ANTARA FOTO/Fauzan/foc.

Penulis: Verda Nano Setiawan, Sorta Tobing | Editor: Muchamad Nafi

2 Desember 2020, 13:00 WIB


Rutinitas Yuliana Fauzi berubah sejak pandemi Covid-19 muncul pada awal tahun ini. Tak ada lagi aktivitas berbelanja di supermarket. Untuk membeli bahan makanan, termasuk sayur dan buah, perempuan 27 tahun ini memilih aplikasi pesan-antar.

Selain lebih praktis, cara itu membuatnya tak perlu bepergian keluar rumah. “Jadi sudah ketergantungan. Apalagi, semua yang dibutuhkan dapat dibeli secara online,” ujar Yuliana kepada Katadata.co.id, Jumat (20/10).

Konsekuensi dari rutinitas barunya itu adalah jumlah plastik di rumah Yuliana meningkat. Barang-barang yang ia beli mayoritas dikirim memakai bungkus plastik sekali pakai. Tak jarang ada bubble wrap pula di dalamnya untuk mencegah barang rusak.

Perempuan pekerja di Jakarta itu berusaha mengurangi tumpukan sampah tersebut dengan memanfaatkannya kembali. “Kalau plastiknya masih bagus dan dapat dipakai untuk bungkus lain, biasanya disimpan dulu,” kata Yuliana.

Banyaknya plastik di rumah karena gandrung belanja online selama pembatasan sosial skala besar atau PSBB juga Niken Pratiwi rasakan. Perempuan yang tinggal di Jakarta Selatan ini kerap mengakses aplikasi e-commerce untuk kebutuhan anaknya yang berusia delapan bulan.

Kantong kresek pembungkus paket pesanan terpaksa ia buang. “Karena di tengah pandemi Covid-19 ini, saya khawatir plastiknya kotor,” kata pekerja kreatif berusia 35 tahun tersebut. Hanya bubble wrap saja yang masih ia simpan untuk keperluan mengirim barang.

Perubahan pola konsumsi masyarakat membuat jumlah sampah plastik rumah tangga meningkat. Kepala Bidang Pengelolaan Kebersihan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Edy Mulyanto menyebutkan sampah itu tak hanya dari belanja daring, tapi juga layanan pesan-antar makanan.

Padahal, pandemi sebenarnya membuat jumlah sampah dari Ibu Kota ke tempat pembuangan akhir atau TPA Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, menurun. Dari angka normal 8 ribu ton per hari menjadi 7 ribu ton per hari selama pemberlakuan PSBB.

Jumlah sampah anorganik atau yang tak dapat terurai sekitar 35% dari angka itu. Dari total komposisi sampah anorganik, sebanyak 14% merupakan bahan plastik dan sebagian besar berasal dari sampah rumah tangga. “Kertas dan plastik jumlahnya saat ini bersaing,” kata Edy.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 142 Tahun 2019 tentang kewajiban memakai kantong belanja ramah lingkungan. Namun aturan ini baru menyasar toko swalayan, supermarket, pusat perbelanjaan, dan pasar tradisional.

Sampai sekarang belum ada larangan kantong kresek untuk belanja daring. Anies lalu mengeluarkan Pergub Nomor 77 Tahun 2020 tentang pengelolaan sampah lingkungan rukun warga atau RW. “Setiap RW wajib memilah sampah dengan adanya aturan ini,” kata Edy.

Targetnya, pengelolaan sampah tersebut dapat terlaksana di Jakarta mulai Desember. Pengurus RW dapat memberikan sanksi kepada rumah tangga yang tidak memilah sampah. Sanksinya, tergantung pada kebijakan dan kesepakatan warga.

Dengan aturan itu, minimal rumah tangga dapat menyiapkan pewadahan. Lalu, petugas penanganan prasarana dan sarana umum alias Pasukan Oranye akan membantu menjadi fasilitator dalam memilah sampah.

Warga dapat memilah sampah menjadi dua bagian, yaitu organik dan anorganik. Nah, anorganik itu dapat terpisah lagi menjadi plastik kresek, botol air mineral, kertas, tisu, dan lainnya. “Tanpa pemilahan, dalam dua hingga tiga tahun Bantargebang akan full, kolaps, dan overload,” kata Edy.

Hasil survei dan observasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI di Bantargebang menunjukkan adanya penurunan sampah Jakarta selama pandemi. Namun, serupa dengan pernyataan Edy, komposisi sampah plastik justru meningkat.

Peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Intan Suci Nurhati mengatakan dampak PSBB dan banyak orang bekerja di rumah alias work from home membuat belanja online berbentuk paket naik 62 %. Untuk layanan antar makanan melonjak 47 %.

Survei pada 20 April hingga 5 Mei 2020 itu juga menampilkan angka aktivitas belanja online masyarakat Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek). Dari hanya satu hingga lima kali menjadi satu sampai sepuluh kali per bulan selama PSBB dan WFH.

