Kelebihan Impor, 150 Ribu Ton Garam Tak Terserap Pasar pada 2019
PT Garam menyebut impor yang dilakukan pada tahun lalu menyebabkan 150 ribu ton garam tak terserap pasar. Ini menjadi penyebab harga garam di tingkat petani atau hulu anjlok.
Direktur Utama PT Garam Budi Sasongko mengatakan, harga garam terus menurun sejak September 2019. “Turun karena over supply atau over impor,” kata Budi dalam rapat virtual dengan Komisi VI DPR RI, Senin (20/4).
Adapun pada tahun lalu, menurut dia, produksi PT Garam mencapai 450 ribu ton atau lebih tinggi dari target sebanyak 350 ribu ton. Jumlah tersebut bahkan merupakan yang terbesar sepanjang sejarah.
(Baca: Deretan Bantuan Sosial Pandemi Corona yang Disalurkan Mulai April)
Kenaikan produksi tersebut terjadi seiring dengan pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas yang dilakukan PT Garam. Salah satunya, penggunaan water engineer. Ia pun memperkirkaan produksi pada tahun ini mencapai 450 ribu ton, jika kondisi cuaca kembali mendukung.
Budi menjelaskan pihaknya dapat mengolah garam rakyat menjadi garam industrri. Namun, perusahaan selama ini memiliki keterbatasan modal kerja. Ia mencontohkan pada 2015 lalu, PT Garam sempat mendapatkan penyertaan modal negara sebesar Rp 300 miliar, tetapi Rp 202 miliar digunakan untuk modal kerja.
“Kalo ada investasi, saya yakin garam rakyat bisa jadi added value. Jadi bukan hanya main di hulu, tapi di hilir juga,” jelasnya.
(Baca: Kemendag Gandeng Gojek untuk Perlancar Distribusi Bahan Pokok)
Selain keterbatasan investasi, menurut dia, regulasi PT Garam yang terbelah di beberapa unit kementerian juga menjadi hambatan bagi perusahaan. Saat ini, PT Garam berada di bawah pengaturan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk permasalahan hulu dan Kementerian Perindustrian untuk masalah hilir. Selain itu, PT Garam juga berada di bawah pengaturan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Maritim dan investasi.
Regulasi yang belum harmonis terkait garam pun membuat tak ada aturan terkait harga eceran untuk komoditas ini.