Nasib Korban Banjir di Aceh: Dihantam Air Bah, Tercekik Harga Bahan Pokok

Rezza Aji Pratama
3 Desember 2025, 15:04
Foto udara warga dan pengendara sepeda motor melintas di jalan pascabanjir bandang di Kota Langsa, Aceh, Selasa (2/12/2025). Bencana banjir bandang yang melanda daerah tersebut pada Rabu (26/11) mengakibatkan sejumlah fasilitas umum, kantor pemerintahan,
ANTARA FOTO/Suhendra/Lmo/tom.
Foto udara warga dan pengendara sepeda motor melintas di jalan pascabanjir bandang di Kota Langsa, Aceh, Selasa (2/12/2025). Bencana banjir bandang yang melanda daerah tersebut pada Rabu (26/11) mengakibatkan sejumlah fasilitas umum, kantor pemerintahan, dan jalan raya dipenuhi lumpur dan masih menyisakan genangan air di beberapa lokasi.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

“Antre bensin di SPBU sampai lima jam. Ada yang jual eceran, tapi Rp100.000 per liter,” suara Arif Maulana Azmi (32) bergema di ujung telepon, Rabu (3/12)

Arif tinggal Kota Langsa, Aceh. Kota ini terletak strategis di jalur perlintasan Medan-Banda Aceh dan tak pernah dilanda banjir sebelumnya. Bahkan saat tsunami menghantam pesisir Aceh pada 2004, Langsa nyaris tak tersentuh. Namun, situasi itu berubah pada Rabu (26/11) pagi, ketika air bah menerjang Langsa tanpa ampun. 

Di ujung telepon, suara Arif terdengar putus-putus. Kepada Katadata, ia bercerita jaringan listrik dan internet kini sudah tersambung. Namun, suplai air dari PDAM masih sangat terbatas. Sepekan setelah banjir melumpuhkan kotanya, Arif dan warga Langsa kini mengeluhkan akses bahan pokok dan BBM yang sulit didapat. 

“Air galon isi ulang dijual Rp30.000. Sepuluh kali lipat dari harga normal,” katanya saat dihubungi Katadata

Arif dan istrinya menempati sepetak rumah peninggalan neneknya di gampong Alue Beurawe, Kota Langsa. Pada Rabu (26/11) dini hari, Arif berkomunikasi dengan adik dan ibunya yang tinggal di Ranto Peureulak, Aceh Timur. 

“Malam itu hujan deras. Di rumah Mamak air sudah masuk,” katanya kepada Katadata.

Kabar itu membuat Arif terjaga hingga pagi hari. Sekitar pukul 07.00, kantuk membuatnya tertidur. Namun, belum lama ia terlelap, suara gaduh membangunkannya. Ia nyaris berteriak ketika turun dari ranjang. Kakinya terendam hingga nyaris selutut. Arif melangkah perlahan keluar kamar dan menyaksikan lautan air kecoklatan setinggi pinggang orang dewasa sudah mengepung rumahnya. 

Arif dan istrinya segera keluar dari rumah. Pasangan itu menerjang banjir meski hujan masih mengguyur. Di jalanan, orang-orang mulai dilanda kepanikan sebab air kian meninggi. Arif akhirnya memutuskan mengungsi ke rumah mertuanya yang juga berlokasi di Alue Beurawe. 

“Pagi itu coba hubungi Mamak, tapi udah enggak bisa,” katanya.

Di rumah mertuanya, air masuk ke rumah tetapi tidak terlalu dalam. Di bagian belakang, ada satu kamar yang tetap kering, sebab lokasinya lebih tinggi dari ruang depan. Keluarga itu berkumpul di kamar sempit, waswas menanti air bah yang mengepung.

Pada Rabu (26/11) malam, listrik mulai padam. Jaringan telekomunikasi sudah tidak lagi bisa diandalkan. Suplai air PDAM terputus tak lama kemudian. Arif cemas sebab ia belum menerima kabar dari mamak dan adiknya. 

