Sengkarut Sawit di Hutan Lindung Belitung Timur

Informasi penanda hutan lindung yang berada di Desa Buding, Kelapa Kampit, Belitung Timur, kini hanya menyisakan kayu penyangga saja. Papan yang berisi informasi kawasan hutan lindung, lenyap, tak diketahui rimbanya.

Papan itu dipasang di titik koordinat S-2°45, 404, E107° 59, 936. Selain menegaskan status kawasan, kehadirannya juga menjadi tanda peringatan agar konsesi sawit tak melanggar kawasan lindung tersebut.

Di sekeliling kawasan lindung itu, berdiri perkebunan sawit milik PT Steelindo Wahana Perkasa (SWP) dan PT Parit Sembada. Dua perusahaan ini merupakan anak usaha Kuala Lumpur Kepong Berhad (KLK), perusahaan multinasional asal Malaysia yang berbisnis kelapa sawit dan karet.

Sunadi (bukan nama sebenarnya), merupakan warga Kelapa Kampit yang menjadi saksi berdirinya papan itu. Ia diajak polisi hutan dan Dinas Lingkungan Hidup Belitung Timur untuk mendirikan penanda tersebut. 

Pemasangannya pada Selasa, 20 September 2022. Dua hari kemudian saat ia ke lokasi, papan informasi itu sudah hilang. "Kami tidak tahu siapa yang membongkar, apakah pihak kehutanan atau perusahaan," kata dia kepada tim Katadata.co.id dan Jaring.id pada 20 Desember 2022.

Sunadi mengantar tim menuju lokasi papan tersebut. Ia lalu menunjuk hamparan sawit yang semestinya tidak boleh berada di dalam kawasan hutan lindung tersebut. "Ini kan hutan negara," ucapnya.

Luas sawit dalam kawasan hutan di Indonesia

Tim melakukan pengecekan atas koordinat lokasi yang ditunjuk oleh Sunadi. Lokasi yang ditunjuk memang berada di dalam kawasan hutan lindung Gunung Sepang berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.1940/MENLHK-PKTL/KUH/PLA.2/4/2017.

Kepala Desa Buding Mardani menegaskan hal serupa. Ia mengatakan kawasan hutan yang digunakan perusahaan asal Malaysia itu berada di Blok K21 dan Blok K30. 

Perusahaan tak hanya merangsek kawasan hutan lindung Gunung Sepang saja. Ada dua kawasan hutan lindung lainnya yang ikut ditanami sawit, yaitu kawasan hutan lindung Teluk Pring-Bukit Nayo dan kawasan hutan lindung Gunung Kikarak.

Berdasarkan hasil olahan citra satelit, areal kebun sawit PT SWP dan PT PS yang memasuki tiga areal hutan lindung tersebut seluas 500 hektare. Selain itu, seluruh areal kebun yang menerabas kawasan lindung, juga berada di dalam kawasan moratorium izin berdasarkan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut (PIPPIB).

Temuan itu senada dengan temuan Badan Pertanahan Nasional (BPN). BPN menelusuri lahan seluas seluas 486,991 hektare yang dikelola Parit Sembada dan 114,7100 hektare (SWP) yang masuk kawasan hutan. "Posisinya sudah ditanami," kata Kepala BPN Belitung Timur, Ahmad Syaikuni.

Silang Sengkarut HGU

Persoalan kebun yang menerabas hutan lindung sempat mencuat ke publik pada 2021. Saat itu, Asosiasi Perangkat Desa Indonesia (APDESI) melaporkan dugaan perambahan yang dilakukan dua perusahaan asal Malaysia tersebut ke Polres Belitung Timur dengan nomor laporan LP.B/369/II/2021. 

Berdasarkan penelusuran, hutan di Belitung Timur tersebut telah diketahui status kawasannya sebagai hutan lindung sejak tahun 1990-an. Areal yang diakui sebagai kawasan hutan lindung Gunung Sepang terdapat dalam Peta Lampiran Berita Acara Tata Batas Definitif Kawasan Hutan Lindung Gunung Sepang tertanggal 17 Maret 1990.

