Calon Jemaah Gugat Aturan Kuota di UU Haji ke MK, Protes Waktu Berangkat Mundur
Seorang calon jemaah haji bernama Endang Samsul Arifin mengajukan permohonan uji materiil Pasal 13 ayat (2) Undang Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang Undang Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pengajuan pengujian uji materiil ini ia layangkan ke Mahkamah Konstitusi lantaran ia merasa dirugikan karena jadwal keberangkatan ibadah haji yang seharusnya dilakukan pada 2028 menjadi 2030. Pengujian ini tercatat dengan nomor 237/PUU-XXIII/2025.
“Kerugian yang saya alami adalah menjadi mundurnya estimasi tahun keberangkatan saya,” kata Endang usai menjalani sidang perdana di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (9/12).
Endang menceritakan, ia mendaftar pada 2016, dan estimasi awal akan berangkat pada 2028. Namun, jadwal keberangkatannya berubah karena adanya perbedaan tolok ukur penentuan kuota haji reguler.
Jika menggunakan proporsi penduduk muslim ia diestimasikan berangkat pada 2028. Pada 2026 Menteri Haji dan Umrah menggunakan proporsi jumlah daftar tunggu, sehingga terdapat kemunduran keberangkatan Endang menjadi 2030.
Endang menjelaskan, dalam undang-undang yang diujikannya ini penentuan kuota haji reguler, Menteri Haji memiliki tiga opsi, yakni berdasarkan proporsi jumlah penduduk muslim, yang kedua berdasarkan proporsi jumlah daftar tunggu, dan berdasarkan kombinasi di antara keduanya.
“Nah, dalam pandangan saya, norma pasal ini menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para calon jemaah haji reguler,” katanya.
Hal ini dikarenakan di setiap tahun, di setiap musim haji berjalan Menteri Haji dapat melakukan pembagian dalam skema yang berbeda-beda. Ia menilai adanya ketidakpastian bagi para jemaah karena perhitungan dari ketiga opsi tersebut memiliki hasil yang berbeda drastis.
“Contohnya tahun sekarang, tahun sekarang itu 2026, Menteri menetapkan pembagian kuota haji reguler berdasarkan daftar tunggu. Padahal tahun sebelumnya berdasarkan jumlah penduduk muslim. Akhirnya sekarang menjadi berubah total satu negara Indonesia ini,” kata dia.
Mundurnya Keberangkatan
Ia menuturkan, tahun ini setidaknya terdapat 20 provinsi yang dirugikan akibat ketidakpastian penentuan kuota haji reguler ini. Atas dasar itu, Endang berharap mahkamah memberikan norma hukum yang pasti. Ia sendiri mengusulkan agar menggunakan skema kombinasi.
“Jadi pembagian kuota haji reguler didasarkan dengan kombinasi antara proporsi penduduk muslim dan proporsi daftar tunggu. Jadi tidak terpisah, karena kalau masing-masing itu penghitungannya hasilnya sangat berbeda,” kata Endang.
Dalam petitumnya, Endang meminta agar mahkamah menyatakan Pasal 13 ayat (2) Undang Undang No.14 Tahun 2025 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa : “Pembagian kuota haji reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada pertimbangan proporsi jumlah penduduk muslim antarprovinsi, dan proporsi jumlah daftar tunggu jemaah haji antarprovinsi, secara adil dan berimbang.”
Dalam sidang perdana, hakim konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan agar Endang memasukkan perbandingan pembagian kuota haji di negara lainnya.
“Bisa dikuatkan juga dengan landasan teorinya, diambil doktrinnya. Syukur-syukur kalau ada perbandingan, kalau di Malaysia itu gimana sih sebenarnya kuota haji misal, contoh, negara-negara yang banyak umat muslimnya seperti apa, sebagai perbandingan,” tegas Enny.