Makanan dan disinfektan menjadi produk favorit belanja online. Namun 96 % paket yang warga terima berbahan plastik, terutama selotip, kantong kresek, dan bubble wrap. Sampah dari pembungkus tersebut menyaingi sampah kemasan produk yang dibeli.

Intan menyebut plastik dalam paket itu mayoritas tak dapat didaur ulang. “Paling hanya bubble wrap bisa dipakai lagi. Itu pun dengan syarat membukanya dengan rapi,” katanya. “Tapi hampir semuanya tak bisa digunakan kembali.”

Survei itu juga menunjukkan tingkat kesadaran warga terhadap isu sampah plastik sebenarnya cukup tinggi. Tapi kesadaran itu belum dibarengi dengan aksi nyata, misalnya dengan memilah sampah. Kondisi ini yang berpotensi meningkatkan beban di tempat pembuangan akhir.

Lipsus Sampah Jakarta (PRODUK DAUR ULANG SAMPAH PLASTIK
Pekerja memotong sampah plastik di rumah produksi di kawasan Pasar Minggu, Jakarta, Senin (13/1/2020). Di sini, mereka membuat aneka barang seperti tas, payung, dompet, dan koper dari limbah plastik. Harganya Rp 20.000 hingga 700.000. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Pengolahan Plastik Tanggung Jawab Siapa?

Para penjual online sebenarnya sadar dengan kondisi sampah plastik tersebut. Dinda Audriene, misalnya, memulai bisnis kuliner khas Jawa Tengah dan Yogyakarta secara daring sejak pandemi muncul. Bisnis rumahan ini ia lakoni bersama sang suami untuk mendapatkan pemasukan tambahan.

Dalam seminggu, perempuan 27 tahun itu dapat mengolah lele untuk masakan mangut hingga delapan kilogram. “Sistemnya pre order Sabtu-Minggu. Kalau udah delapan kilogram, kami tutup. Pemesanan dibuka kembali minggu depannya,” katanya.

Untuk pemasaran produknya, Dinda memanfaatkan media sosial Instagram dan Facebook serta jejaring grup di WhatsApp. Pengantaran mangut memakai jasa pengiriman kurir. Adapun pengemasannya masih memakai plastik sekali pakai.

Ia menyadari cara itu tidak ramah lingkungan. Sampai sekarang Dinda masih kesulitan menemukan wadah pengganti untuk mengemas makanan berkuah tersebut. “Sebenarnya, saya masih cari opsi wadah lain agar tidak boros pakai plastik,” ucapnya.

Penjual daring pakaian bermerek Slipa, Jessica Tandayu, berusaha mengemas produknya lebih ramah lingkungan. Baju yang ia kirim dari Jakarta ke para pembelinya terbungkus plastik berbahan dasar singkong dan ditata di dalam kotak kardus.

Ongkosnya memang lebih mahal. Dengan memakai plastik biasa, ia hanya mengeluarkan Rp 800 per paket. Kalau kemasannya berubah menjadi bioplastic dan kardus, harganya menjadi Rp 3.500 per paket. “Kalau ada alternatif bisa go green, why not?” kata perempuan 36 tahun yang berdomisili di Jakarta itu.

Senior Corporate Communications Manager Bukalapak, Gicha Graciella mengatakan seluruh kegiatan pengemasan dan pengiriman barang dilakukan oleh pelapak sesuai permintaan pengguna. Pengolahan kemasannya pun diserahkan kepada pembeli sesuai pilihan masing-masing.

Perusahaan berkomitmen menjaga transaksi online dapat terlaksana secara aman dan nyaman untuk seluruh masyarakat. “Tentunya kami selalu mengimbau pelapak untuk mengemas barang dengan efektif dan efisien,” ujarnya.

Tokopedia pun melakukan upaya serupa. Unicorn Tanah Air itu mengimbau mitranya menjual produk dengan cara ramah lingkungan. External Communications Senior Lead Tokopedia Ekhel Chandra Wijaya mengatakan semua proses pengemasan barang diserahkan kepada mitra penjual atau merchant.

Masyarakat pun didorong memakai kembali kantong plastik dan kardus yang didapat saat memesan produk dari Tokopedia. “Ini upaya kami mengurangi konsumsi plastik dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus menjaga keberlangsungan lingkungan,” katanya pada akhir Mei lalu.

Juru kampanye urban Greenpeace Indonesia Muharram Atha Rasyadi berpendapat Jakarta sebenarnya memasuki babak baru dalam mengurangi sampah plastik sekali pakai. Kondisi itu muncul usai Pergub Nomor 142 Tahun 2019 berlaku efektif pada Juli lalu.

Masalahnya, sampah plastik tak sebatas kantong kresek saja. Ada pula bungkus sachet, styrofoam, plastik pembungkus makanan, dan lainnya. Jenis sampah ini yang belum jelas bagaimana aturan dan penanganannya.

