Prabowo Diminta Benahi Sistem Peradilan Ketimbang Obral Pengampunan Hukum

Muhamad Fajar Riyandanu
27 November 2025, 06:00
prabowo, rehabilitasi, hukum
Youtube/Sekretariat Presiden
Presiden Prabowo Subianto saat peluncuran program digitalisasi pendidikan di Bekasi, Jawa Barat, Senin (17/11). Foto: Youtube/Sekretariat Presiden
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Presiden Prabowo Subianto sudah memberikan empat hak prerogatif dalam proses perkara hukum selama masa satu tahun kepemimpinannya. Sejumlah pakar hukum menilai tindakan Prabowo itu mendatangkan sisi positif maupun risiko terhadap kondisi penegakan hukum.

Di sisi lain, langkah Prabowo disebut menjadi momentum untuk mengevaluasi sistem peradilan nasional, khususnya dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi.

Pakar Hukum Pidana Universitas Tarumanegara Jakarta, Hery Firmansyah, berpendapat langkah Prabowo mengobral pengampunan masih sesuai aturan. Namun, ia meminta Presiden tak terlalu sering mengambil langkah tersebut. 

“Akan menjadi kontraproduktif apabila ini sering dilakukan, bisa memengaruhi kepercayaan publik terhadap kinerja penegak hukum seperti KPK misalnya,” kata Hery saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Rabu (26/11).

Hak prerogatif Prabowo digunakan untuk membebaskan terdakwa dari jeratan hukum. Mereka yang mendapatkan hak tersebut adalah Mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong yang dapat abolisi, serta Sekretaris Jenderal Partai Demoktasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto yang mendapatkan amnesti.

Tom Lembong datangi Komisi Yudisial
Tom Lembong datangi Komisi Yudisial (ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/rwa.)

Prabowo juga menandatangani surat pemberian rehabilitasi untuk dua guru SMAN di Luwu Utara, yakni Drs. Rasnal,M.Pd dan Drs. Abdul Muis Muharram imbas dari perkara dugaan kasus pungutan dana komite sekolah.

Teranyar, presiden memberikan rehabilitasi kepada tiga mantan pejabat PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) yang terjerat kasus dugaan kasus korupsi akuisisi saham PT Jembatan Nusantara.

Ketiganya yakni Mantan Direktur Utama PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero), Ira Puspadewi, eks Direktur Komersial dan Pelayanan ASIDP Yusuf Hadi, serta Bekas Direktur Perencanaan dan Pengembangan ASDP Harry Muhammad Adhi Caksono. 

Hery mengatakan, risiko susulan yang dapat muncul dari praktik pengampunan hukum yang berlebih berpotensi mengganggu keseimbangan kekuasaan antar unsur trias politika. Menurut Hery, pengadilan, kejaksaan, KPK bisa merasa kewenangannya dilemahkan.

Alumnus Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu menilai, sistem peradilan telah menyediakan mekanisme koreksi yang lengkap terhadap putusan pengadilan.

Merujuk pada perkara ASDP, Hery mengatakan vonis dari Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat masih bisa diperbaiki melalui banding di Pengadilan Tinggi.

Jika masih dianggap bermasalah, Mahkamah Agung dapat memperbaiki melalui kasasi. Bahkan masih tersedia upaya Peninjauan Kembali (PK) sebagai koreksi terakhir.

“Sebaiknya, persoalan hukum diselesaikan melalui jalur hukum pula, agar menjadi langkah korektif yang komprehensif,” Hery.

Dia juga mengkritik praktik penanganan perkara yang sejak awal sudah lemah dan tidak memenuhi unsur pidana. Ia menilai proses hukum semestinya dihentikan sejak dini, misalnya melalui penghentian penyidikan maupun penuntutan.

“Kalau memang dari awal sudah tidak memenuhi pidana harusnya dihentikan. Jangan sudah bergulir jauh, baru kemudian nanti diberikan rehabilitasi, dan lain-lain,” ujar Hery.

