Sejumlah Kalangan Pertanyakan Data Surplus Produksi Jagung
Pengamat pangan dan pertanian Khudori mempertanyakan pernyataan surplus jagung Kementerian Pertanian. Keraguan itu muncul selain karena harganya yang inggi, juga karena industri pengguna yaitu industri pakan ternak masih memiliki ketergantungan impor cukup besar terhadap impor jagung maupun gandum sebagai bahan baku pengganti jagung.
Khudori menjelaskan jika penghitungan surplus hanya berdasarkan perhitungan luas tanam dikalikan produktivitas dikhawatirkan bisa menyebabkan kelebihan penghitungan. "Dengan cara pendugaan tidak langsung, sangat memungkinkan penghitungannya overestimate," kata Khudori di Jakarta, kemarin (10/10).
Sebab, jika membandingkan data Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dengan proyeksi Kementerian Pertanian, proyeksi produksi jagung keduanya terpaut cukup jauh. Berdasarkan RPJMN, produksi jagung sepanjang 2018 sebesar 22,95 juta ton, menurut proyeksi Kementerian Pertanian produksinya bisa mencapai 28,6 juta ton.
(Baca: Harga Jagung Naik, Harga Pakan Ternak Berpotensi Melonjak)
Selain itu, angka surplus produksi jagung, menurut Khudori terbantahkan dengan masih besarnya impor jagung sebagai bahan baku industri pakan ternak sejak 2015. Menurut catatannya, pada 2015 impor jagung sebesar 3,5 juta ton padahal produksinya mencapai 19,6 juta ton. Sedangkan pada 2016, meski angka produksi jagung telah meningkat menjadi 23,16 juta ton dan impor jagung mulai dibatasi, namun tetap saja masih ada impor jagung yang tercatat sebesar 1,3 juta ton.
Di sisi lain, impor gandum untuk pakan juga melonjak drastis dari 0,02 juta ton pada 2015 menjadi 2,5 juta ton pada 2016. Penghematan devisa dari penurunan impor jagung senilai US$ 448,3 juta pun rupanya lebih kecil dibandingkan dari lonjakan impor gandum pakan US$ 479,5 juta.
"Kenyataannya, perusahaan pakan kesulitan dapat jagung," ujar Khudori.
Konsultan Pertanian Dean Novel mengungkapkan hal berbeda. Menurutnya penghitungan data stok oleh pemerintah juga tak dilakukan dengan tepat. Alasannya, penghitungan jagung terlalu digeneralisir dengan jumlah yang besar tanpa mengkaji lebih detail terkait jenis produksi dan kebutuhan pengguna jagung.
Novel meminta pemerintah agar bisa lebih mengintegarsikan data dari hulu ke hilir komoditas jagung. "Untuk pertanian berkelanjutan pendataan harus tepat. Bagaiman cara menghitung stok kalau pengering dan gudang saja tidak ada," katanya.
Ketua Dewan Jagung Nasional Tony Kristianto membenarkan bahwa petani membutuhkan infrastruktur pascapanen yang lebih berguna seperti pengering. Selain itu, dia meminta pemberian insentif kepada pabrik pakan untuk menjaga kualitas serapan.
Tony mengungkapkan produksi tidak stabil pada saat musim kemarau sehingga harganya menjadi tinggi. Catatannya, harga jagung sudah mencapai Rp 5.500 per kilogram, jauh di atas harga acuan pemerintah Rp 3.150 per kilogram.
Dampak Harga
Direktur Eksekutif Institute of Development for Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menyebutkan kenaikan harga jagung pada industri pakan bisa menyebabkan daging ayam dan telur ayam menjadi lebih mahal. Hal ini bisa mengkhawatirkan karena, kedua komoditas adalah kebutuhan pokok masyarakat yang juga berkaitan dengan daya beli.
Indef mengusulkan supaya pemerintah untuk membuat pola pembangunan pertanian yang terintegrasi. "Kepentingan petani harus dipikirkan, jangan asal menjaga harga di tingkat konsumen," ujar Enny.
Sementara itu, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan kembali mempertanyakan peningkatan harga yang disebabkan oleh pasokan yang berkurang. Menurutnya, pergerakan harga jual berlaku sejalan dengan hukum permintaan dan penawaran.
Meski begitu, pemerintah menurutnya juga harus lebih memperhatikan konsumen jagung oleh peternak dan pabrik pakan ternak. "Diferensiasi harga pasar untuk pakan dan pangan harus dibedakan juga," katanya.
Sebelumnya, Kementerian Pertanian mengklaim produksi jagung dalam kondisi surplus. Dengan produksi jagung yang berlebih, pihaknya bahkan menyebut bahwa komoditas jagung saat ini bisa diekspor hingga ke Filipina dan Malaysia.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Sumarjo Gatot Irianto menyatakan ekspor jagung tahun ini diperkirakan bisa mencapai sebanyak 372.990 ton dengan surplus mencapai 12,98 juta ton.
Proyeksinya, produksi jagung mencapai 30 juta ton pipilan kering (PK) dan kebutuhan jagung juga diperkirakan sebesar 15,5 juta ton PK dengan rincian kebutuhan untuk industri pakan ternak sebesar 7,76 juta ton PK, peternak mandiri 2,52 juta ton PK, benih 120 ribu ton PK, dan industri pangan 4,76 juta ton PK.
Catatan Kementerian Pertanian, produksi jagung hingga September 2018 sudah mencapai 24,24 juta ton PK. Sehingga Gatot menyatakan, 83,8% produksi jagung berada di 10 provinsi sentra tersebut berjalan dengan baik.
(Baca : Kemarau Panjang dan Penurunan Produksi Kerek Harga Jual Jagung)
Adapun kenaikan harga jagung, menurutnya bukan diakibatkan oleh kendala pasokan, melainkan pilihan konsumen jagung yang masih relatif terfokus pada lokasi tertentu dan jauh dari sentra produksi.
Sentra produksi jagung saat ini terdapat terdapat pada beberapa wilayah seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Lampung, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Gorontalo, Sulawesi Utara, dan Sumatera Barat.
“Kendalanya yang terjadi adalah karena beberapa pabrik pakan tidak berada di sentra produksi jagung, sehingga perlu dijembatani antara sentra produksi dengan pengguna agar logistiknya murah,” kata Gatot.