Kantong berbahan dasar tanaman pangan, menurut dia, tak bisa menjadi solusi. Data Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa alias UNEP pada 2016 menyebutkan proses terurainya butuh kelembaban dan panas tertentu. Sebagian besar justru banyak ditemukan di laut, seperti plastik pada umumnya.

Atha mengatakan pemakaian masif bioplastic berpeluang mengancam ketahanan pangan dan mendorong pembukaan lahan. Akibatnya, emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian meningkat. Tren pemakaiannya saat ini naik.

Indonesia butuh peraturan lain yang dapat mengatur produk-produk plastik sekali pakai lainnya. Selain itu, pengelolaan sampah perlu didorong agar dapat berbasis pemilahan dengan didukung pembatasan plastik sekali pakai yang lebih luas.

Direktur Eksekutif Daerah Walhi DKI Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi mengatakan Pergub Nomor 142 Tahun 2019 hanya mengatur plastik sekali pakai di pusat perbelanjaan, ritel, kemudian pasar tradisional. “Nah, di luar itu memang menjadi masalah,” kata Bagus.

Yang perlu menjadi catatan juga, menurut dia, seharusnya sampah plastik menjadi tanggung jawab produsen. “Misalnya, produk mie instan dan air mineral. Yang membuat wajib melakukan pengurangan,” kata dia.

Lipsus Sampah Jakarta untuk Tulisan Pertama (Sampah Plastik 3)
Pengendara melintas di dekat sampah rumah tangga yang menumpuk di pembatas jalan di Ciledug, Tangerang, Banten, Senin (25/5/2020). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/wsj.
Lipsus Sampah Jakarta untuk Tulisan Pertama (Sampah Plastik 3)
Warga melintas di samping limbah sampah plastik Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, Jum'at (5/6/2020). Survei LIPI menyebutkan sampah plastik meningkat signifikan seiring aktivitas belanja online selama masa pembatasan sosial berskala besar. ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/pras.
Darurat Sampah rev-06
Sampah menumpuk di aliran Kali Kampung Bogor, Desa Setiasih, Kabupaten Bekasi, Rabu (30/9/2020). Sampah yang membentang sekitar 200 meter tersebut didominasi jenis plastik dan limbah rumah tangga. Adi Maulana Ibrahim |Katadata

Sampah Medis Belum Tertangani dengan Baik

Tak hanya belanja daring, pemakaian masker dan sarung tangan sekali pakai juga berkontribusi meningkatkan jumlah limbah plastik selama pandemi. Kedua alat pelindung diri atau APD itu terbuat dari plastik.

Hasil survei LIPI juga menunjukkan peningkatan sampah medis selama pandemi terjadi. Sampah alat pelindung diri atau APD, termasuk masker dan sarung tangan, yang semula tidak ada di muara sungai kini naik mencapai 16 % dari sampah yang ditemukan pada Maret hingga April 2020.

Yang mengkhawatirkan adalah limbah medis dari rumah tangga. Sampai kini penangannya tidak memiliki standar yang jelas. Hal ini berbeda dengan limbah dari rumah sakit atau pelayanan kesehatan.

Bagus mengatakan limbah medis masuk dalam kategori bahan beracun dan berbahaya atau B3. Tanpa ada Covid-19, penanganannya cukup mengkhawatirkan. Pemerintah perlu mengawasinya dengan ketat.

Pemerintah DKI Jakarta sebenarnya memiliki standar untuk mengatasi hal itu. “Masker sekali pakai itu harus dipilah dan dibuang dalam wadah terpisah,” kata Edy. Lalu, warga harus menandai wadah tersebut dan menyampaikannya ke petugas pemungut sampah supaya dapat masuk ke limbah infeksius.

Dari situ, petugas kemudian akan membawanya ke tempat pembuangan sementara atau TPS khusus B3 di kecamatan. Edy mengatakan paling lambat dua atau tiga hari truk akan menjemput sampah tersebut untuk diolah di TPS khusus B3 berskala kota.

Lalu, pihak ketiga akan mengambil sampah medis tersebut untuk dimusnahkan. “Tempat pemusnahannya di Cilegon, Banten,” ucapnya. Sampah tersebut akan dibakar dalam insinerator khusus bersuhu seribu derajat Celcius.

Ia menyebut limbah infeksius dari rumah tangga di Jakarta sepanjang April hingga Oktober 2020 mencapai 857,71 kilogram. Yang terbanyak berasal dari wilayah Jakarta Barat. “Mayoritas masker bekas,” kata Edy.

Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kenaikan limbah medis selama pandemi 30 % hingga 50 %. Berdasarkan laporan dari 34 provinsi, setidaknya total limbah itu hingga Oktober 2020 mencapai 1.662,75 ton.

Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 (PSLB3) KLHK Rosa Vivien Ratnawati menyebutkan perlu penanganan serius terhadap limbah medis. Jika hal itu tidak dilakukan, sampah dapat menjadi salah satu mata rantai penularan Covid-19.

