Pemerintah dan DPR Susun RUU Penyesuaian Pidana, Respons Pemberlakuan KUHP Baru
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membahas penyusunan Rancangan Undang-Undang Penyesuaian Pidana. Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej menyampaikan pandangan pemerintah dalam rapat dengan Komisi III DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (24/11).
Eddy mengatakan, RUU Penyesuaian Pidana ini masuk dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas) RUU tahun 2025-2029. Dia mengatakan, RUU Penyesuaian Pidana ini terdiri dari sembilan pasal.
“Ini merupakan perintah dari Pasal 613 KUHP Nasional, bahwa pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang harus menyesuaikan beberapa ketentuan dengan KUHP Nasional,” kata Eddy usai rapat bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (24/11).
Di dalam rapat, ia menjelaskan sejumlah pertimbangan penyusunan UU Penyesuaian Pidana. Pertama, perubahan masyarakat yang cepat mengharuskan pemerintah melakukan penataan kembali ketentuan pidana dalam undang-undang sektoral dan peraturan daerah agar sesuai Undang-Undang KUHP.
Kemudian alasan selanjutnya karena pidana kurungan sebagai pidana pokok telah dihapus dalam KUHP baru, sehingga seluruh ketentuan pidana yang tersebar dalam berbagai undang-undang dan peraturan daerah harus dikonversi dan disesuaikan.
“Terdapat sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang KUHP yang masih memerlukan penyempurnaan, baik karena kesalahan format penulisan, kebutuhan penjelasan lebih lanjut, maupun ketidaksesuaian dengan perumusan baru yang menghapuskan minimum khusus dan pidana kumulatif,” kata Eddy.
Selain itu, Eddy menyebut penyesuaian ini mendesak untuk dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang KUHP pada 2 Januari 2026 untuk menghindari ketidakpastian hukum, tumpang tindih pengaturan, serta disparitas pemidanaan di berbagai sektor.
“Dengan demikian pembentukan RUU tentang penyesuaian pidana ini merupakan langkah strategis untuk memperkuat sistem hukum pidana nasional secara menyeluruh, memastikan penerapan sistem pembinaan nasional berjalan efektif proporsional dan sesuai dengan perkembangan masyarakat,” katanya.
Dia menjelaskan, secara garis besar RUU Penyesuaian Pidana ini berisi tiga bab, dengan penggambaran sebagai berkut:
Bab I
Penyesuaian pidana dalam undang-undang di luar KUHP
1. Penghapusan Pidana kurungan sebagai pidana pokok.
2. Penyesuaian kategori pidana denda dengan mengacu pada buku ke-1 KUHP.
3. Penyelesaian ancaman pidana penjara untuk menjaga personalitas dan menghilangkan disparitas.
4. Penataan ulang pidana tambahan agar sesuai dengan sistem sanksi dalam KUHP.
“Penyesuaian dilakukan untuk memberikan satu standar pemidanaan yang konsisten secara nasional,” kata Eddy.
Bab II
Penyesuaian pidana dalam Peraturan Daerah, yang mengatur:
1. Pembatasan pidana denda yang dapat diatur dalam peraturan daerah yang paling tinggi kategori ke-3 sesuai sistem KUHP.
2. Penghapusan pidana kurungan dalam seluruh peraturan daerah.
3. Penegasan bahwa peraturan daerah hanya dapat memuat ketentuan pidana untuk norma tertentu yang bersifat administratif dan berskala lokal.
“Ketentuan ini menjaga proporsionalitas pemidanaan, dan mencegah over regulation,” kata Eddy.
Bab III
Penyesuaian dan penyempurnaan KUHP.
Eddy menjelaskan, penyesuaian terhadap UU KUHP ini dilakukan pada pasal-pasal yang memerlukan perbaikan redaksional dan teknis penulisan, penegasan ruang lingkup norma, serta harmonisasi ancaman pidana agar tidak lagi mengandung rumusan yang tidak sesuai dengan sistem baru.
Eddy mengatakan, perubahan ini diperlukan untuk menjamin penetapan KUHP berlangsung secara efektif dan tidak menimbulkan multitafsir.
