Cek Data: Kontroversi PPN 12%, Bagaimana Dampaknya ke Masyarakat Menengah Bawah?

Muhammad Almer Sidqi
26 Desember 2024, 09:52
Sejumlah pengunjuk rasa membawa poster saat aksi penolakan PPN 12 persen di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (19/12/2024). Dalam tuntutannya, mereka menolak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen karena dianggap akan memicu lonjakan
ANTARA FOTO/Muhammad Ramdan/foc.
Sejumlah pengunjuk rasa membawa poster saat aksi penolakan PPN 12 persen di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (19/12/2024).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Pemerintah memastikan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12% tetap berlaku per 1 Januari 2025. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, kenaikan tarif merupakan amanat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Sesuai dengan aturan tersebut, tarif PPN akan dikerek secara bertahap, yakni dari 10% menjadi 11% pada 1 April 2022, dan akan mencapai 12% pada tahun baru nanti. “Tarif PPN akan naik dengan tetap memperhatikan asas keadilan,” ujar Airlangga dalam konferensi pers “Paket Stimulus Ekonomi” di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, pada Senin, 16 Desember 2024. 

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut beberapa jenis komoditas tidak kena PPN. Jenis komoditas ini adalah kebutuhan pokok yang mencakup beras, daging, ikan, telur, sayur, susu, gula konsumsi, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum, jasa tenaga kerja, jasa keuangan, jasa asuransi, vaksin polio, dan pemakaian air.

Terdapat juga beberapa komoditas pokok lain yang akan bertahan dengan PPN 11%, yakni tepung terigu, gula industri, dan minyak goreng Minyakita. Pemerintah mempertahankan tarif PPN atas tiga komoditas tersebut menggunakan mekanisme kebijakan insentif pajak ditanggung pemerintah (DTP).

“Barang-barang ini terkena PPN, tapi kami masih menganggap ini dibutuhkan masyarakat. Sehingga kami memutuskan (barang-barang tersebut) PPN-nya tetap 11%,” kata Sri Mulyani. 

Kontroversi

Menteri Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Maman Abdurrahman menyatakan kenaikan PPN menjadi 12% tidak akan berdampak pada masyarakat kelas menengah ke bawah. “Yang dinaikkan ini adalah sektor bahan-bahan sembako dan makanan premium,” kata dia.

Sementara itu, Menkeu menyebut, selama ini, barang dan jasa mewah banyak dikonsumsi oleh penduduk terkaya dengan pengeluaran menengah ke atas yang masuk dalam kategori desil 9 hingga 10. “Kami akan menyisir kelompok harga barang dan jasa yang masuk kategori barang dan jasa premium tersebut,” ujarnya.

Beberapa yang disebut Menkeu, misalnya, adalah beras, buah-buahan, daging, dan komoditas laut premium, jasa pendidikan dan kesehatan premium, hingga penggunaan listrik rumah tangga berdaya 3.500 sampai 6.600 VA. 

Menteri Sosial Saifullah Yusuf menilai kenaikan tarif PPN tidak akan berdampak pada penambahan masyarakat miskin. Penerapan PPN 12%, kata dia, telah dikaji oleh pemerintah secara selektif. “Mudah-mudahan malah menambah penerimaan negara,” ujar pria yang akrab disapa Gus Ipul itu di kantor Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia, Jakarta, 17 Desember 2024. 

Faktanya

Kenaikan PPN bisa memukul daya beli masyarakat menengah ke bawah, dan memicu inflasi yang tinggi pada 2025 mendatang. Sebab, pemerintah nyatanya juga mengenakan PPN 12% pada jenis barang dan jasa secara umum, alias tidak terbatas hanya pada barang dan jasa premium atau mewah.

Barang-barang seperti baju, sabun, dan mi instan hingga jasa bengkel dan kurir daring juga terimbas kenaikan tarif PPN. Center of Economic and Law Studies (CELIOS), dalam risetnya “PPN 12%: Pukulan Telak Bagi Dompet Gen Z dan Masyarakat Menengah ke Bawah,” menghitung asumsi kenaikan jenis barang dan jasa yang lazimnya dikonsumsi masyarakat, tetapi tidak dikategorikan sebagai komoditas pokok. 