Kementerian pada 24 Maret lalu telah merilis surat edaran tentang pengelolaan limbah infeksius (Limbah B3) dan sampah rumah tangga dari penanganan Covid-19. “Untuk mencegah, memutus, dan menghindari pencemaran limbah,” kata dia dalam diskusi Katadata.co.id bertema Seruan Nasional dalam Akselerasi Penanganan Limbah Medis pada 13 November 2020.

Guna menekan jumlah limbah medis infeksius selama pandemi, ia meminta kepada kepala daerah supaya mengimbau warganya yang sehat memakai masker kain. Cara ini dapat menghindari penumpukan sampah masker sekali pakai.

Lipsus Sampah Jakarta untuk Tulisan Pertama ( Sampah Plastik 2)
Petugas memindahkan sampah ke tempat penyimpanan limbah medis di RSUD Kabupaten Tangerang, Banten, Senin (29/6). RSUD Kabupaten Tangerang, yang merupakan rumah sakit rujukan Covid-19, bekerja sama dengan pihak ketiga dalam mengelola sampah. Adi Maulana Ibrahim |Katadata
Lipsus Sampah Jakarta untuk Tulisan Pertama ( Sampah Plastik 2)
Karyawan menata tumpukan limbah medis untuk dibakar dengan mesin incinerator di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, Jumat (26/6/2020). Dalam satu hari RSCM membakar kurang lebih satu ton limbah medis. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/wsj.

Rumah sakit dan berbagai fasilitas pelayananan kesehatan pun harus memiliki prosedur untuk segera memusnahkan limbah medisnya. Caranya dengan melebur sampah itu dengan alat pemusnah. Pembakarannya harus bersuhu minimum 800 derajat Celcius.

Khusus daerah terpencil, pemerintah memberi kelonggaran. Wilayah ini dapat mengubur limbah medis sesuai dengan tata cara Menteri KLHK. “Untuk daerah terluar ini kami buka dan komunikasikan dengan kepolisian agar bisa dipahami bahwa ini situasi darurat,” katanya.

Jumlah fasilitas insinerator yang mendapat izin operasional, berdasarkan data KLHK per Oktober, berada di 171 rumah sakit. Ada pula 17 pengelolaan jasa limbah bahan berbahaya dan beracun atau B3 yang berada di wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.

Pandemi seharusnya menjadi momentum untuk mengatasi sampah plastik di ibu kota. Pengelolaan yang tepat dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah lingkungan dan kesehatan.

Tanggung jawab ini tak semata diemban pemerintah, tapi juga kalangan industri hingga warga Jakarta. Langkah kecil masyarakat, seperti memilah dan mengelola sampah dari rumah, dapat mendorong proses pengelolaan sampah berjalan dengan lebih baik.

Darurat Sampah di Indonesia

Credit: ANTARA FOTO/Fauzan

Penulis: Andrea Lidwina, Yosepha Pusparisa | Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi


Pada 2017, Indonesia setidaknya memproduksi 64 juta ton sampah atau 175 ribu ton setiap harinya. Jika dikumpulkan jadi satu, volumenya setara dengan 57 stadion utama Gelora Bung Karno (GBK) yang diisi penuh sampah.

Dengan asumsi setiap penduduk menghasilkan sampah rata-rata 0,7 kg per hari, volume produksi sampah Indonesia per tahun semakin menggunung seiring bertambahnya jumlah penduduk. Pada 2030, produksi sampah diperkirakan sebesar 72,9 juta ton, dan menjadi 79 juta ton pada 2045. Artinya, perlu upaya serius untuk mengelola sampah yang kita produksi.


Sampah organik berupa sisa makanan, sayuran, serta tumbuhan yang paling banyak dihasilkan.

[IMAGE Darurat Sampah-07.png]

Namun hanya sebagian kecil sampah yang didaur ulang. Mayoritas tak terkelola sehingga menumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA) atau dibuang ke lokasi tak berizin (illegal dumping).

Darurat Sampah rev-06

Masalah Sampah Jakarta

Sampai saat ini, TPST Bantargebang masih menjadi lokasi andalan pembuangan sampah penduduk Jakarta. Namun dengan kapasitas 49 juta ton, daya tampung Bantargebang hanya menyisakan 10 juta ton sampah lagi. Dengan rata-rata kenaikan produksi sampah Jakarta 4,5% per tahun diperkirakan Bantargebang akan penuh pada 2021.

SampahDKIkeBantargebang
komposisi BG

Meski begitu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Andono Warih mengatakan, sampah yang diangkut ke TPST Bantargebang yang memiliki luas 110,3 ha atau 6,5 kali stadion utama GBK itu menurun selama pandemi Covid-19. Terutama selama penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

“Namun, ternyata komposisi plastiknya meningkat,” kata Andono dalam webinar "Krisis Sampah Plastik, Sudahkah Terurai?" yang diadakan Greenpeace Indonesia pada 17 Juni lalu.

