Penggugat Jelaskan Alasan Gugat Aturan Uang Pensiun DPR ke MK: Bebani APBN

Ade Rosman
10 Oktober 2025, 12:04
dpr, pensiun, mk
ANTARA FOTO/Fauzan/bar
Suasana sidang putusan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Bupati Kabupaten Bangka Tahun 2024 dan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (29/9/2025).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Seorang psikolog bernama Lita Linggayani Gading dan advokat bernama Syamsul Jahidin mengajukan gugatan pengujian materiil atau judicial review aturan uang pensiun anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Mereka menggugat Pasal 1 Huruf B, Pasal 1 Huruf F, Pasal 12 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, ke MK.

Para pemohon merasa keberatan pajak.yang dibayarkannya digunakan untuk membayar uang pensiun anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seumur hidup, padahal anggota dewan hanya bertugas selama lima tahun dalam satu  masa jabatannya. 

“Pemohon I yang  juga berprofesi sebagai akademisi/praktisi/pengamat kebijakan publik dan pembayar pajak, tidak rela pajaknya digunakan untuk membayar tunjangan pensiun seumur hidup anggota DPR yang hanya menempati jabatan hanya 5 tahun,” kata Jahidin dalam sidang, Jumat (10/10). 

Dalam permohonan yang dibacakan Jahidin itu, disampaikan bahwa Lita memiliki tanggung jawab moral dan intelektual untuk turut serta dalam mengawasi, mengkritisi, dan memastikan bahwa prinsip-prinsip kesehatan mental.

Salah satu yang disoroti yaitu Pasal 1 Huruf F, yang berbunyi sebagai berikut: 

Anggota Lembaga Tinggi Negara, adalah Anggota Dewan Pertimbangan Agung, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Badan Pemeriksa Keuangan, dan Hakim Mahkamah Agung”. 

Kemudian Pasal 12 Ayat 1: “Pimpinan dan Anggota Lembaga Tinggi Negara yang berhenti dengan hormat dari jabatannya berhak memperoleh pensiun”. 

Para pemohon menyoroti frasa ‘Anggota Dewan Perwakilan Rakyat’, yang mana seseorang yang menempati jabatan anggota DPR dengan masa jabatan 5 tahun mendapatkan pensiun aktif seumur hidup dan mewariskannya tanpa mempertimbangkan ASN atau pegawai lain di pemerintahan yang bekerja puluhan tahun.

“Banyaknya anggota DPR yang menjadi beban negara (APBN) hingga membebani pajak masyarakat sehingga oleh keberlakuan norma tersebut, para pemohon kehilangan hak konstitusional yang sudah dijamin oleh UUD NRI 1945,” kata Jahidin. 

Pemohon juga menyoroti fenomena banyaknya artis yang menjadi Anggota DPR karena fenomena ini dipandang sebagai salah satu faktor yang menyebabkan menurunnya kualitas kinerja DPR.

“Akibatnya, hak Pemohon I sebagai warga negara pembayar pajak, akademisi/Praktisi/pengamat kebijakan publik merasa pemanfaatan dan penggunaan pajak tidak tepat," kata Jahidin.

Jahidin juga menilai pemberian hak pensiun kepada anggota DPR sangat tumpang tindih dengan banyaknya tenaga guru honorer yang berada di daerah 3 T.  "Faktanya pensiun DPR yang menjadi beban APBN dan menciptakan ketidakseimbangan (inequality of arms) dalam hukum,” kata dia. 

Oleh sebab itu, para pemohon meminta agar mahkamah menyatakan Pasal 1 Huruf B, Pasal 1 Huruf F, Pasal 12 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Undang - Undang Nomor 12 Tahun 1980 bertentangan secara bersyarat dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Ade Rosman

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...