Dari asumsi perbandingan atas 43 barang dan jasa yang dibuat CELIOS, kami memilih beberapa komponen yang lebih mendasar. Bahan Bakar Minyak (BBM), misalnya. Jika seseorang menghabiskan Rp307.541 dalam sebulan atau Rp3.690.492 dalam setahun demi membeli BBM, maka PPN 11% yang ia bayar senilai Rp405.954. Jika PPN naik menjadi 12%, orang tersebut kudu membayar Rp442.859.

Lalu air minum dalam kemasan yang seharga Rp300.000 per bulan atau Rp3.600.000 per tahun bertarif Rp396.000 dengan skema PPN 11%, dan Rp432.000 dengan PPN 12%. Ada selisih Rp36.000. 

Dengan perhitungan yang sama, asumsi cicilan motor senilai Rp11.220.000 dalam setahun akan ketambahan Rp112.200, yang tak lain merupakan selisih antara PPN bertarif 11% dan 12% dari harga motor. Begitu juga dengan peralatan rumah tangga, renovasi rumah, hingga kuota internet.

Selisih tarif PPN dari setiap komponen barang dan jasa di atas terkerek hingga sekitar 9%. Ini baru beberapa contoh kecil dari sekian banyak kebutuhan yang mesti dipenuhi masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah. 

Tarif PPN Indonesia memang masih di bawah rata-rata global yang sebesar 15,4%. Begitu juga dengan negara-negara yang tergabung di Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang sebesar 19,7%.

Masalahnya, Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita negara ini terbilang rendah ketimbang negara kebanyakan. Pada 2023, di antara negara-negara G20, Indonesia menduduki peringkat ke-19 dengan PDB per kapita sebesar US$4.876,31 atau setara Rp78,9 juta (kurs Rp16.190) per tahun. India menjadi satu-satunya negara dengan PDB per kapita terendah di bawah Indonesia.

Pada tahun yang sama, ada 108 negara yang dikategorikan sebagai negara berpendapatan menengah dengan rentang PDB per kapita di US$1.036 – 13.845 atau sekitar Rp16,7 – 223 juta per tahun oleh Bank Dunia. Indonesia termasuk di dalamnya.

Di ASEAN, sejak 2000 hingga 2023, PDB per kapita Indonesia berada di atas Vietnam dan Myanmar, tetapi di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand. 

Dengan PDB per kapita yang rendah, Indonesia malah punya tarif PPN tertinggi di ASEAN. Selain negara ini, hanya ada Filipina yang juga menetapkan PPN 12%. Sedangkan Singapura dan Malaysia hanya menerapkan tarif PPN masing-masing 9% dan 10%. 

Brunei, yang menempati posisi kedua sebagai negara dengan PDB per kapita tertinggi di ASEAN setelah Singapura, bahkan tidak menerapkan kebijakan PPN.

Meski PDB per kapita Indonesia berada di atas Vietnam, Myanmar, dan Timor Leste, ketiga negara tersebut memiliki tarif PPN yang rendah. Vietnam bertarif 10%, Myanmar 5%, dan Timor Leste 0%. 

Adapun Aseanbriefing.com mencatat, per Agustus 2024, Indonesia memiliki rata-rata upah minimum yang rendah, berkisar US$126 hingga US$311, setara Rp2 – 5 juta per bulan, ketimbang beberapa negara Asia Tenggara lainnya. 

Negara ini berada di bawah Thailand dan Malaysia yang masing-masing memiliki rata-rata upah bulanan US$354 dan US$337. Singapura yang bercokol di peringkat paling atas memiliki rata-rata upah minimum US$5.141 per bulan.

Kenaikan tarif PPN pun berpotensi memperberat daya beli masyarakat yang saat ini sudah melemah. Pada kuartal III-2024, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya mencapai 4,91% secara tahunan (year-on-year), dan menurun 0,48% secara kuartalan (quarter-on-quarter). 

Deflasi yang terjadi sepanjang Mei hingga September 2024 lalu juga menandakan lemahnya ekonomi masyarakat Indonesia. Adapun laporan Bank Rakyat Indonesia baru-baru ini menyebut UMKM di seluruh Indonesia mengalami penurunan omzet sekitar 40-60%. 

“Kebijakan ini berisiko memicu inflasi yang tetap tinggi pada tahun depan sehingga menambah tekanan terhadap ekonomi, khususnya bagi kelompok menengah ke bawah,” ujar Media Wahyudi Askar, Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Selasa, 17 Desember.