[Tempel image Scroll Group 8.png]

Peningkatan produksi sampah plastik lantaran naiknya penggunaan layanan pesan-antar makanan selama pandemi Covid-19. Survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 715 orang di Jabodetabek pada 20 April-5 Mei, ada kenaikan sebesar 47%. Selain itu kenaikan 62% pembelian barang secara online.

Dari belanja, sebanyak 96% di antaranya dibungkus dengan plastik, bubble wrap, cling wrap, rafia, cable tie, dan selotip. Karena itu, sampah plastik dari bungkus paket lebih banyak dibandingkan sampah plastik dari kemasan produk yang dibeli.

Darurat Sampah-01

Pandemi Covid-19 juga membuat pembelian disinfektan, obat-obatan, dan alat pelindung diri (APD), termasuk masker dan sarung tangan, melonjak.

Darurat Sampah-02

Limbah Medis Melimpah

Meningkatnya penggunaan perlengkapan kesehatan selama pandemi menjadi masalah baru persampahan di Jakarta. Asian Development Bank (ADB) memprediksi Ibu Kota bisa menghasilkan tambahan limbah medis hingga 212 ton per hari selama masa pagebluk.

Jika melihat data nasional, Kementerian Kesehatan mencatat sebanyak 296 ton limbah medis dihasilkan per hari hanya dari rumah sakit pada November 2019. Jumlahnya pun meningkat 30% sejak penyebaran virus corona meluas di Indonesia.

Sementara itu, melansir Antara, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan total produksi limbah medis mencapai 1,1 ribu ton hingga 8 Juni lalu. Pulau Jawa merupakan penyumbang terbesar.


Peningkatan sampah belum diimbangi dengan kemampuan masyarakat mengolah sampah. Menurut hasil survei LIPI, semakin banyak responden yang membuang sampah plastik tanpa dipilah semasa PSBB.

Darurat Sampah-03

Artinya, semakin sedikit sampah plastik yang dipisahkan dari jenis sampah lainnya untuk disetorkan ke 1.676 unit bank sampah yang tersebar di DKI Jakarta. Padahal, bank sampah berperan mendaur ulang sampah plastik, kertas, logam, beling, dan gabrug sehingga bisa mereduksi sampah hingga 239,2 ton tiap bulannya.

MapSAMPAHJakarta-01.png

Selain itu, DKI Jakarta tidak memiliki perusahaan pengolah limbah medis. Hanya provinsi terdekatnya yang punya jasa tersebut, yakni Jawa Barat (enam perusahaan) dan Banten (dua perusahaan).

Jakarta pun cuma punya empat rumah sakit yang memiliki insinerator untuk memusnahkan limbah tersebut, jauh tertinggal dari Jawa Timur dengan 36 rumah sakit. Namun, total rumah sakit dengan izin mengolah limbah medis di Indonesia, yakni 106 unit, memang belum sepadan dengan penambahan limbah selama pandemi berlangsung.



Minimnya kesadaran masyarakat dalam mengurangi dan mengolah sampah berakibat pada penumpukan. Ini bisa berakibat pada kerusakan lingkungan, apalagi plastik baru akan terurai setelah ratusan tahun. Riset Navarro Ferronato dan Vincenzo Torretta (2019) yang dimuat dalam International Journal of Environment Research and Public Health pun mengungkapkan hal tersebut.

Darurat Sampah-04

Sampah yang menumpuk dapat merusak lingkungan. Misalnya mengikis fungsi tanah hingga menyebabkan longsor. Selain juga berpotensi bocor ke laut dan menyebabkan pencemaran. Tak jarang, sampah plastik yang mengandung mikro plastik dan bakteri termakan oleh hewan. Akibatnya, terjadi kematian pada hewan atau masalah kesehatan pada manusia ketika hewan tersebut dikonsumsi.

Akibat Penumpukan Sampah

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga perlu melakukan manajemen pengolahan sampah plastik dan limbah medis dengan memadai. Di samping meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat terhadap masalah ini.

Darurat Sampah-05

Jalan Panjang Pengolahan Limbah Plastik di Jakarta

Credit: ANTARA FOTO/Fauzan

Penulis: Happy Fajrian | Editor: Yuliawati


Berjibaku dengan sampah sudah menjadi rutinitas Salim sehari-hari. Dengan gerobak dorong berukuran sekitar 70 x 160 centimeter, lelaki 60 tahun itu berkeliling sekitar Jalan Kramat Kwitang, Jakarta Pusat menjelang siang mengangkut sampah rumah tangga.

Sebagian besar sampah yang diambil dari tiap rumah dalam keadaan tercampur baur antara organik dan nonorganik. Dia tak pernah menemukan keluarga yang memilahkan sampah yang bisa didaur ulang dan tidak. “Tak ada pemilahan sampah. Langsung dimasukan ke gerobak dan penampungan sampah, jadi satu semuanya,” ujar Salim kepada Katadata.co.id, pekan lalu.

