Ratusan Pengemudi Ojek Online Demo, DPR Kaji Revisi UU Lalu Lintas
Ratusan pengemudi ojek online berunjuk rasa menuntut pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merevisi Undang-undang (UU) Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) pada hari ini (15/1). Dengan begitu, profesi mereka diakui secara hukum.
Anggota DPR Komisi V Irwan mengatakan, revisi UU LLAJ sudah masuk program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Komisi V akan mendalami kemungkinan kendaraan roda dua atau ojek diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 itu.
Saat ini, ojek belum diakui sebagai transportasi umum. "Tidak menutup kemungkinan ojek online menjadi transportasi publik bisa terealisasi jika DPR menghendaki," ujar Irwan kepada Katadata.co.id, Rabu (15/1).
Meski begitu, Komisi V akan mempertimbangkan banyak hal dan komprehensif terkait kemungkinan ojek diatur sebagai transportasi umum. Untuk itu, DPR bakal meminta pendapat para ahli, pakar hingga masyarakat.
“Nanti, tunggu dulu analisis Badan Keahlian DPR terkait implikasi jika ojek online masuk transportasi publik. Tentu ada positif dan negatifnya," ujar Irwan. (Baca: Beda dengan Taksi Online, Ini Alasan Ojek Online Belum Ada Regulasinya)
Payung hukum memang menjadi tuntutan para pengemudi ojek online sejak dua hingga tiga tahun lalu. Kali ini, sekitar 500 ribu pengemudi kembali berunjuk rasa, menuntut UU LLAJ direvisi.
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) lantas mengundang 10 perwakilan pengemudi ojek online untuk berdiskusi terkait tuntutan mereka pada pukul 14.30 WIB. Ketua Presidium Gabungan Aksi Roda Dua (Garda) Igun Wicaksono mengatakan, kementerian meminta pengemudi menyampaikan aspirasi saat pembahasan revisi UU LLAJ di DPR.
"Pada 29 Februari ada Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPR. Oleh Kemenhub, kami diminta untuk memberikan masukan," ujar Igun di Jakarta, Rabu (15/1).
Sejauh ini, operasional ojek online di bawah Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 12 Tahun 2019. “Kami berharap (ojek) bisa jadi transportasi publik. Nanti ada turunan peraturan yang lebih punya dasar hukum," kata dia.
Selain soal payung hukum, mereka meminta agar skema tarif ojek online berdasarkan provinsi. Para pengemudi juga menuntut Gojek, Grab, dan perusahaan sejenis lainnya membatasi perekrutan mitra baru.
Para pengunjuk rasa juga meminta pemerintah menindak tegas aplikator asal Rusia, Maxim yang dinilai melanggaran aturan soal tarif ojek online. (Baca: Gojek & Grab Respons Unjuk Rasa Ratusan Pengemudi Ojek Online Hari Ini)
Pada 2018, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak melegalkan ojek online sebagai transportasi umum. Sedangkan Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Muhammad Arsal Sahban sempat menyampaikan, kendaraan roda dua sebagai sarana transportasi umum sempat dibahas dalam pembuatan UU LLAJ di DPR pada 2009 lalu.
"Saat kami mau atur, para pakar tidak merekomendasikan roda dua sebagai angkutan umum karena tidak memenuhi kaidah keamanan," ujar Arsal pada 2018.
Di satu sisi, ojek sudah dimanfaatkan masyarakat bahkan hingga pelosok desa. Ia pun mengusulkan agar kendaraan roda dua sebagai alat transportasi umum lebih dulu diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Kepres), ataupun Peraturan Menteri (Permen).
Sebab, proses revisi UU memakan waktu lama. "Kendaraan roda dua tidak mutlak dilarang. Ini memungkinkan diatur dalam Permen atau PP," kata Arsal.
(Baca: Ajukan 2 Tuntutan, 10 Ribu Pengemudi Ojek Online Demo di Monas Lusa)