Tak Bisa Menikahi Pasangan Beda Agama, UU Perkawinan Digugat Lagi ke MK
Seseorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) bernama Muhamad Anugrah Firmansyah mengajukan permohonan uji materiil atau judicial review Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Permohonan ini tercatat dengan nomor perkara 212/PUU-XXIII/2025. Sidang dengan agenda pemeriksaan pendahuluan digelar di ruang sidang Mahkamah Konstitusi pada Rabu (12/11).
Dalam permohonannya, ia meminta agar mahkamah tidak menjadikan pasal itu sebagai dasar hukum untuk menolak pencatatan perkawinan antar umat berbeda agama dan kepercayaan.
Pasal 2 ayat (1) mengatakan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu” ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam permohonannya, Anugrah mengatakan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tidak menjelaskan secara tegas dan jelas perkawinan dalam konteks pencatatan perkawinan antara pasangan yang memiliki agama berbeda.
Menurutnya, hal tersebut menimbulkan ketidakjelasan norma dan multitafsir yang berakibat pada ketidakpastian hukum. Ia mengatakan, akibat aturan ini, dirinya tak bisa melangsungkan pernikahan dengan pasangan yang berbeda agama.
“Ketidakjelasan norma a quo telah dimaknai seolah-olah hanya perkawinan antar pasangan seagama yang dapat dicatatkan. Penafsiran demikian berimplikasi langsung pada tertutupnya akses pencatatan perkawinan antar agama,” kata Anugrah dalam permohonannya.
Anugrah mengatakan, Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang berbunyi “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” tidak memberikan kejelasan mengenai bagaimana pasal tersebut berlaku dalam pencatatan perkawinan warga negara yang beda agama.
"Perkawinan antara pasangan dengan agama yang sama sering dianggap sebagai perkawinan yang ideal. Namun demikian, cinta tidak pernah bisa direncanakan. Tidak semua orang menemukan pasangan dengan agama yang sama.” kata dia.
Pemohon meminta agar majelis menyatakan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan a quo tidak dijadikan dasar hukum oleh pengadilan untuk menolak penetapan pencatatan perkawinan beda agama.
Sebelumnya, MK pernah menolak gugatan Undang-Undang Perkawinan yang menyoroti soal beda agama pada Januari 2023. Gugatan tersebut diajukan E. Ramos Petege, seorang pemuda asal Mapia Tengah, Provinsi Papua.