Salim membawa sampah rumah tangga ke tempat pembuangan sementara (TPS) di kawasan itu, di dekat Pasar Kwitang. Setiap siang, truk dari Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta akan mengangkut kumpulan limbah ini ke tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi.

Di TPS kawasan Pasar Kwitang itu, semua sampah bercampur antara sampah dari rumah tangga, pasar, dan pertokoan. Menurut Salim, Pemprov Jakarta pernah mengintruksikan pemilahan sampah organik dan nonorganik, namun program itu hanya berjalan sebentar. “Pernah ada pemilahan sampah sayur mayur dipotong-potong untuk dijadikan pupuk, namun programnya hanya sementara, setelah itu hilang,” kata Salim.

Para pemulung kemudian memilah-milah sampah yang masih berharga sebagai sumber rezeki. Mereka mengincar sampah yang dapat didaur ulang seperti plastik, kertas, bungkus makanan, dan botol-botol plastik. Namun, tak semua sampah plastik ini menjadi barang incaran. “Plastik bening dan bungkus bekas sabun cuci enggak laku,” ujar Salim.

Lipsus Sampah Jakarta untuk Tulisan Ketiga (Tukang Sampah Keliling)
Sejumlah pemulung memilah sampah plastik di Tempat Pembuangan Akhir (TPU) Rawa Kucing. Adi Maulana Ibrahim |Katadata

Salah seorang pemulung di TPS dekat Pasar Kwitang, Abdul Rahman Saleh mengatakan setiap hari bisa mengumpulkan tiga kilogram sampah plastik. Abdull hanya mau mengumpulkan botol plastik air mineral, botol dan gelas plastik minuman kemasan, juga kardus-kardus bekas.

Sampah-sampah tersebut lebih mudah untuk dijual daripada plastik-plastik kemasan makanan, atau sachet bekas yang ukurannya kecil. Abdul menerangkan botol bekas plastik air mineral bisa dijual Rp 2.500 per kilogram, gelas plastik bekas teh kemasan Rp 1.500, dan kardus Rp 1.500. “Botol-botol plastik perlu dicuci dan dibersihkan sebelum ditimbang,” kata dia.

Pengelolaan sampah di negeri ini masih menggunakan sistem ‘kupang’, yakni kumpul-angkut-buang, yang berarti sampah tak dipilah terlebih dulu. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat untuk memilah sampah masih minim. Menurut survei perilaku masyarakat terhadap upaya pengurangan sampah oleh Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik Provinsi DKI Jakarta pada 2019, hanya 34,9 % dari total 596 responden yang memilah sampahnya.

Katadata Insight Center (KIC) juga melakukan survei serupa pada 2019, di lima kota besar di Pulau Jawa, yakni Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya. Hasilnya, 49,2 % dari 354 responden yang memilah sampahnya. Dari 50,8 % responden yang tidak memilah sampahnya, 79 % beralasan tidak ingin repot.

Sampah-sampah yang tak dipilah dari Jakarta ini sebagian besar berakhir di Bantargebang. Pengelolaan sampah seperti ini juga membutuhkan biaya besar. Beberapa tahun terakhir, anggaran Unit Pengelola Sampah Terpadu (UPST) Jakarta meningkat signifikan, dari hanya Rp 186,5 miliar pada 2017 hingga tembus Rp 1 triliun dua tahun kemudian.

Bahkan untuk tahun ini anggaran untuk pengelolaan sampah diperkirakan mencapai Rp 1,6 triliun. Perkembangan anggaran tersebut dapat dilihat pada databoks berikut.

Untuk menangani masalah sampah, Pemprov DKI Jakarta belum lama ini menerbitkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 77 Tahun 2020 tentang pengelolaan sampah di tingkat rukun warga (RW) dengan menitikberatkan pada upaya yang disebut dengan ‘kupilah’, yakni kurangi, pilah, dan olah.

“Dinas LH sedang berupaya mencapai mengurangi sampah di sumber, salah satunya melalui program samtama (sampah tanggung jawab bersama),” kata Kepala Bidang Pengelolaan Kebersihan DLH DKI Jakarta, Edy Mulyanto kepada Katadata.co.id.

Pengurangan dilakukan melalui 3R, yakni reduce atau mengurangi timbulan sampah, reuse atau memanfaatkan kembali, dan recycle atau mendaur ulang sampah. Sedangkan penanganan melalui pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir.

“Kewajiban rumah tangga mulai dari pemilahan, terutama sampah-sampah plastik. Nanti bakal dikeluarkan bank sampah digital. Targetnya Desember ini sudah terbentuk lembaga pengolahan sampah lingkup RW. RW bisa memberi sanksi kepada rumah tangga yang tidak memilah sampah,” kata Edy.

Sampah nantinya dipilah menjadi empat kategori dan akan memiliki waktu pengangkutan tersendiri. Seperti sampah residu dan sampah mudah terurai yang diangkut setiap hari. Sampah residu akan dikirim ke TPS, sedangkan sampai mudah terurai akan diolah menjadi kompos dengan metode maggot memanfaatkan larva lalat black soldier.

