Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi Divonis 4,5 Tahun Penjara Meski Tak Terima Uang
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Sunoto, menjatuhkan vonis pidana penjara selama 4 tahun 6 bulan kepada Mantan Direktur Utama PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero), Ira Puspadewi.
Hakim Sunoto juga menetapkan vonis pidana penjara 4 tahun masing-masing kepada eks Direktur Komersial dan Pelayanan ASIDP Yusuf Hadi dan Bekas Direktur Perencanaan dan Pengembangan ASDP Harry Muhammad Adhi Caksono.
Selain itu, majalis hakim juga menjatuhi hukuman berupa pidana denda kepada Ira senilai Rp 500 juta subsider 3 bulan penjara. Sedangkan, Yusuf Hadi dan Harry Adhi Caksono dijatuhi denda Rp 250 juta subsider 3 bulan penjara.
Putusan hakim ini lebih ringan dibandingkan dakwaan jaksa yang menuntut Ira dihukum 8,5 tahun penjara. "Para terdakwa tidak terbukti menerima keuntungan finansial," kata hakim Sunoto dalam dalam sidang pengadilan di ruang Prof.Dr. Kusumahatmaja pada Kamis (20/11).
Ketiganya didakwa merugikan negara Rp 1,25 triliun dalam kasus akuisisi saham PT Jembatan Nusantara (PT JN) pada 2019-2022. Namun, hakim mengatakan perbuatan terdakwa bukan kesalahan murni untuk melakukan korupsi. Namun dianggap melakukan kesalahan dalam tata kelola.
"Tapi kelalaian berat tanpa kehati-hatian dan itikad baik dalam prosedur dan tata kelola aksi korporasi PT ASDP," kata hakim Sunoto.
Kasus ini mendapat sorotan karena ketiga terdakwa ini membantah tuduhan jaksa dengan mengatakan tak mengambil uang satu sen pun. CEO Malaka Project, Ferry Irwandi, salah satu tokoh yang mendukung Ira.
"Saya mendukung Bu Ira Puspadewi untuk dibebaskan dan mendapatkan keadilan yang memang sejak awal menjadi haknya," bunyi cuitan Ferry di Instragram, Kamis (20/11).
Dakwaan Jaksa KPK kepada Mantan Direksi ASDP
Ira beserta eks Direktur Komersial dan Pelayanan ASDP Yusuf Hadi, serta bekas Direktur Perencanaan dan Pengembangan ASDP Harry Muhammad Adhi Caksono didakwa telah merugikan negara Rp 1,25 triliun dalam kasus dugaan korupsi akuisisi saham PT JN pada 2019-2022.
Jaksa KPK mengatakan, kapal yang diakuisisi para terdakwa sudah tua dan tidak layak karena dalam kondisi karam. Jaksa menjelaskan perkara ini berawal dari skema kerja sama usaha (KSU) antara ASDP dan PT JN pada 2019.
Namun, skema itu berubah dalam proses akuisisi pembelian saham PT JN. Para terdakwa disebut melakukan dua keputusan direksi yang bertujuan untuk mempermudah pelaksanaan kerja sama KSU dengan PT JN.
Jaksa menyatakan para terdakwa juga menambahkan ketentuan pengecualian persyaratan untuk kerja sama KSU, serta melakukan perjanjian kerja sama KSU pengoperasian kapal antara ASDP dengan PT JN meski belum ada persetujuan dari dewan komisaris.
Jaksa juga menyebut para terdakwa menyampaikan isi izin pelaksanaan KSU dengan PT JN ke dewan komisaris PT ASDP. Meski demikian, substansi izin itu berbeda dengan yang disampaikan ke Menteri BUMN saat itu.
Para terdakwa juga dituding tidak mempertimbangkan usia kapal milik PT JN dalam menentukan opsi skema transaksi jual beli. Mereka diduga mengondisikan penilaian 53 unit kapal PT JN oleh KJPP Mutaqin Bambang Purwanto Rozak Uswatun dan rekan (KJPP MBPRU).
Terdakwa juga dinilai telah mengabaikan hasil uji tuntas teknik (due diligence) PT Biro Klasifikasi Indonesia (PT BKI) dalam proses akuisisi terkait untuk tidak mengakuisisi 9 kapal PT JN yang kondisinya tidak layak.
Jaksa meyakini penundaan docking rutin tahunan 12 kapal milik PT JN dilakukan para terdakwa untuk mengalihkan beban pemeliharaan rutin terjadwal tahun 2021, kepada PT ASDP sebagai pemilik baru PT JN.
Jaksa juga mengatakan para terdakwa mengkondisikan valuasi perusahaan PT JN oleh KJPP Suwendho Rinaldy dan rekan (KJPP SRR) berdasarkan penilaian 4 8KJPP MBPRU tanpa verifikasi dan review ulang.
Terdakwa juga disebut memilih menggunakan discount of lack marketability (DLOM) yang lebih rendah 20 persen kepada opsi DLOM 30% yang diusulkan KJPP SRR. Jaksa mengatakan perbuatan para terdakwa telah memperkaya pemilik PT JNI, Adjie sebesar Rp 1,25 triliun.
Nilai ini kemudian menjadi kerugian keuangan negara, Jaksa juga menjelaskan, kerugian negara terdiri dari tiga komponen yaitu dari nilai pembayaran akuisisi saham PT JN sebesar Rp 892 miliar, pembayaran 11 kapal afiliasi PT JN sebesar Rp 380 miliar, serta nilai bersih yang dibayar ASDP kepada Adjie, PT JN, dan perusahaan afiliasi sebesar Rp 1,272 triliun.
Dalam kasus ini, ketiganya didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