Adapun kawasan hutan lindung Teluk Prong-Bukit Nayo sudah disebutkan dalam Peta Definitif Hutan Lindung Teluk Prong Bukit Nayo yang disahkan pada 20 Maret 1995. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kemudian memantapkan status kawasan hutan lindung tersebut dalam Surat Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan XIII, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 18 November 2020, dengan nomor S.501/BPKH.XII-3/2020.

Deforestasi dari tahun ke tahun

Sejak 2000 hingga 2021, di wilayah konsesi perusahaan, terdapat kehilangan tutupan pohon sekitar 2.050 hektare. Sementara itu, kehilangan tutupan pohon di kawasan hutan lindung yang bertumpang tindih dengan perkebunan sawit milik perusahaan seluas 30 hektare.

Khusus di kawasan hutan lindung yang ditanami sawit oleh perusahaan, terjadi pelepasan emisi gas rumah kaca rata-rata sebesar 414 ton CO₂e per tahun. Angka ini dihitung sejak 2001 hingga 2021. Secara keseluruhan, emisi yang dilepaskan ke atmosfer sebesar 8,69 kiloton CO₂e.

Klik gambar untuk melihat lebih detail tentang analisis perubahan tutupan hutan.

Persoalan dimulai ketika perusahaan mendapatkan izin Hak Guna Usaha awal seluas 14.176,523 hektare pada 1998. Izin ini berakhir pada 2020 lalu dan baru mendapatkan perpanjangan pada 20 Januari 2023 yang diberikan melalui Surat Keputusan Nomor 5/HGU/KEM-ATR/BPN/I/2023 tentang Perpanjangan Hak Guna Usaha PT Steelindo Wahana Perkasa Atas Tanah di Kabupaten Belitung Timur, Bangka Belitung.

Dalam perpanjangan HGU, Kementerian ATR/BPN mengurangi luasan areal perusahaan menjadi hanya seluas 13.666,7540 hektare. Salah satu alasan pengurangan areal adalah tumpang tindih dengan kawasan hutan lindung. 

"Bukan kami masuk ke kawasan hutan, tapi kawasan hutan yang bergeser ke hak guna usaha kami."
Ikhsan Nurhadi, Juru Bicara PT SWP dan PT PS

Namun, menurut juru bicara PT SWP dan PT PS Ikhsan Nurhadi, kawasan hutanlah yang bergeser ke HGU. "Bukan kami masuk ke kawasan hutan, tapi kawasan hutan yang bergeser ke hak guna usaha kami," kata dia. 

Sawit-sawit yang berada di dalam kawasan hutan lindung, menurut Ikhsan, saat ini tidak dipanen. Ia menyebut perusahaan masih menelusuri ihwal keberadaan HGU yang berada di dalam hutan lindung.

Untuk itu, kata dia, perusahaan berupaya menuntut haknya dengan mengajukan klaim ke Balai Pemantapan Kawasan Hutan. Jika tak kunjung ada solusi atas HGU perusahaan di kawasan hutan lindung, Ikhsan menyebutkan perusahaan akan mengajukan gugatan hukum. 

Jika pengadilan memutuskan kawasan itu bukan HGU, maka perusahaan akan melepasnya. "Karena yang berhak menentukan nanti adalah persidangan," ucap Ikhsan. 

Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah, Kementerian ATR/BPN Husaini mempersilakan perusahaan untuk melayangkan gugatan hukum atas keputusan pemerintah. Ia menjelaskan perubahan luas areal dalam perpanjangan HGU disebabkan adanya pengukuran ulang. "Terhadap hasil pengukuran yang berbeda, harus dijelaskan," kata dia. 

"Kami tidak berani memberikan HGU di atas hutan."
Husaini, Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah, Kementerian ATR/BPN

Namun, dalam memberikan perizinan atau perpanjangan izin HGU, BPN berprinsip jika ada kawasan hutan, areal itu harus dilepaskan. "Kami tidak berani memberikan HGU di atas hutan," ujarnya. Di sisi lain, perusahaan tidak memiliki Izin Pelepasan Kawasan Hutan (IPKH) atau izin pemanfaatan apapun di wilayah hutan untuk ditanami sawit. 

