Pengusaha Resort Andalkan Wisata Berkualitas di Masa Pandemi
Pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19 berdampak buruk pada industri pariwisata. Namun, di balik segala keterbatasan saat ini, masih ada peluang yang bisa dimanfaatkan pelaku industri pariwisata untuk menarik turis lokal. Misalnya, dengan menerapkan pariwisata berkualitas atau yang mengusung misi berkelanjutan.
Riset McKinsey menunjukkan, kunjungan wisatawan mancanegara turun 60% hingga 80% selama pembatasan sosial. Hal serupa juga diungkapkan Co-founder Berdaya Krui dan Owner Cabana Surf and Stay, Ade Safrina Nasution.
Menurut Ade, resort miliknya yang berlokasi di Krui, pesisir barat Lampung pada periode Maret-April atau di awal pandemi sempat mengalami penurunan okupansi hingga berada di level 10%-20%.
“Level okupansi kami selama tiga tahun berdiri berada di angka 90%, pada April level okupansi bertahan 10% hingga 20%,” kata Ade dalam diskusi virtual 'Katadata Hot Talk, Jurus Bisnis Pariwisata Hadapi Pandemi'.
Industri bisnis milik Ade merupakan resort khusus peselancar dengan target pasar wisatawan mancanegara. Ketika pandemi Covid-19 berlangsung, pendapatan resort miliknya hanya berasal dari wisman yang sudah menetap di daerah Krui.
"Kami sebagai pelaku bisnis pariwisata juga tetampar realita di zona nyaman karena selama ini menyediakan seluruh paket layanan untuk wisatawan asing. Maka, harus putar balik, tak bisa seperti ini karena kita tak tahu sampai kapan pandemi terjadi,” katanya.
Belajar dari pengalaman tersebut, dia pun memutar haluan, di mana layanan pariwisata yang disediakan kini tak hanya untuk kegiatan berselancar dan menyasar turis asing. Tapi juga khusus mengkurasikan target turis lokal.
Akibat perubahan target pasar ini, tingkat kunjungan resortnya pun mulai perlahan pulih dengan tingkat okupansi mencapai 50%. Kendati keuntungannya tak terlalu besar, dia akan menjaga bisnisnya tetap sehat agar bisa bertahan.
Bertahan dengan Pariwisata Berkelanjutan
Tak hanya menghambat bisnis, pandemi juga mendorong peluang usaha baru seiring adanya perubahan perilaku masyarakat berwisata. Di masa pandemi muncul kebutuhan berwisata untuk menghilangkan kepenatan akibat stay at home.
Ade menyebut turis asing tertarik dalam mempelajari budaya lokal yang berbeda dengan lingkungan asalnya, hingga mencari lokasi yang berpopulasi rendah. Nah, Resort Cabana yang dimilikinya memenuhi kebutuhan itu.
Resort Cabana kemudian berkolaborasi dengan Berdaya Krui, membentuk bisnis sosial. Mereka mengusung konsep bisnis sekaligus memberdayakan masyarakat lokal. Beragam kegiatan yang ditawarkan untuk mengenalkan budaya setempat misalnya, agritourism kebun kopi, beachwalk membersihkan pantai dari sampah, permakultur, hingga kelas mengajar bahasa Inggris di sekolah sekitar.
"Industri bisnis harus punya sensitivitas ke lingkungan dan komunitas, mereka juga harus naik," ujarnya.
Resortnya pun turut mempekerjakan penduduk lokal yang dilatih secara intensif terkait menajemen perhotelan dan komunikasi Bahasa Inggris.
Bisnis berkelanjutan ini ternyata membuat para turis Cabana memiliki keterikatan dengan penduduk sekitar. Ketika Covid-19 melanda dan wisman tidak dapat berlibur ke Krui, mereka membentuk penggalangan dana foodbank untuk pekerja pariwisata Krui yang terdampak pandemi.“Mereka prihatin dan sangat peduli dengan nasib para pekerja," ujarnya.
Pariwisata Berkualitas ala Yogyakarta
Pengelola destinasi wisata di lima kabupaten/kota juga menerapkan konsep pariwisata berbasis kualitas di masa pandemi. "Sekarang ini, kami menyiapkan diri untuk menuju strategi quality tourism karena sebagai konsep pariwisata saat pandemi," kata Kepala Dinas Pariwisata DIY Singgih Raharjo di kutip dari Antara, Senin (7/9).
Singgih mengatakan pariwisata berbasis kualitas tidak lagi mementingkan jumlah wisatawan yang datang. Melainkan konsep pariwisata yang disertai dengan protokol kesehatan ketat, sehingga mampu memberi nilai tambah lebih tinggi.
Untuk menuju pariwisata berbasis kualitas, banyak hal yang harus dipersiapkan, seperti kualitas layanan, higienitas hidangan, akses transportasi darat, layanan hotel, hingga keberadaan narasi budaya pada setiap destinasi.
"Kalau daya tarik sama tetapi layanan lebih bagus, maka kita bisa jual lebih tinggi lagi karena punya nilai tambah," kata dia.
Keberadaan narasi pada setiap destinasi wisata, menurut dia, cukup penting. Wisatawan tidak lagi hanya mengandalkan spot foto, tetapi ke depan mereka akan memperoleh pengetahuan baru serta pengalaman budaya Yogyakarta.
Untuk memperkuat kesiapan menuju pariwisata berbasis kualitas, menurut Singgih, Dispar DIY akan memberikan pelatihan kepada para pengelola maupun pemandu wisata terkait pelayanan, tentang keistimewaan DIY, budaya, hingga membuat narasi cerita yang baik.
"Narasi itu tidak perlu cari-cari, tinggal menyusun kembali," kata dia.
Tidak hanya itu, menurut dia, menyusul telah diresmikannya Bandara Yogyakarta International Airport (YIA), seluruh pengelola destinasi wisata juga telah diminta mempersiapkan pelayanan dengan standar internasional.
Sebelumnya, Dewan Perjalanan dan Pariwisata Dunia (WTTC) memprediksi kerugian sektor pariwisata dan perjalanan secara global akibat pandemi corona. Prediksi terbagi atas tiga skenario, yakni skenario terbaik, sedang, dan terburuk terkait hilangnya mata pencarian.
Dalam skenario terbaik, WTTC memprediksi terdapat 98,2 juta pekerjaan yang hilang akibat pandemi Covid-19. Jumlahnya makin bertambah dalam skenario sedang (121,1 juta) dan terburuk (197,5 juta).
Padahal dalam satu dekade ini, sektor perjalanan dan pariwisata selalu mencetak lapangan pekerjaan baru tiap tahunnya. Jumlahnya berkisar 5-9,3 juta pekerjaan per tahunnya.
Selain kehilangan mata pencarian, sektor pariwisata dan perjalanan global mengalami penurunan produk domestik bruto. Jumlahnya mencapai US$ 5.543 miliar atau Rp 80.928 triliun (dengan kurs Rp 14.600/US$), dalam skenario terburuk.
Penyumbang Bahan: Agatha Lintang (Magang)