5.900 Siswa Keracunan MBG, BGN Desak SPPG Punya Sertifikat Kebersihan

Muhamad Fajar Riyandanu
26 September 2025, 19:46
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana memberikan keterangan dalam konferensi pers Evaluasi BGN terkait Program Makan Bergizi Gratis Tahun 2025 di Kantor Badan Gizi Nasional, Jakarta, Senin (22/9/2025). Dalam evaluasinya Badan Gizi Nasional akan
ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/YU
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana memberikan keterangan dalam konferensi pers Evaluasi BGN terkait Program Makan Bergizi Gratis Tahun 2025 di Kantor Badan Gizi Nasional, Jakarta, Senin (22/9/2025). Dalam evaluasinya Badan Gizi Nasional akan membentuk tim investigasi untuk mencari penyebab dugaan keracunan siswa usai mengkonsumsi MBG, dimana berdasarkan data temuan BGN sampai dengan 22 September 2025 terdapat 4.711 orang terdampak kejadian luar biasa (KLB) dugaan keracunan program Makan Bergiz
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Badan Gizi Nasional (BGN) mendesak satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG) agar segera memiliki Sertifikasi Laik Higiene dan Sanitasi atau SLHS dari Kementerian Kesehatan. Sertifikat tersebut ditargetkan paling lambat bulan depan.

Langkah ini merupakan respons terhadap lonjakan kasus keracunan yang menyoroti lemahnya pengawasan keamanan pangan di berbagai daerah.

Wakil Kepala BGN, Nanik Sudaryati Deyang, menenakankan lembaganya kini berupaya untuk memperketat pengawasan kualitas paket MBG kepada para siswa sekolah dan penerima manfaat lainnya seperti ibu hamil.

“Kami memberikan batas waktu satu bulan untuk melengkapi SLHS, sertifikat halal, dan penggunaan air layak pakai dalam waktu satu bulan,” kata Nanik dalam konferensi pers di Kantor BGN, Jakarta Pusat, pada Jumat (26/9).

BGN mencatat ada 5.914 pemerima manfaat MBG mengalami keracunan sejak Januari hingga 25 September yang tersebar di 70 lokasi. Para penerima yang menjadi korban terdiri dari anak sekolah dan ibu hamil. BGN mencatat kasus tersebut tersebar di tiga wilayah. Wilayah II atau Jawa menjadi yang tertinggi dengan 41 kasus yang melibatkan 3.610 orang.

Di urutan berikutnya, Wilayah I yakni Sumatra melaporkan 9 kasus dengan 1.307 orang terdampak. Sementara Wilayah III yang mencakup NTB, NTT, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua, tercatat ada 20 kasus dengan 997 orang mengalami keracunan.

Kasus ini juga menunjukkan lonjakan pada Agustus dan September. BGN mencatat pada Januari terdapat 4 kasus dengan 94 korban. Jumlah itu kemudian melonjak drastis menjadi 9 kasus dengan 1.988 orang terdampak pada Agustus, lalu kembali meningkat hingga 44 kasus dengan 2.210 orang terdampak pada September.

Lima daerah dengan jumlah korban terbanyak meliputi Kota Bandar Lampung dengan 503 orang, disusul Kabupaten Lebong, Bengkulu 467 orang, Kabupaten Bandung Barat 411 orang, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah 339 orang, serta Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta sejumlah 305 orang.

Istana Kepresidenan sebelumnya menyampaikan puncak kejadian keracunan tertinggi terjadi pada Agustus dengan sebaran terbanyak di Jawa Barat. Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Muhammad Qodari, menyampaikan situasi keracunan yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain kebersihan makanan yang kurang terjaga, suhu makanan dan pengolahan pangan yang tidak sesuai, serta kontaminasi silang dari petugas.

Qodari mengatakan ada masalah kepatuhan terhadap standar keamanan pangan di SPPG. Kementerian Kesehatan per September 2025 menunjukkan dari 1.379 SPPG, hanya 413 yang memiliki standar operasional prosedur (SOP) Keamanan Pangan, dan 312 yang benar-benar menjalankan SOP tersebut.

"Dari sini sudah kelihatan kalau mau mengatasi masalah ini, maka kemudian SOP keamanan pangan harus ada dan dijalankan," kata Qodari dalam konferensi pers kepada wartawan di Gedung Bina Graha, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta pada Senin (22/9).

Qodari meminta SPPG memiliki Sertifikasi Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS) yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan. Sertifikat ini berfungsi sebagai bukti tertulis bahwa suatu SPPG memenuhi standar baku mutu dan persyaratan keamanan pangan untuk olahan dan pangan siap saji.

Berdasarkan data per 22 September, dari 8.583 SPPG, hanya 34 SPPG yang sudah memiliki SLHS, sementara 8.549 SPPG belum memilikinya. "SPPG itu harus punya SLHS dari Kementerian Kesehatan sebagai upaya mitigasi dan pencegahan keracunan pada program MBG," kata Qodari.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...