Menurut Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan Indonesia Center for Environmental Law Adrianus Eryan keberadaan lahan sawit di dalam kawasan hutan lindung tanpa didahului dengan IPKH berpotensi sebagai keterlanjuran atau pelanggaran. "Jika terbitnya HGU sesuai dengan rencana penataan ruang atau rencana pola ruang, dapat didefinisikan sebagai keterlanjuran. Tetapi jika tidak, maka termasuk pelanggaran," kata dia. 

Sebab itu, penyelesaian yang tepat adalah dengan menggunakan instrumen Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 yang mengatur penyelesaian keterlanjuran pembangunan di dalam kawasan hutan, salah satunya sawit, sebelum Undang-Undang Cipta Kerja berlaku.

PP ini mengacu pada Pasal 110A dan Pasal 110B yang mengatur penerapan sanksi dan denda administratif, termasuk mekanisme pengembalian kawasan hutan, terutama yang berada di kawasan hutan lindung dan hutan berstatus konservasi.

Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono mengatakan KLHK akan mengidentifikasi terlebih dahulu penyelesaiannya melalui Pasal 110A atau 110B. "Tidak ada pemutihan dan pengampunan, seperti dalam pasal 110 B UUCK, kawasan yang kita selesaikan tetap akan berstatus kawasan hutan," kata dia.

Adrianus mengatakan langkah ATR/BPN dengan mengecualikan kawasan hutan dari izin HGU perpanjangan sudah tepat. Apabila perusahaan tidak menghentikan kegiatan di dalam hutan lindung, akan dikategorikan sebagai pelanggaran dan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana.

Muslihat Koperasi Plasma

Laporan APDESI terus berjalan. Kapolres Belitung Timur saat itu, AKBP Taufik Noor Isya, mengatakan dalam pemeriksaan ditemukan berbagai dugaan pelanggaran yang dilakukan perusahaan. 

Dugaan pelanggaran pertama adalah pemanfaatan kawasan hutan lindung tanpa izin, dan persoalan terkait perkebunan plasma melalui koperasi yang diduga melanggar UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Koperasi. "Kami sempat meminta perusahaan menghentikan dulu aktivitasnya supaya perusahaan berbenah," kata dia. 

Salah satu dugaan pelanggaran yang ditemukan Polres Belitung Timur saat itu adalah mengenai pembentukan koperasi dengan anggota fiktif. Dalam UU 17/2012 disebutkan keanggotaan koperasi bersifat sukarela dan terbuka. Selain itu, dalam bab khusus mengenai keanggotaan disebutkan anggota koperasi merupakan pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi, dan memiliki kesamaan kepentingan.

UU itu juga menyebutkan rapat anggota merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi. Artinya, keberadaan anggota fiktif membuat koperasi itu berjalan secara tidak sah yang dapat berujung pada pengenaan sanksi pencabutan izin usaha atau pembubaran oleh menteri. 

Selama proses pemeriksaan, Polres Belitung Timur melayangkan surat kepada Kementerian ATR/BPN untuk menunda perpanjangan HGU perusahaan. Ia juga mengirim surat kepada Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup KLHK untuk menindaklanjuti persoalan mengenai dugaan pemanfaatan kawasan hutan.

Dari hasil pemeriksaan, Polres Belitung Timur mendapatkan temuan koperasi-koperasi plasma yang bermitra dengan perusahaan, merupakan koperasi yang dibentuk sendiri oleh perusahaan yang diduga mencatut nama masyarakat. 

Indikasi itu terungkap ketika polres menyisir satu per satu nama dalam Calon Penerima Calon Lahan (CPCL). Dalam CPCL itu, terdapat nama-nama fiktif, identitas pemilik lahan yang tak sesuai dengan desa tinggal, hingga anggota koperasi yang sama sekali tak mengetahui lokasi calon lahannya.