Momentum Perbaikan

Pendapat serupa juga disuarakan oleh Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Lisra Sukur. Ia berpendapat. langkah Prabowo yang beberapa kali memberikan pengampunan hukum menguatkan sinyal bahwa ada masalah di dalam sistem peradilan.

Kasus yang menjerat Tom Lembong berserta dua guru SMA Luwu Utara dan tiga eks penjabat ASDP dianggap sebagai perkara yang sejak awal menimbulkan pertanyaan di publik, terutama soal dasar penuntutan dan alasan pemidanan.

Lisra, yang akrab dipanggil Arsil, menilai beragam kejanggalan atau kelemahan dalam proses peradilan dari publik menjadi salah satu pemicu Prabowo mendorong koreksi hukum melalui hak prerogatifnya.

“Presiden diberikan hak ekslusif untuk bisa mengampuni orang, karena mungkin suatu hari dibutuhkan jika ada peradilan yang sesat,” ujarnya.

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) itu menjelaskan, ada faktor kesesatan aturan hukum terkait perkara Tipikor,  khususnya pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Arsil menyebut faktor ketidakpastian hukum menjadi salah satu sumber masalah, terutama ketika aparat penegak hukum kerap menjerat seseorang dengan pasal korupsi tanpa ukuran yang jelas.

Menurutnya, publik kini mulai menyadari bahwa proses hukum yang tidak transparan justru membuka ruang kriminalisasi, alih-alih memperkuat upaya pemberantasan korupsi.

Ia menjelaskan banyak kasus korupsi yang dipaksakan, misalnya dengan memajang nominal kerugian negara tanpa kejelasan manfaat atau keuntungan apa yang diterima tersangka.

Padahal, dalam tindak pidana korupsi, yang seharusnya dibuktikan adalah adanya keuntungan ilegal yang dinikmati pelaku, bukan angka kerugian negara yang dihitung sepihak.

Dalam praktiknya, Pasal 2 dan 3 UU Tipikor dapat menjerat orang yang tidak memiliki niat jahat sehingga bisa memicu kriminalisasi akibat tafsir kerugian negara yang tak jelas. Ketetapan tersebut juga dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum hingga membuat pejabat takut bertindak.

“Mereka sulit membedakan keputusan bisnis yang diambil apa akan termasuk korupsi atau tidak. Selesai menjabat bisa saja terkena kasus,” ujarnya.

Perkara ASDP

Presiden Prabowo Subianto memberikan rehabilitasi kepada tiga mantan pejabat PT ASDP yang terjerat kasus akuisisi saham PT Jembatan Nusantara.

Ketiganya yakni Mantan Direktur Utama ASDP Ira Puspadewi, eks Direktur Komersial dan Pelayanan ASDP Yusuf Hadi, serta Bekas Direktur Perencanaan dan Pengembangan ASDP Harry Muhammad Adhi Caksono.

Rehabilitasi bagi terpidana korupsi adalah pemulihan hak terpidana apabila dinyatakan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, sebagaimana diatur dalam pasal 97 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Sidang putusan kasus korupsi PT ASDP Indonesia
Sidang putusan kasus korupsi PT ASDP Indonesia (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/tom.)

Sebelumnya, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Sunoto, menjatuhkan vonis pidana penjara selama 4 tahun 6 bulan kepada Mantan Direktur Utama PT ASDP, Ira Puspadewi. Putusan ini lebih rendah dari tuntutan jaksa yakni 8 tahun 6 bulan penjara.

Putusan ini lebih rendah dari tuntuan jaksa yang mendakwa masing-masing 8 tahun penjara. Ketiganya didakwa merugikan negara Rp 1,25 triliun dalam kasus akuisisi saham PT Jembatan Nusantara pada 2019-2022.

Jaksa KPK mengatakan, kapal yang diakuisisi para terdakwa sudah tua dan tidak layak karena dalam kondisi karam. Jaksa mengatakan, para terdakwa tidak mempertimbangkan usia kapal milik PT JN dalam menentukan opsi skema transaksi jual beli.

Meski demikian, Hakim Sunoto menyatakan Ira dan dua terpidana lainnya tak mendapatkan keuntungan serta manfaat finansial dari akuisisi tersebut.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...