Pada Kamis (27/11) siang, air mulai surut. Arif dan istrinya kembali ke rumahnya. Genangan lumpur memenuhi seantero bangunan. Pasangan itu mengumpulkan bahan-bahan makanan yang masih bisa diselamatkan. Ia menghitung ransum dan sisa-sisa uang kontan.

Pada saat itu, seisi kota lumpuh. Jalanan terputus oleh banjir. Warga yang mengungsi mulai terancam kelaparan dan krisis air bersih. Arif dan istrinya tinggal di rumah berlumpur dengan stok makanan seadanya. Malam terasa gelap gulita. Akses komunikasi terputus. Orang-orang yang terisolir hanya mengandalkan solidaritas antar tetangga yang sudah terjalin bertahun-tahun. 

Listrik baru kembali menyala pada Minggu (30/12). Jaringan internet gratis Starlink juga mulai bisa dinikmati. Banjir sudah surut, meninggalkan lumpur tebal yang berkerak. Air masih langka, sebab jaringan PDAM belum tersambung.

Arif akhirnya memperoleh kabar tentang ibu dan adiknya pada Senin (1/12).

“Rumah mamak terendam sampai atap,” katanya. “Mereka mengungsi ke rumah tetangga.”

Meski bencana sudah terlewati, para korban banjir masih harus berjuang hidup di kota yang lumpuh. Arif bercerita, stok makanan kian menipis. Beberapa toko sembako memang sudah mulai beroperasi, tetapi harganya kelewat mahal.

Beras 15 kilogram dibanderol Rp400.000, dari harga normal di kisaran Rp200.000. Sekotak telur naik dua kali lipat menjadi Rp100.000. Harga cabai tembus hingga Rp300.000. Bahkan air galon isi ulang yang biasanya dijual Rp3.000, bisa mencapai Rp30.000.

“Belum ada bantuan apapun,” kata Arif. “Dapur umum juga baru buka hari Selasa (2/12). Itu pun terbatas,” katanya. 

Cerita serupa juga diungkapkan oleh Ilham Maulana (32 tahun). Sehari-hari, ia tinggal di rumah mertuanya di Kampung Jawa, Kota Langsa. Kini, rumah itu tak bisa lagi ditempati sebab banjir di wilayah itu tingginya lebih dari dua meter. Saat banjir melanda, ia mengungsi ke rumah orang tuanya di Alue Beurawe yang airnya tidak terlalu tinggi.

Seperti Arif, Ilham juga mengandalkan stok simpanan makanan. Namun, pasokan kian menipis.

“Paling cukup untuk dua hari kedepan,” ia bercerita.

Selain makanan, Ilham juga mengeluhkan suplai bahan bakar minyak (BBM) yang sulit didapatkan. Antrean di SPBU panjang mengular hingga 5 jam. Beberapa orang menawarkan bensin eceran dengan harga Rp100.000 per liter. 

“Mau ke mana-mana susah karena tidak ada minyak,” kata Ilham.

Keluhan soal suplai BBM juga dikeluhkan warga di Banda Aceh. Syarifah (30) bercerita, rumahnya sebetulnya tidak terkena banjir. Namun, harga bahan pokok dan antrean panjang di SPBU membuat banyak warga cemas. 

“Suamiku ngantre di SPBU dari jam 12 siang sampai jam 4 sore,” katanya, kepada Katadata.

Syarifah menuturkan banjir di Banda Aceh sebetulnya tidak separah wilayah lainnya. Namun, harga-harga bahan pokok ikut melonjak drastis. Gas juga sulit didapat. Sementara listrik belum sepenuh stabil. Bahkan lilin yang diandalkan dalam kegelapan pun mulai susah diperoleh.

“Memang dampak langsung ke sini belum terasa secara nyata. Tapi kalau akses jalan masih terputus, lama-lama collapse juga,” kata Syarifah.

Sementara itu, berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sampai Rabu (3/12) pukul 08.00 WIB, bencana Sumatra ini telah berdampak pada 3,3 juta orang. Sekitar 576 ribu orang di antaranya mengungsi, 2,6 ribu orang terluka, 650 orang hilang, dan 753 orang meninggal.







Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Rezza Aji Pratama

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...