Tambang Nikel di Raja Ampat Melanggar Hukum, Ini Alasannya


Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyebut, operasi tambang milik PT Gag Nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya jauh dari Kawasan wisata unggulan Pulau Pianemo. Namun, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai, aktivitas penambangan nikel anak perusahaan BUMN PT Antam Tbk ini tetap melanggar hukum.
Feri menjelaskan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sudah menegaskan larangan aktivitas tambang di pulau kecil.
Berdasarkan ketentuan ini, menurut Feri, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk konservasi Pendidikan dan pelatihan dan pengembangan budidaya laut pariwisata, usaha perikanan, pertanian organik, peternakan, dan atau pertahanan dan keamanan negara.
“Sebutkan dimana urusan yang berkaitan dengan pertambangan berdasarkan undang-undang ini? Tidak boleh aktivitas apapun bertentangan dengan undang-undang,” kata Feri kepada Katadata.co.id, Senin (9/6).
Feri juga menyoroti keputusan Bahlil mencabut izin tambang PT Gag Nikel yang hanya sementara. Jika melihat Pasal 51 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014, menteri berwenang dapat menerbitkan dan mencabut izin pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya yang menimbulkan dampak penting dan cakupan luas.
“Saya dengar, ada artis yang berbisnis di sekitar pulau itu untuk pariwisata mengatakan bahwa sudah ada dampak lingkungan yakni coral bleaching. Terumbu karang berubah warna jadi pucat akibat perubahan ekosistem,” ujar Feri.
Ia pun menegaskan Bahlil seharusnya bisa merespons aktivitas pertambangan di Raja Ampat dengan mencabut izin tambang secara permanen. Ia menegaskan, aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil tidak diperbolehkan sesuai dengan undang-undang.
Penambangan Nikel Ancam Pariwisata
Jaringan kampanye global, Greenpeace, menemukan aktivitas pertambangan di sejumlah pulau Raja Ampat, seperti Gag, Kawe, dan Manuran. Ketiga pulau ini berkategori kecil dan seharusnya tidak boleh ditambang menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil.
Eksploitasi nikel di ketiga pulau itu telah membabat lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami khas setempat. Sejumlah dokumentasi pun menunjukkan adanya limpasan tanah yang memicu sedimentasi di pesisir, yang berpotensi merusak karang dan ekosistem perairan Raja Ampat, Papua Barat.
Juru Kampanye Greenpeace Indonesia Rio Rompas mengatakan, penambangan nikel di sana dapat memberikan dampak buruk, baik untuk lingkungan maupun pariwisata. Jumlah kunjungan wisatawan berpotensi turun karena keindahan laut dan lokasi menyelam (diving) akan terganggu.
Dari segi lingkungan, dampak yang sudah terjadi adalah deforestasi, sedimentasi pesisir pantai, kerusakan terumbu karang, dan kekeruhan air laut di sekitarnya.
Selain Pulau Gag, Kawe, dan Manuran, pulau kecil lain di Raja Ampat yang terancam tambang nikel adalah Pulau Batang Pele dan Manyaifun. Kedua pulau yang bersebelahan ini berjarak kurang lebih 30 kilometer dari Pianemo, gugusan bukit karst yang gambarnya terpacak di uang pecahan Rp 100 ribu.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang atau Jatam Melky Nahar mengatakan, Pulau Gag merupakan contoh nyata kerusakan sistemik akibat kebijakan pertambangan yang dijalankan dalam ruang tertutup, elitis, dan berpihak pada kepentingan segelintir.
“Sejumlah perubahan tata ruang, pelepasan kawasan konservasi hingga penerbitan izin tambang dilakukan tanpa keterlibatan masyarakat adat dan publik luas,” kata Melky.