Kemudian sampah B3 akan diangkut satu bulan sekali, setiap hari Rabu pekan pertama ke TPS B3. Sedangkan material daur ulang akan diangkut setiap hari Selasa minggu pertama setiap bulannya untuk disetorkan ke bank-bank sampah.

Dengan pengelolaan sampah ini, Pemprov DKI memperkirakan dapat menghemat anggaran hingga Rp 500 miliar per tahun, tingkat daur ulang sampah dapat ditingkatkan hingga 30%, dan volume sampah yang masuk ke TPST Bantargebang dapat diturunkan hingga 44%.

Potensi Besar Bank Sampah

Bank sampah menjadi bagian dari rencana besar pengelolaan sampah Pemprov DKI Jakarta. Menurut data DLH, jumlah bank sampah di ibu kota saat ini sebanyak 2.624 unit yang mengelola rata-rata 588.370 kg sampah per bulan, dan telah memiliki 184.876 nasabah. Sehingga hanya ada 118 RW yang belum memiliki bank sampah dari total 2.742 target bank sampah di seluruh RW.

Sementara menurut catatan Asosiasi Bank Sampah Indonesia (ASOBSI), saat ini ada sekitar 11 ribu unit bank sampah di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut meningkat signifikan jika dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya, seperti terlihat pada databoks berikut.

Meski hampir seluruh RW di Jakarta telah memiliki bank sampah, tapi masyarakat masih minim berperan dalam memilah sampah. Ini terlihat dari kontribusi bank sampah dalam mengurangi sampah baru sebesar 0,23%.

Ketua Asosiasi Bank Sampah Indonesia (ASOBSI) Saharuddin Ridwan mengatakan ada tiga manfaat bila bank sampah optimal, yaitu manfaat ekonomi, lingkungan, dan sosial. “Bank sampah mengajarkan orang untuk tidak buang sampah sembarangan karena masih memiliki nilai ekonomis, seperti sampah plastik dan kertas,” kata Saharuddin kepada Katadata.co.id pekan lalu.

Setiap masyarakat yang memilah sampah dan menyetorkan ke bank sampah. Sampah-sampah tersebut kemudian akan ditimbang dan disetorkan kepada bank sampah yang akan mencatatnya pada buku rekening, seperti layaknya menabung di bank umum, sesuai dengan harga dan jenis sampahnya.

“Misalnya masyarakat menabung dua kg plastik, harganya Rp 5.000 per kg, jadi saldonya Rp 10 ribu. Dampaknya pasti akan ada penurunan volume sampah ke TPA, bank sampah,” ujarnya.

Lipsus Sampah Jakarta untuk Tulisan Ketiga (Bank Sampah)
Pegawai Bank Sampah menimbang sampah plastik kiriman nasabahnya di Gudang Bank Sampah Ciamis, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Sabtu (20/6/2020). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/wsj.
Lipsus Sampah Jakarta untuk Tulisan Ketiga (Bank Sampah)
Pegawai Bank Sampah memasukkan sampah plastik sedekah dari warga di Gudang Bank Sampah Ciamis, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Sabtu (20/6/2020). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/wsj.

Pengelolaan sampah melalui bank sampah dimulai dari pemilahan sampah oleh anggota masyarakat di rumah. Sampah yang dibawa warga kemudian dipilah berdasarkan jenisnya, yakni plastik, kertas, hingga logam. Kemudian sampah tersebut ditimbang dan dikonversi menjadi uang yang dicatat pada buku rekening nasabah.

“Misalnya masyarakat menyerahkan dua kilogram plastik, harganya Rp 5 ribu per kilo, sehingga rekening bank sampahnya bertambah Rp 10 ribu,” kata Saharuddin.

Selanjutnya bank sampah memilah kembali dan mengepak sampah-sampah yang diserahkan nasabahnya. Tumpukan sampah ini kemudian dijemput oleh bank sampah induk yang akan menjualnya kepada vendor atau pengusaha daur ulang. Untuk tahun ini, Dinas Lingkungan Hidup Jakarta memfasilitasi bank sampah induk untuk membangun kerja sama dengan Danone untuk transaksi penjualan botol PET dan pembinaan bank sampah.

Saharuddin mengingatkan pendirian bank sampah bukan semata faktor ekonomi tersebut, melainkan diawali semangat untuk menjaga lingkungan. “Dampaknya pasti akan ada penurunan volume sampah ke TPA,” ujar dia.

Sayangnya pandemi corona membuat aktivitas bank sampah terganggu dan terpaksa tutup untuk meminimalisasi risiko penularan. Berdasarkan pengamatan Katadata.co.id, beberapa bank sampah, terutama di tingkat RW atau bukan bank sampah induk, hingga saat ini belum beroperasi.

