Penyebab Konflik PBNU Memanas, Mulai dari Geser Orang Jokowi hingga Tambang
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melangsungkan rapat koordinasi di Kantor PBNU Jakarta pada Kamis (11/12). Sidang koordinasi kali ini membahas soal evaluasi program, penanggulangan bencana, dan konsolidasi organisasi. Pertemuan hari ini sejatinya dijadwalkan sebagai rapat pleno, namun dialihkan menjadi rapat koordinasi karena Rais Aam PBNU Miftachul Akhyar tidak hadir.
Agenda ini terselenggara dua hari menyusul hasil Rapat Pleno Syuriah di Hotel Sultan Jakarta, Selasa (9/12) yang menetapkan Zulfa Mustofa sebagai penjabat (Pj) Ketua Umum PBNU menggantikan Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya.
Kepengurusan PBNU kini terpecah menjadi dua faksi. Kelompok pertama yakni Faksi kepengurusan Zulfa Mustofa setelah berlangsungnya Rapat Pleno pihak Rais Aam PBNU Miftachul Akhyar di Hotel Sultan Jakarta pada 9-10 Desember lalu. Faksi ini turut didukung oleh Mantan Sekretaris Jenderal PBNU sekaligus Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul), Menteri Agama Nasaruddin Umar, hingga Ketua Pengurus Harian atau Tanfidziyah PBNU sekaligus Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.
Sementara faksi kedua merujuk pada kelompok PBNU pimpinan Gus Yahya yang berbasis di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya Jakarta. Sejumlah ulama tergabung di dalamnya, termasuk Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia PBNU Ulil Abshar Abdalla.
Gus Yahya mengatakan hasil rapat pleno di Hotel Sultan tidak memiliki legitimasi. Ia menjelaskan, pertemuan di Hotel Sultan tempo lalu dikatakan sebagai lanjutan Rapat Harian Syuriyah PBNU yang digelar di Hotel Aston pada 20 November.
Gus Yahya menilai keputusan Rapat Harian Syuriyah untuk memberhentikan dirinya sebagai Ketua Umum PBNU itu merupakan tindakan di luar kewenangan struktural Syuriah, sehingga seluruh hasil rapat dinilai tidak sah.
"Pertemuan di Hotel Sultan kemarin itu dinyatakan sebagai tindak lanjut dari rapat di Hotel Aston. Ini artinya kalau dari pangkalnya tidak diterima, ya seterusnya yang didasarkan pada pangkal itu tidak bisa diterima," kata Gus Yahya di setelah rapat koordinasi.
Juru bicara Presiden RI ke-3 Abdurrahman Wahid ini menyebut akan menyelesaikan konflik internal di PBNU dengan berpegang pada arahan para kiai sepuh Mustasyar NU dalam pertemuan di Ploso dan Tebuireng beberapa waktu lalu.
Gus Yahya mengatakan bahwa para kiai sepuh telah memberikan pesan agar PBNU kembali merujuk pada AD/ART organisasi terkait konsolidasi dalam menyikapi polemik rapat pleno di Hotel Sultan. "Jalankan AD/ART apa adanya, jangan ditekuk-tekuk," ujarnya.
Manuver Geser 'orang' Jokowi
Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Indonesia, Arifki Chaniago, menganggap munculnya konflik internal PBNU yang melahirkan dua faksi dinilai sebagai bagian dari pertarungan elit menjelang Muktamar 2026.
Arifki mengatakan persoalan ini merupakan cerminan tarik-menarik pengaruh antara kelompok yang berupaya mempertahankan posisi dan pihak yang ingin membangun pengaruh baru di bawah pemerintahan eksisting saat ini.
Gus Yahya menjabat sebagai Ketua Umum PBNU sejak 2021 saat masa pemerintahan Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi). Jokowi pada 2018 juga mengangkat Gus Yahya menjadi Anggota Dewan Pertimbangan Presiden alias Wantimpres.
"Perebutan kekuasaan ini dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama ada penguasa yang ingin dekat dengan ormas ini. Kedua ada elit ormas yang mau mendekatkan diri ke penguasa karena tidak mendapatkan ruang di era sebelumnya," kata Arifki saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Kamis (11/12).
Menurut Arifki, kecenderungan organisasi masyarakat (ormas), termasuk PBNU, berupaya agar tak lepas dari orbit kekuasaan negara. Di sisi lain, hal ini juga dapat dilihat sebagai kecenderungan politik setiap pergantian pemerintah baru.
Ia menilai persepsi kedekatan Ketua Umum PBNU Gus Yahya dengan Presiden Joko Widodo menjadi salah satu pemicu gesekan. Manuver untuk melemahkan orang-orang yang diasosiasikan dengan Jokowi dinilai ikut mendorong eskalasi konflik di tubuh PBNU.
Alumni Prodi Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Andalas itu menilai persepsi kedekatan Ketua Umum PBNU Gus Yahya dengan Jokowi menjadi salah satu pemicu eskalasi konflik di tubuh PBNU.
Arifki menganggap siapa pun yang berhasil menguasai arah kepengurusan PBNU akan memiliki modal politik signifikan untuk mempengaruhi peta dukungan pada pemilihan presiden mendatang. "NU ini ormas besar. Secara elektoral juga menguntungkan untuk Pemilu 2029," kata Arifki.
Konsesi Tambang Ikut jadi Pemicu Konflik
Polemik internal PBNU juga dapat dibaca sebagai dampak dari kebijakan pemberian konsesi tambang kepada ormas keagamaan. Arifki juga eskalasi konflik di PBNU kini telah melebar menjadi ajang persaingan para pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi.
Ia menyebut perebutan konsesi tambang berpotensi melibatkan aktor-aktor bisnis yang ikut mendorong figur tertentu untuk menduduki kursi pimpinan. "Saya rasa ini juga menjadi pertarungan ranah baru bagi PBNU. Mungkin dulu faksi-faksi mereka hanya di level kekuasaan, tapi hari ini ada godaan tambang," ujar Arifki.
Gus Yahya pun tak menutup kemungkinan konsesi tambang menjadi salah satu pemicu polemik di tubuh PBNU saat ini. Kendati demikian, ia menekankan dinamika di tubuh PBNU jauh lebih kompleks dan tidak hanya dipantik oleh satu faktor tertentu.
Ia menyebut problem yang muncul saat ini merupakan gabungan dari berbagai persoalan yang saling terkait. "Mungkin saja (tambang menjadi salah satu pemantik), Tapi bukan cuma itu. Ada yang lain karena ini kompleks, ada masalah macam-macam," kata Gus Yahya.
Lebih jauh, Gus Yahya mengaku terbuka atas usulan untuk mengembalikan konsesi tambang PBNU kepada pemerintah. Namun, menurutnya, setiap perubahan kebijakan harus melalui pembahasan kolektif karena keputusan awal mengenai tambang juga diambil secara bersama.
"Iya (mengembalikan konsesi tambang) itu tidak masalah, tapi semua harus dibicarakan bersama," ujarnya.



