Dampak Corona, Pendapatan Maskapai di Asia Berpotensi Hilang Rp 381 T
Asosiasi Pengangkutan Udara Internasional atau IATA memproyeksi maskapai-maskapai di Asia Pasifik kehilangan pendapatan mencapai US$ 27,8 miliar atau sekitar Rp 381 triliun pada tahun ini. Ini seiring pemangkasan penerbangan yang dilakukan maskapai karena menurunnya permintaan akibat wabah virus corona (2019-nCoV) .
Dikutip dari Reuters, hanya dari pasar domestik mereka. Para maskapai tersebut memangkas 80% dari kapasitas penerbangan yang direncanakan baik untuk domestik maypun internasional.
Cathay Pacific Airways Ltd dan Singapore Airlines Ltd telah memangkas kapasitas penerbangan di seluruh jaringan global mereka sebagai bagian dari upaya mengelola krisis.
(Baca: Menhub Sebut Insetif Pariwisata Akan Diputuskan Senin Depan)
Secara keseluruhan, IATA memperkirakan lalu lintas penumpang di wilayah Asia Pasifik turun 8,2% pada tahun ini, jauh dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya yang tumbuh 4,8%.
"Maskapai membuat keputusan sulit untuk memangkas kapasitas dan dalam beberapa kasus memangkas rute," kata Direktur Jenderal IATA Alexandre de Juniac dalam sebuah pernyataan.
Operator penerbangan di luar Asia diperkirakan akan kehilangan pendapatan sebesar US$ 1,5 miliar akibat pendemi tersebut. Kendati demikian, IATA mengaku sebenarnya terlalu dini untuk mengukur dampak pada pendapatan.
(Baca: BI Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Akibat Virus Corona)
Air France KLM SA pada hari Kamis (20/2) memperkirakan bakal kehilangan pendapatan mencapai US$ 216 juta hingga April akibat wabah virus corona.
"Biaya bahan bakar yang lebih rendah akan membantu mengimbangi sebagian dari pendapatan yang hilang. Ini akan menjadi tahun yang sangat sulit bagi maskapai penerbangan," kata Juniac.
Wabah virus yang berasal dari Wuhan, Tiongkok ini telah menewaskan lebih dari 2.200 orang di seluruh dunia. Hingga kini, jumlah kasus infeksi mencapai lebih dari 76 ribu, serta menyebar di 30 negara atau teritori. Mayoritas kematian dan kasus berada di provinsi Hubei dengan ibu kota Wuhan yang merupakan pusat wabah.
Data dari learnbonds.com, virus novel corona menjadi epidemi termahal dalam 20 tahun terakhir. Tercatat kerugian ekonomi akibat virus yang menyerang sebagian daratan Tiongkok, diproyeksikan sebesar US$ 62 miliar. Angka ini lebih besar dari kerugian ekonomi dari Ebola yang senilai US$ 53 miliar seperti terlihat dalam databoks di bawah ini.