Investigasi Amnesty: Polisi Gunakan Kekuatan Melawan Hukum dalam Demo Agustus

Ade Rosman
11 Desember 2025, 10:45
Petugas kepolisian menembakkan gas air mata ke arah massa usai terjadi demo di Jalan Pejompongan Raya, Jakarta, Senin (25/8/2025).
Katadata/Fauza Syahputra
Petugas kepolisian menembakkan gas air mata ke arah massa usai terjadi kericuhan unjuk rasa di Jalan Pejompongan Raya, Jakarta, Senin (25/8/2025).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Amnesty International merilis hasil investigasi yang menunjukkan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menggunakan kekuatan secara melawan hukum (unlawful force) terhadap para pengunjuk rasa dalam demonstrasi besar akhir Agustus 2025 lalu.

Evidence Lab Amnesty International melakukan penelaahan dengan melakukan verifikasi terhadap 36 video disertai dengan wawancara terhadap lima korban dan saksi mata merincikan penggunaan kekuatan secara melawan hukum oleh polisi pada 25 Agustus hingga 1 September 2025 yang terdiri dari penembakan water cannon ke arah pengunjuk rasa dalam jarak dekat, pemukulan terhadap demonstran menggunakan tongkat, dan penggunaan granat gas air mata jenis berbahaya yang diketahui dapat menyebabkan cedera serius, termasuk kehilangan anggota tubuh.

Direktur Senior Amnesty International untuk Riset, Advokasi, Kebijakan, dan Kampanye, Erika Guevara-Rosas mengatakan, dari video yang telah diverifikasi didapati bahwa aparat kepolisian secara kejam dan penuh kekerasan menindak gerakan yang bermula dari aksi damai menolak tunjangan DPR.

“Penggunaan kekuatan yang berlebihan dan melawan hukum oleh pihak berwenang ini menunjukkan budaya kepolisian yang memperlakukan perbedaan pendapat sebagai ancaman, bukan sebagai hak,” kata Erika dalam keterangannya, dikutip Kamis (11/12).

Dalam setidaknya dua kasus, Amnesty International menemukan bahwa polisi menembakkan granat gas air mata sejenis GLI-F4, yang sangat berbahaya karena dapat mengandung bahan peledak yang menyebarkan zat kimia penyebab iritasi.

Amnesty International menyebut granat ini dapat menyebabkan cedera fisik serius karena ledakan atau serpihannya dan telah dilarang di banyak negara. Amnesty International pun menyatakan telah berulang kali menyerukan larangan penggunaan senjata ini dalam penegakan hukum karena bahaya besar yang dapat ditimbulkannya.

Hasil investigasi Amnesty International menunjukkan dalam satu insiden pada 25 Agustus 2025, sebuah video memperlihatkan polisi menembakkan granat gas air mata di belakang pengunjuk rasa di Slipi, Jakarta.

Amnesty International menyatakan tindakan ini melanggar standar hak asasi manusia internasional, termasuk Panduan HAM PBB tentang Senjata Kurang Mematikan (Less-lethal Weapons) dalam Penegakan Hukum, karena memaksa pengunjuk rasa bergerak ke arah aparat penegak hukum, sehingga meningkatkan risiko konfrontasi dengan aparat keamanan. Video lain yang diverifikasi Amnesty International memperlihatkan polisi melepaskan granat gas air mata dari jembatan ke arah pengunjuk rasa di Surabaya, Jawa Timur, pada 29 Agustus. Satu video lainnya juga menunjukkan penembakan gas air mata ke arah stasiun kereta Karet di Jakarta pada 28 Agustus.

Dalam video lain yang diverifikasi oleh Amnesty International, polisi menggunakan kekuatan yang tidak perlu dan berlebihan untuk menangkap pengunjuk rasa yang sudah tidak berdaya, memukul mereka dengan tongkat pentungan, tongkat atau senjata lainnya. Satu rekaman video dari aksi protes di Jakarta pada 28 Agustus memperlihatkan beberapa polisi berpelindung lengkap memukuli seseorang yang jatuh terkapar di tanah. Rekaman dari Surakarta pada 29 Agustus memperlihatkan insiden serupa.

Polisi juga mengarahkan water cannon langsung ke arah pengunjuk rasa, terkadang dengan tekanan tinggi dan dari jarak dekat, sebagaimana ditunjukkan oleh video protes di dekat kompleks parlemen di Jakarta pada 28 Agustus.