Padahal, CPCL ini menjadi pertimbangan dalam perpanjangan HGU dan terkait dengan pengalokasian lahan sebagai pemenuhan kewajiban plasma 20%. Menurut Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah, Kementerian ATR/BPN Husaini, berdasarkan verifikasi dokumen yang dilakukan saat itu, alokasi CPCL sudah terpenuhi dan sudah ada berita hasil verifikasinya.

Pembentukan koperasi plasma ini merupakan bentuk pemenuhan kewajiban perusahaan sawit yang diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007. Dalam peraturan itu disebutkan, perusahaan perkebunan yang memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) atau Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUP-B), wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan. 

Aturan itu ditegaskan pula dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian yang menyebutkan kewajiban perusahaan untuk membangun kebun masyarakat (plasma) seluas 20% dari luas lahan. Jika aturan ini tak dijalankan dalam jangka waktu tiga tahun, perizinannya akan dicabut. 

Husaini menjelaskan ada dua skenario terkait dengan lahan plasma 20%. Skenario pertama, kata dia, jika lahan itu berasal dari kawasan hutan, lahan 20% diambil dari kawasan hutan yang dilepaskan dan dimanfaatkan, dengan kata lain berasal dari kawasan inti. 

Skenario kedua, adalah dengan memfasilitasi masyarakat. "Bisa dari tanah masyarakat sekitar, nanti perusahaan yang akan membantu pembangunannya," kata dia. Namun, kata dia, implementasi kebijakan lahan 20% itu ada di pemerintah daerah. "Bagi kami, yang penting harus ada 20% ini di sana."

Kepala Desa Mayang, Guna Hendra Jaya, menolak perpanjangan HGU perusahaan, salah satunya karena perusahaan tak memenuhi kewajiban untuk memfasilitasi kebun plasma seluas 20% dari luas areal perkebunan. Kewajiban tersebut tertuang dalam  Permentan No 26 Tahun 2007 pasal 11 yang menyebutkan kewajiban membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan.

Desa Mayang merupakan salah satu desa di Kecamatan Kelapa Kampit, Belitung Timur, yang berbatasan langsung dengan areal perkebunan perusahaan. Guna telah bersurat ke Kementerian ATR/BPN ihwal dugaan penyerobotan tanah milik masyarakat dan dugaan perambahan kawasan hutan lindung yang dilakukan perusahaan. 

Surat bernomor 590/624/SPH/MY/IX/2022 itu dilayangkan ke Kementerian ATR/BPN pada Jumat, 30 September 2022. Ia kembali berkirim surat ke kementerian atas persoalan yang sama pada 19 Oktober 2022. 

Lalu, pada 14 November 2022, ia kembali melayangkan surat bernada sama. Guna berpendapat, perusahaan seharusnya mengalokasikan lahan seluas 2 ribu hektare dari lahan inti perusahaan untuk dimanfaatkan warga. 

Pasalnya, selain berbatasan langsung dengan kebun perusahaan, Desa Mayang juga berbatasan dengan kawasan hutan lindung. Akibatnya, tak ada lagi tanah yang dapat dialokasikan dari masyarakat untuk membangun kemitraan plasma. 

Protes-protes itu terus berlangsung. Spanduk-spanduk bernada protes atas perpanjangan HGU masih dapat ditemukan di sudut-sudut Desa Mayang, desa yang menolak menandatangani MoU dengan perusahaan untuk perpanjangan HGU perusahaan.

Mengancam Tarsius Belitung Timur

Tarsius belitung (Cephalopachus bancanus saltator) merupakan satwa endemik di tingkat subspesies yang mendiami Pulau Belitung. Primata ini merupakan satwa identitas Provinsi Kepulauan Bangka Belitung berdasarkan keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 522.53-958/2010.

International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) memasukkan Tarsius belitung sebagai satwa langka yang berada di ambang kepunahan. Dalam catatan IUCN pada 2006, populasinya hanya tinggal 20 individu per satu kilometer persegi dengan populasi yang terus menurun.

