankan urgensi industrialisasi dan nilai tambah dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara. “Di bukunya, Sumitro menyebutkan pentingnya diversifikasi vertikal atau meningkatkan nilai tambah dengan yang disebut hilirisasi,” kata Ekonom senior Universitas Gadjah Mada (UGM) Denni Puspa Purbasari, dalam acara yang sama.
Hilirisasi di Indonesia digencarkan di era Presiden RI ke-7 Joko Widodo dan kemudian dilanjutkan Presiden Prabowo Subianto. Bulan Mei lalu, Prabowo menyetujui 18 proyek hilirisasi dengan total investasi mencapai US$ 45 miliar atau setara Rp 734 triliun.
Namun, Sumitro menekankan peningkatan nilai tambah seharusnya berjalan beriringan dengan penciptaan lapangan kerja.
“Nilai tambah sebagai dimensi tunggal atau tujuan tersendiri tanpa melanjutkan lapangan kerja produktif sama saja menimbulkan keresahan di bidang sosial dan kestabilan politik dalam negeri,” kata Arianto Patunru, Policy and Engagement Manager di Australian National University (ANU) Indonesia Project, Crawford School of Public Policy, dalam acara yang sama.
Deregulasi untuk Menarik Investasi
Sumitro juga pernah menyinggung tentang pemerintah yang seharusnya mengutamakan penciptaan iklim usaha yang mengandung kepastian. Hal ini untuk mendorong kelancaran perdagangan dalam dan luar negeri.
“Jika ditarik pada masa kini, ini terlihat dari deregulasi yang ditekankan Presiden Prabowo,” kata Arianto.
Untuk diketahui, pemerintah saat ini tengah merelaksasi sejumlah regulasi untuk meningkatkan daya saing dan mempercepat investasi sektor padat karya, salah satunya dengan merelaksasi kewajiban Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Kebijakan ini diyakini akan membuat investor tertarik untuk masuk dan membangun fasilitas produksi di Indonesia.