Katadata.co.id pada Rabu 18 November 2020, mengunjungi lokasi beberapa bank sampah, seperti bank sampah di Wijaya Kusuma di Gondangdia, Hijau Selaras Mandiri, Cempaka, Tulip, dan Maju Lancar di Kemayoran. Kelima bank sampah tersebut tutup sementara selama masa pandemi.

Bank Sampah Maju Lancar di Kemayoran kebetulan berlokasi dekat dengan Seksi Dinas Kebersihan Kecamatan Kemayoran. Dalam percakapan dengan warga di warung seberang kantor seksi dinas tersebut, warga ragu-ragu dan tidak dapat memastikan layanan operasi bank sampah. Namun petugas kebersihan kerap hilir-mudik memasuki kantor suku dinas, dan tak jarang mengangkut sampah-sampah.

“Operasional bank sampah memang terganggu. Semenjak pandemi ini beberapa bank sampah tutup untuk mengurangi potensi penyebaran virus corona,” kata Kepala Bidang Pengelolaan Kebersihan DLH DKI Jakarta, Edy Mulyanto.

Lipsus Sampah Jakarta untuk Tulisan Ketiga (Pengolahan dan daur ulang sampah)
Pekerja menyelesaikan daur clang sampah plasitik di pengolahan sampah Danone. Dok. Danone
Lipsus Sampah Jakarta untuk Tulisan Ketiga (Pengolahan dan daur ulang sampah)
Pekerja menyelesaikan daur clang sampah plasitik di pengolahan sampah Danone. Dok. Danone

Tantangan Bisnis Daur Ulang

Meningkatnya jumlah sampah plastik di masa pandemi ini sebenarnya menjadi peluang bagi pengusaha daur ulang. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pada kuartal ketiga tahun ini sektor pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah dan daur ulang masih tumbuh hingga 6,04 % secara tahunan dibandingkan periode yang sama 2019.

Namun, bukan berarti sektor ini tak menghadapi kendala. Wakil Ketua Umum Indonesian Plastic Recyclers (IPR) Amelia Maran, mengatakan bahwa pada masa tiga bulan pertama pandemi di Indonesia bisnis daur ulang plastik benar-benar terpukul.

Meski sampah plastik naik, Amelia mengatakan pada masa awal tiga bulan pertama pandemi bisnis daur ulang plastik hancur. Banyak pabrik daur ulang berhenti produksi karena khawatir tertular virus corona. “Apalagi kami berurusan dengan sampah, ada risiko di situ,” ujarnya kepada Katadata.co.id.

Tantangan lainnya yang harus dihadapi oleh pelaku bisnis daur ulang juga dari sisi regulasi. Pemerintah mulai melarang penggunaan plastik kresek. Aturan ini memukul industri daur ulang yang memproduksi kresek plastik hasil daur ulang.

“Di sisi lain pemerintah mendorong bisnis UMKM yang mengemas produknya dengan plastik multilayer yang lebih sulit untuk didaur ulang. Padahal industri daur ulang plastik telah membantu pemerintah dalam mengurangi dan mengolah sampah plastik,” kata Amelia.

Di luar dampak pandemi, kendala yang masih dihadapi bisnis ini yakni masih berkutat pada belum terbangunnya sistem pemilahan sampah yang membuat rantai pasok menjadi panjang. Kegiatan pemilahan sampah diserahkan kepada pemulung dan pengepul. Pengusaha daur ulang tinggal ‘memesan’ dari para pengepul jenis plastik yang diinginkan.

“Pabrik-pabrik daur ulang hanya menerima yang siap dibersihkan, atau siap dijadikan pelet. Kami hanya menerima sampah yang kami inginkan,” kata ketua Asosiasi Pengusaha Sampah Indonesia (APSI) Saut Marpaung.

Saut menyebut para pengusaha daur ulang enggan menerima sampah plastik multilayer atau plastik yang memiliki beberapa lapisan. Misalnya, plastik kemasan makanan yang terdiri dari lapisan film LDPE (polietilena berdensitas rendah), PP (polipropilena), perekat, dan alumunium foil.

Daur ulang untuk sampah jenis ini sulit untuk diolah kembali karena terkait titik leleh plastik saat pengolahannya. “Perlu dipanaskan berulang kali untuk menjadi bijih plastik. Misalnya kita panaskan di suhu 140 derajat celsius, hanya satu jenis yang leleh, lainnya tidak,” ujar Saut.

Penyumbang bahan: Ivan Jonathan

Tim Produksi

Kepala Proyek

Sorta Tobing

Penulis

Andrea Lidwina, Happy Fajran, Ivan Jonathan (magang), Muhammad Ahsan Ridhoi, Sorta Tobing, Verda Nano Setiawan, Yosepha Pusparisa

Editor

Aria W Yudhistira, Muchamad Nafi, Yuliawati

Teknologi Informasi

Firman Firdaus, Christine Sani, Donny Faturrachman

Desain Grafis

Lambok Hutabarat, Pretty Juliasari Zulkarnain

Illustrator

Joshua Siringo Ringo

Fotografer

Adi Maulana Ibrahim