Istana Bantah Hari Kebudayaan karena Ulang Tahun Prabowo: Masukan Budayawan
Istana Kepresidenan menepis tudingan yang menyebut penetapan Hari Kebudayaan Nasional (HKN) pada 17 Oktober yang bertepatan dengan hari lahir Presiden Prabowo bersifat cocoklogi atau politis.
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan atau Presidential Communication Office (PCO), Hasan Nasbi, mengatakan penetapan tanggal 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional adalah masukan dari para budayawan dan pelaku seni, bukan keputusan sepihak pemerintah.
"Hasil komunikasi kami dengan Kementerian Kebudayaan, ini merupakan masukan dari para budayawan, para pekerja seni, tradisi," kata Hasan saat menggelar konferensi pers di Kantor Komunikasi Kepresidenan, Gedung Kwartir Nasional Gerakan Pramuka pada Rabu, (16/7).
Hasan mengatakan, pemilihan tanggal 17 Oktober adalah terkait lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1951. Tanggal tersebut dianggap puncak pengakuan terhadap keberagaman.
Pada saat itu, negara memasukkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai bagian lambang negara dan penetapan burung Garuda sebagai lambang negara.
"Menurut kajian yang disampaikan ke Kementerian Kebudayaan, inilah puncak pengakuan keberagaman kita sebagai bangsa yang plural," katanya.
Hasan mengatakan ada tujuh tanggal lain yang juga dipertimbangkan sebagai alternatif Hari Kebudayaan Nasional. Meski begitu, tanggal-tanggal tersebut sudah memiliki peringatannya sendiri sehingga tidak dipilih untuk menghindari tumpang tindih.
Hasan mengatakan tanggal tersebut antara lain 2 Mei yang sudah ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional dan 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
"Tapi karena hari-hari itu sudah ada hari peringatannya, dan hari ini juga, tanggal 17 Oktober ada momen sejarahnya, maka ini pengakuan resmi pemerintah terhadap keberagaman dengan dimasukannya semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai bagian tidak terpisahkan," ujar Hasan.
Keputusan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menetapkan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional (HKN) mendapat sorotan dari sejarawan dan akademisi.
Mereka memberikan catatan terkait pertimbangan Fadli Zon yang merujuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara sebagai dasar penetapan HKN pada 17 Oktober.
Sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan PP yang mengatur lambang negara Indonesia yakni Garuda Pancasila, dengan semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ tidak relevan sebagai dasar penentuan hari kebudayaan. Ia menyebut PP tersebut bukan peristiwa yang berkaitan langsung dengan kebudayaan nasional.
“Apa hubungannya lambang negara dengan kebudayaan? 17 Oktober saya kira bukan hari kebudayaan,” kata Asvi saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Selasa (15/7).
Asvi beranggapan penetapan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional lebih bersifat politis seiring tanggal tersebut juga merupakan tanggal kelahiran dari Presiden Prabowo Subianto pada 1951 silam.
Pensiunan Profesor Riset Bidang Sejarah Sosial Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu juga menganggap penetapan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional mengandung konteks sejarah tertentu yang sensitif bagi militer.