Selaras dengan catatan IUCN, dalam riset yang dilakukan Pusat Studi Primata Institute Pertanian Bogor (IPB) pada 2007 disebutkan keberadaan Tarsius belitung di alam liar tak lebih dari 19-46 ekor per kilometer persegi.

Tarsius juga diklasifikasikan ke dalam daftar Apendiks II Convention on International Trade in Endangered Species (CITES). Artinya, hewan ini berpotensi punah jika diperdagangkan tanpa pengaturan. 

Peta Konsesi Kebun Sawit dalam Wilayah Moratorium Izin

Seluruh wilayah kebun sawit yang berada di dalam kawasan hutan lindung, masuk pula ke dalam kawasan moratorium izin yang dituangkan ke dalam Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut (PIPPIB).

PIPPIB merupakan kebijakan pemerintah berupa penghentian pemberian izin, untuk memperbaiki dan menyempurnakan tata kelola hutan dan lahan gambut, serta melanjutkan upaya penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.

Peta Konsesi Kebun Sawit dalam Hutan Lindung

Berdasarkan peta perubahan kawasan hutan tahun 2022 milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam Sistem Informasi Geospasial KLHK menunjukkan area perusahaan yang bertumpang tindih dengan kawasan hutan lindung.

Tumpang tindih tersebut selaras dengan perhitungan Kementerian ATR/BPN yang menjabarkan seluas 486,991 hektare kebun sawit yang dikelola Parit Sembada dan 114,7100 hektare kebun sawit yang dikelola Steelindo Wahana Perkasa, berada dalam kawasan hutan lindung.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Belitung, Junaidi, mengatakan populasi hewan itu kian susut karena adanya pembukaan lahan besar-besaran untuk tambang dan perkebunan sawit. "Sekarang kondisi hutan kurang bagus," kata dia.  

Konservasionis lokal yang fokus menjaga habitat dan populasi tarsius Belitung, Adong, mengatakan masyarakat Belitung Timur memiliki kearifan lokal yang terkait dengan primata paling kecil di dunia ini. "Kami kalau berburu bertemu mentilin (tarsius) langsung balik lagi karena jadi pertanda sial. Sehingga tarsius ini mampu menjaga ekosistem dengan kearifan lokalnya," kata dia. 

Tarsius Belitung ini berbeda dengan mentilin di daerah lain. "Pola adaptasi dia berbeda dengan di tempat lain, sehingga namanya pun jadi berbeda dan menjadi endemik di tingkat subspesies," ucap Adong.

Selama hampir 10 tahun berjibaku mengkonservasi tarsius Belitung, Adong mengamati hewan nokturnal ini sangat sensitif dan mudah stres. Sedikit suara saja, primata yang dapat memutar kepalanya hingga 180 derajat tersebut langsung merasa terganggu. 

Selain mudah stres, tarsius sangat sulit berkembang biak dengan usia maksimal hanya 15 tahun. Kondisi itu menjadi salah satu faktor internal yang mempercepat penurunan populasi tarsius. 

Faktor eksternalnya, kata Adong, habitat yang kian menyusut dan predator alami yang kian banyak. Ancaman lainnya datang dari burung hantu yang banyak dipelihara oleh buruh kebun sawit untuk berburu tikus.

 Sunadi, warga Desa Buding, Kelapa Kampit, Belitung Timur, mengatakan jauh sebelum ada perkebunan sawit, tarsius masih sangat mudah ditemukan. "Hutan yang tadinya menyediakan makanan dan tempat tinggal untuk tarsius berubah jadi sawit, bikin tarsius semakin sulit ditemukan," kata dia.

Laporan ini merupakan kolaborasi Katadata.co.id dengan Jaring.id dan Malaysiakini yang didukung oleh Rainforest Journalism Fund dan Pulitzer Center.

TIM PRODUKSI

Naskah: Dini Pramita
Ilustrasi: Amosella
Foto: Tim Kolaborasi
Editor: Sorta Tobing
Desain dan Development: Firman Firdaus, Irsyad Al Fahriza