Pengusaha Khawatirkan Kampanye Hitam Sawit Ganggu Harga Jual Petani
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) meminta pemerintah mengambil langkah strategis guna menangkal kampanye hitam sawit. Sebab, jika kampanye hitam dibiarkan terus menerus maka dikhawatirkan dapat mempengaruhi harga di tingkat petani.
Ketua Gapki Sumatera Selatan Harry Hartanto mengatakan, semua pihak untuk bekerja sama dan bersinergi dalam melawan kampanye hitam negara-negara Uni Eropa terhadap produk ekspor utama Indonesia, minyak kelapa sawit (CPO).
Harry mengatakan tujuan dari kampanye ini tak lain agar produk sawit Indonesia ini tidak masuk ke negara-negara kawasan Eropa. Penyebabnya, banyak negara ingin menjual jenis minyak nabati yang mereka produksi sendiri seperti minyak biji matahari dan minyak kedelai.
"Jika ini berhasil, maka akan terjadi pengurangan serapan di pasar internasional, dan ini bakal berdampak ke petani kita," kata Harry di Palembang, Jumat (11/1).
(Baca: Penerapan Energi Terbarukan Berpotensi Gerus Kontribusi Ekspor Sawit)
Data Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa Indonesia adalah pemasok utama kebutuhan CPO ke Eropa. Setiap tahun rata-rata ekspor CPO Indonesia ke Eropa mencapai 3,5 juta ton, sedangkan kebutuhan CPO Eropa mencapai 6,3 juta ton. Adapun Malaysia di tempat kedua dengan volume ekspor mencapai 1,5 juta ton.
Menurut Harry, jika pengurangan serapan itu terjadi, maka dapat mengancam ketahanan ekonomi nasional karena perkebunan sawit Indonesia sebagian besar dimiliki rakyat. Selain itu ekspor minyak sawit ini terbukti telah memberikan sumbangan terbesar pada devisi negara. Oleh karena itu, Harry mengajak semua pihak untuk melawan kampanye hitam negara-negara Eropa yang dilakukan melalui Lembaga Sosial Masyarakat (NGO).
"Pemerintah harus mengambil langkah strategis terkait persoalan ini, tidak boleh diam saja karena kampanye hitam ini terus saja berlanjut. Padahal, ini murni perang dagang, tidak ada hubungannya dengan produk sawit karena berdasarkan penelitian justru minyak sawit juga baik untuk kesehatan," kata dia.
Potensi Indonesia dalam menghasilkan minyak nabati juga dinilai menjadi ancaman sendiri negara-negara di Eropa karena mampu menjadi penyuplai utama kebutuhan.
Eropa tidak bisa berbuat banyak karena perkebunan sawit jauh memiliki keungulan dibandingkan biji matahari dan kedelai, salah satunya dari sisi produktivitas. Dia menuturkan, dalam satu hektare perkebunan sawit bisa menghasilkan 8 ton minyak sawit per tahun, sementara untuk biji matahari hanya 0,3 ton per tahun.
Oleh karena itu, tak heran jika dimunculkan isu berbau kampanye hitam seperti produk yang tidak aman untuk kesehatan, merusak lingkungan, hingga pengeksploitasian tenaga kerja anak-anak.
"Ini semua tidak benar, coba bayangkan jika menanam biji matahari, artinya lebih banyak lagi hutan yang mereka babat. Soal standarisasi, Indonesia juga sudah menerapkan sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang sudah diakui secara internasional,"ujar dia.
(Baca juga: Menang Tuduhan Dumping Uni Eropa, Ekspor Biodiesel Diproyeksi Naik 15%)
Menurutnya, Indonesia cukup terusik dengan gencarnya kampanye hitam yang terus dilakukan, mengingat memiliki kepentingan terhadap komoditas itu setidaknya mampu berkontribusi terhadap nilai ekspor sebesar Rp240 triliun setiap tahun.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada tingkat diplomasi mengatakan Indonesia telah menggandeng Malaysia untuk melawan kampanye hitam ini.
Selain itu, Delegasi Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada November tahun lalu kembali minta Uni Eropa (UE) untuk menghentikan pelabelan produk "bebas minyak sawit" secara sukarela karena diskriminatif dan hanya menguntungkan salah satu pihak.
Serapan Dalam Negeri
Di sisi lain, pemerintah tengah menempuh sejumlah langkah strategis untuk meningkatkan serapan minyak sawit di dalam negeri untuk digunakan sebagai bahan baku atau bahan pencampur program energi terbarukan seperti biodiesel serta greenfuel.
Dari total produksi sawit saat ini, porsi serapan sawit dalam negeri baru mencapai 30%, sementara ekspor menyerap sekitar 70%. Jika program energi terbarukan 2025 berhasil diterapkan, konsumsi sawit dalam negeri diharapkan meningkat menjadi 50% dan sementara serapan sawit untuk ekspor turun menjadi 50%.
Program biodiesel dan greenfuel antara lain bertujuan untuk mengurangi konsumsi impor dan bahan bakar fosil, serta meningkatkan nilai tambah industri hilir sawit.
(Baca juga: Stok Minyak Nabati Tinggi, Ekspor Sawit November Turun 4%)
Direktur Bioenergi, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Andriah Feby Misna mengungkapkan program greenfuel masih dalam uji coba. Saat ini, pemerintah mencoba teknologi hidrokarbon sawit sekitar 7,5% sampai 15%.
Feby menyebutkan, Pertamina sedang memproses penggunaan greenfuel dengan kadar sekitar 15%-20%. Namun, target penetapan program ini masih belum bisa ditentukan waktunya. "Pengujian di laboratorium sudah berhasil, tetapi kami mau lihat dalam skala besar," katanya.