Profil Sarwo Edhie Wibowo: Karier Melejit Usai 1965 hingga Disingkirkan Soeharto
Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada 10 tokoh, salah satunya yakni Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo. Ia merupakan ayah dari Kristiani Herrawati atau Ani Yudhoyono yang merupakan istri dari Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Sarwo Edhie lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 25 Juli 1925, dan wafat Jakarta, 9 November 1989. Ia lulus dari Akademi Militer Yogyakarta pada 1946.
Sarwo Edhie Wibowo dianugerahi gelar pahlawan dalam bidang bersenjata dari Jawa Tengah. “Pahlawan dalam bidang bersenjata. Perjuangan militer dari Sarwo Edhie dimulai sebagai komandan Kompi dalam TKR selama periode perang kemerdekaan 1945 - 1949,” penjelasan pembawa acara dalam upacara penganugerahan gelar pahlawan di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11).
Sarwo Edhie memiliki hubungan yang kompleks dengan Presiden ke-2 RI Soeharto. Mulanya hubungan mereka sangat dekat, Soeharto yang menjadi Panglima Angkatan Darat mengukuhkan Sarwo Edhie dikukuhkan menjadi Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) pada 1966.
Namun, setelah beberapa tahun api perseteruan Sarwo Edhie Wibowo dengan Soeharto mulai muncul. “Karena adanya persaingan politik di kalangan pejabat, Sarwo Edhie Wibowo menjadi orang yang disingkirkan dari pusat pemerintahan pasca peristiwa G30S,” dikutip dari buku Jurnal Peran Sarwo Edhie Wibowo Pasca Peristiwa G30S Tahun 1967-1989 karangan Abdul Syukur dan Kurniawati 2021.
Sarwo Edhie menjadi sosok yang cenderung kritis terhadap penyimpangan Orde Baru, terutama terkait korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Sarwo Edhie juga tidak sejalan dengan gaya kepemimpinan Soeharto yang semakin otoriter.
Berikut kronik perjalanan karier Sarwo Edhie dan hubungannya dengan Soeharto:
Karier Sarwo Edhie Sebelum 1965
Pada masa pendudukan Jepang yakni 1943–1945, Sarwo Edhie bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA), organisasi militer bentukan Jepang. Kemudian, ia bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 1945–1949. Ia bertugas di Purworejo dan sekitarnya.
Ia tetap aktif di Angkatan Darat setelah pengakuan kedaulatan, dan menempuh pendidikan militer lebih lanjut. Sarwo lalu menduduki berbagai posisi di kesatuan infanteri dan staf teritorial sejak 1950-an. Kemudian, ia diangkat menjadi Komandan RPKAD yang menjadi cikal bakal Kopassus pada 1962.
Sarwo Edhie dalam Pembantaian PKI
Sarwo Edhie sebagai Komandan RPKAD menjadi tokoh militer yang paling aktif mendukung langkah Soeharto dalam upaya mengambil alih keamanan nasional setelah peristiwa 30 September 1965.
Sebagai Panglima RPKAD Sarwo Edhie memainkan peran kunci dalam operasi pembantaian pendukung PKI di berbagai wilayah, setelah partai yang berkuasa itu dituduh dalam dalam pembunuhan para jenderal TNI. Termasuk penangkapan Mantan Menteri Luar Negeri Soebandrio atas perintah Soeharto karena dianggap berafiliasi dengan PKI.
Pasca 1965, Soeharto cepat naik ke posisi politik yang lebih tinggi, hingga akhirnya ditunjuk menjadi Pejabat Presiden pada 1967. Begitu juga dengan karier Sarwo Edhie yang melesat setelah peristiwa pembantaian kelam terjadi.
Sarwo lalu diangkat menjadi Komandan Korps Pasukan Khusus (Kopassus) pada 1966. Setahun kemudian ia dipromosikan menjadi Komandan Kodam II/Bukit Barisan (Sumatera Utara).
Dua tahun berselang, ia menjadi Komandan Kodam VII/Diponegoro (Jawa Tengah) hingga 1970. Lalu ia menjadi Deputi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) bidang Operasi.
Pada 1971, ia didapuk menjadi Gubernur Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) di Magelang. Dua tahun berselang, ia diangkat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan, dan lalu menjadi Anggota DPR/MPR dari Fraksi ABRI (1978).
Tercatat, Sarwo pernah menerima sejumlah tanda jasa dan penghargaan, di antaranya Bintang Gerilya, Bintang Mahaputera, Satyalancana Kesetiaan, serta Satyalancana Perang Kemerdekaan.
Konflik Sarwo Edhie dan Soeharto
Konflik antara Sarwo dan Soeharto dipicu karena Soeharto menilai Sarwo ambisius. Salah satu pemicunya adalah adanya pertemuan rahasia antara Sarwo dan Soekarno di Bogor, tanpa seizin Soeharto, sehingga menimbulkan kecurigaannya.
Soeharto perlahan-lahan meminggirkan Sarwo Edhie dari panggung kekuasaan militer, Soeharto menempatkan Sarwo Edhie psda pada posisi duta besar, Gubernur AKABRI, dan anggota DPR.
Setelah menjabat komandan RPKAD, Sarwo memimpin Kodam II/Bukit Barisan di Medan, Sumatera Utara, karier militer Sarwo Edhie diredupkan, ia dikirim ke luar negeri sebagai duta besar. Ia tak jadi dikirim ke Rusia, Sarwo menjadi Pangdam XVII/Cenderawasih, Berdasarkan SK Pangab No. 739/6/1968 tanggal 25 Juni 1968, ia dipindahtugaskan ke Irian Barat
sebagai Komando Daerah Militer XVII Cenderawasih. Setelah dari Papua itu, ia dipindahkan ke Magelang untuk menduduki kursi gubernur Akabri sebelum akhirnya dijadikan duta besar di Korea Selatan.
Melansir jurnal Peran Sarwo Edhie Wibowo Pasca Peristiwa G30S, pelantikan Sarwo menjadi Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Korea Selatan ini berdasarkan pidato upacara Presiden Soeharto di Istana Negara tanggal 17 April 1974.
Sarwo Edhie adalah Duta Besar Republik Indonesia pertama untuk Korea Selatan maka untuk menunjang kerja seorang duta besar dibangun gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia di Seoul tepatnya di sebuah pulau kecil bernama Pulau Yeouido di tengah-tengah sungai Han yang membelah kota Seoul.
Sekembalinya usai “di-dubeskan” ke Korea Selatan itu, ia kemudian ditunjuk menjadi Inspektur Jenderal Departemen Luar Negeri. Setelahnya, ia menjadi anggota DPR sebagai wakil Golkar. Posisi itu kian menjauhkannya dari kursi pucuk pimpinan Indonesia.
