Tiga Petinggi Petro Energy Divonis 4 hingga 8 Tahun Penjara dalam Kasus LPEI
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman kepada tiga terdakwa kasus Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Pidana terberat jatuh kepada para petinggi Petro Energy.
Salah satunya Jimmy Masrin, Komisaris Utama Petro Energy, yang divonis 8 tahun penjara dengan denda Rp 250 juta subsidair 4 bulan penjara.
Terdakwa lain yang divonis adalah Direktur Petro Energy Susy Mira Dewi Sugiarta yang mendapatkan putusan 6 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsidair 4 bulan bui serta Presiden Direktur Petro Energy Newin Nugroho yang divonis 4 tahun penjara dengan denda Rp 250 juta.
Putusan tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum. Sebelumnya, jaksa menuntut Newin pidana penjara selama 6 tahun, Susi 8 tahun dan 4 bulan, serta Jimmy 11 tahun.
"Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama," kata Hakim Ketua Brelly Yuniar Dien dalam persidangan di PN Jakpus, Selasa (16/12) malam dikutip dari Antara.
Hakim menyatakan terdapat keadaan memberatkan yang dipertimbangkan, yakni terdakwa telah menjadi hambatan terhadap upaya mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.
Hakim juga mengatakan, khusus bagi Susi dan Jimmy, perbuatan memberatkan yang dipertimbangkan karena tidak berterus terang dalam memberikan keterangan.
Dalam kasus tersebut, ketiganya didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp 958,38 miliar. Hakim juga menyebut para terdakwa memperkaya Jimmy yang merupakan pemilik manfaat Petro Energy sebesar Rp 600 miliar dan 22 juta dolar AS atau setara dengan Rp358,38 miliar.
Para terdakwa diduga mengajukan permohonan fasilitas pembiayaan Petro Energy ke LPEI dengan menggunakan kontrak fiktif.
Mereka juga didakwa menggunakan aset dasar atau underlying dokumen pencairan berupa pesanan pembelian dan invoice yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Tujuannya untuk mencairkan fasilitas pembiayaan dari LPEI kepada Petro Energy.
Perkara ini bermula dari pemberian fasilitas kredit pada 11 debitur. Awalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga adanya konflik kepentingan antara direktur LPEI dengan debitur yakni Petro Energy untuk memudahkan mendapatkan kredit.
Petro Energy juga diizinkan menerima kredit walaupun dinyatakan tidak layak. Perusahaan tersebut juga diduga memanipulasi sejumlah dokumen dalam proses administrasi kredit tersebut, salah satunya dengan mengubah dokumen purchase order dan invoice.