Demi Mengerek Pendapatan Negara

Menko Airlangga Hartarto mengakui kenaikan PPN perlu dilakukan demi mengerek pendapatan negara. Sebagai salah satu sumber penerimaan negara, PPN punya peran penting untuk mendanai program pemerintah. “Itu untuk mendorong Program Asta Cita dan prioritas Presiden, baik untuk kedaulatan dan resiliensi di bidang pangan dan kedaulatan energi,” katanya. 

Langkah kenaikan PPN ini juga demi mengurangi ketergantungan utang luar negeri yang selama ini digunakan untuk menutupi defisit anggaran. Selain utang luar negeri yang berkurang, menurut Airlangga, penerimaan pajak yang meningkat dapat menjaga stabilitas ekonomi negara dalam jangka panjang. 

Meski ketergantungan negara terhadap pajak tinggi, penerimaan pajak di Indonesia sendiri sebetulnya belum maksimal. Itu terlihat dari rasio pajak Indonesia yang saat ini berada di 10,1%. Untuk bisa setara dengan negara-negara berkembang di dunia, setidaknya Indonesia perlu memiliki rasio pajak 20% dari PDB. Rata-rata rasio pajak di Asia Pasifik bahkan sudah menyentuh 19,3%.

Rasio pajak Indonesia tahun ini turun ketimbang tahun 2023 dan 2022 yang masing-masing sebesar 10,21% dan 10,39%. Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, rasio pajak Indonesia sebetulnya mulai mengalami tren membaik. Pada awal pandemi 2020 lalu, rasio pajak berada di level 8,33% dan kemudian naik ke level 9,11% pada 2021. 

Akan tetapi, jika ditilik sepanjang satu dekade, rasio pajak terhadap PDB di Indonesia stagnan. Pada 2015, rasio pajak menyentuh 10,76%. Itu justru adalah raihan tertinggi yang bisa diukir pemerintahan dua periode Presiden Joko Widodo. 

Pajak sendiri berkontribusi paling besar terhadap pendapatan negara. Pada 2023 lalu, pajak berkontribusi hingga 80,32%. Sisanya adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan hibah yang masing-masing berkontribusi sebesar 19,56% dan 0,12%.

Adapun PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) menyumbang 35,04% terhadap total penerimaan pajak, menduduki posisi kedua setelah pajak penghasilan (PPh) yang sebesar 49,13%. Cukai berkontribusi paling kecil dengan persentase 10,73%. 

Secara tahunan, penerimaan pajak negara pun meningkat. PPN dan PPnBM selalu menempati posisi kedua sebagai kontributor terbanyak setelah PPh. Sektor itu rata-rata menyumbang Rp562,86 triliun, dan dalam tiga tahun terakhir, menyetor Rp2.243,1 triliun ke negara. 

Kendati begitu, pemerintah dinilai masih memiliki beberapa opsi untuk memaksimalkan penerimaan negara. Pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan pemerintah dapat mempertimbangkan tiga sumber alternatif selain PPN. 

Pertama, memperluas fokus pada sektor ekonomi informal dan digital yang belum terjangkau pajak. Kedua, efisiensi belanja negara dengan mengurangi pengeluaran untuk proyek-proyek tidak prioritas. Ketiga, kebijakan pajak progresif atau beban pajak yang lebih besar untuk golongan ekonomi atas. “Bukan membebani seluruh masyarakat secara merata,” ujar Nur, 17 November lalu. 

Referensi:

Aseanbriefing.com. 2024. ASEAN Labor Costs: Minimum Wage and Social Insurance Essentials (diakses 22 Desember 2024)

Badan Pusat Statistik. 2024. Realisasi Pendapatan Negara (diakses 23 Desember 2024)

Badan Pusat Statistik. 2024. Statistik Indonesia dalam Infografis (diakses 23 Desember 2024)

Bank Dunia. 2024. PDB Per Kapita (diakses 20 Desember 2024)

CELIOS. 2024. PPN 12%: Pukulan Telak Bagi Dompet Gen Z dan Masyarakat Menengah ke Bawah (diakses 19 Desember 2024)

Direktorat Jenderal Pajak. 2023. Statistik Penerimaan Pajak (diakses 20 Desember 2024)

LPEM FEB UI. 2024. Indonesia Economic Outlook 2025 (diakses 20 Desember 2024)

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...