Erika mengatakan, polisi telah menunjukkan ketidakmampuan mereka menggunakan senjata kurang mematikan secara bertanggung jawab dan sah. Ia mengatakan, menembakkan gas air mata di area tertutup atau langsung ke arah orang bukan saja tindakan ceroboh, namun melanggar hukum dan berpotensi mematikan.

“Pemerintahan Presiden Prabowo tidak dapat mengklaim menjunjung tinggi HAM sambil mengabaikan penyalahgunaan wewenang kepolisian yang meluas. Investigasi independen bukanlah pilihan, melainkan satu-satunya jalan kredibel menuju akuntabilitas,” kata Erika.

‘Temuan lain didapat usai Amnesty International mewawancarai lima korban dan saksi penggunaan kekuatan yang melawan hukum oleh polisi di Yogyakarta, Bandung, Makassar, dan Surabaya.

Seorang relawan medis di Yogyakarta mengatakan kepada Amnesty International bahwa ia terkena selongsong gas air mata saat membantu pengunjuk rasa yang terluka, ketika polisi menembakkan gas air mata langsung ke pos medisnya. Sementara itu, seorang mahasiswa pengunjuk rasa mengatakan bahwa polisi menembakkan gas air mata secara langsung (horizontal) ke arah massa tanpa peringatan pada 29 Agustus.

Seorang aktivis di Makassar mengatakan kepada Amnesty International bahwa ia memberikan bantuan hukum kepada seorang warga yang mengaku dipukuli polisi dengan tongkat kasti setelah ditangkap. Aktivis ini memberikan bantuan hukum kepada sepuluh (10) mahasiswa, yang menurutnya ditangkap secara sewenang-wenang saat berunjuk rasa pada akhir Agustus lalu.

Aktivis tersebut mengungkapkan kondisi para mahasiswa yang mana digambarkan: matanya bengkak, berjalan pincang, dan muntah darah, saat ia mengunjungi mereka di Markas Polda Sulawesi Selatan. Kepada aktivis itu para mahasiswa ini mengaku tidak diberi akses ke pengacara, atau keluarga mereka tidak diberitahu, hingga lima hari setelah penangkapan.

“Banyaknya contoh kekerasan yang disponsori negara (state-sponsored violence) ini menunjukkan pengabaian terang-terangan oleh polisi terhadap hak atas kebebasan berkumpul secara damai, hak untuk hidup, dan hak atas kebebasan dan keamanan pribadi selama aksi-aksi protes tersebut berlangsung,” kata Erika.

Amnesty International mendesak agar segera dilakukannya penyelidikan yang independen, imparsial, dan efektif terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh polisi.

“Ketika rakyat Indonesia bersuara melawan ketidakadilan, pemerintah seharusnya mendengarkan mereka, bukan membungkam mereka dengan pentungan dan gas air mata,” kata Erika.

Adapun, berdasarkan informasi yang dihimpun dari berbagai organisasi masyarakat sipil (OMS) dan lembaga bantuan hukum (LBH), setidaknya 4.194 pengunjuk rasa ditangkap dalam periode 25 Agustus hingga 1 September. Angka itu telah dikonfirmasi Amnesty International dari kepolisian daerah dan Polri. Hingga 27 September, polisi telah menetapkan 959 orang di antaranya sebagai tersangka, sementara sisanya dibebaskan tanpa dakwaan.

Setidaknya 12 dari mereka yang dijadikan tersangka adalah aktivis atau pembela hak asasi manusia (HAM) yang, oleh polisi dituduh ‘menghasut orang untuk ikut serta dalam protes menggunakan kekerasan’. Polisi membenarkan laporan media bahwa 295 dari mereka yang didakwa adalah anak-anak pada saat penangkapan.

OMS dan LBH juga mendokumentasikan bahwa setidaknya 1.036 orang menjadi korban kekerasan selama aksi protes, yang tercatat dalam 69 insiden terpisah di 19 kota. Amnesty International menyoroti meskipun beberapa pengunjuk rasa terlibat dalam tindakan kekerasan, sebagian besar kasus ini melibatkan penggunaan kekuatan yang tidak perlu dan berlebihan oleh polisi.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Ade Rosman
Editor: Yuliawati

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...