Pengemudi Uber Berstatus Karyawan, Bagaimana dengan Gojek dan Grab?
Pengemudi taksi online Uber ataupun Lyft di California wajib berstatus karyawan mulai tahun depan. Aturan seperti itu sebenarnya pernah dikaji pemerintah Indonesia. Namun, pemerintah memutuskan bahwa pengemudi taksi maupun ojek online Gojek dan Grab di Tanah Air berstatus mitra.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Rudiantara menjelaskan bahwa status pengemudi taksi ataupun ojek online tergantung pada ekosistem layanannya. “Tergantung model bisnis yang mau dipakai dan ekosistemnya,” kata dia di Jakarta, Jumat (20/9).
Di Indonesia, Gojek dan Grab merupakan perusahaan penyedia layanan on-demand. Produknya bukan hanya berbagi tumpangan (ride-hailing) seperti taksi ataupun ojek online.
Kedua startup berstatus decacorn itu menyediakan layanan logistik, pesan-antar makanan, pujasera dan restoran berbasis komputasi awan (cloud kitchen) hingga konten digital. Karena itu, keduanya disebut sebagai perusahaan aplikasi.
Rudiantara pun belum berencana mengkaji perubahan kebijakan terkait status pengemudi taksi dan ojek online dari mitra menjadi karyawan. “Tidak,” kata dia.
(Baca: Pengemudi Taksi Online di California Berstatus Karyawan, Bukan Mitra)
Hal senada disampaikan oleh Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setyadi. Ia mengatakan bahwa wacana mengubah status pengemudi taksi dan ojek online dari mitra menjadi karyawan pernah dibahas.
Rencana itu muncul karena Gojek dan Grab merekrut banyak pengemudi taksi dan ojek online. Hal itu dibahas saat kementeriannya merancang Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 108 Tahun 2017 tentang taksi online.
Aturan itu kemudian dicabut oleh Mahkamah Agung (MA). Lantas, hal itu dibahas lagi saat Kemenhub mengkaji Permenhub Nomor 118 Tahun 2018. “Saat itu pernah diwacanakan. Kan kalau merekrut (mitra pengemudi) seperti menarik karyawan. Itu sudah dibahas, tapi tidak bisa,” katanya kepada Katadata.co.id.
Alasan hal itu tidak bisa diatur, karena Gojek dan Grab bukan murni perusahaan transportasi. Kedua startup bervaluasi lebih dari US$ 10 miliar itu merupakan penyedia layanan on-demand. Karena itu, bisnis mereka berada di bawah naungan Kementerian Kominfo.
“Model bisnis mereka, proses bisnisnya itu perusahaan aplikasi. Jadi tunduk pada aturan Kementerian Kominfo. Kalau mereka perusahaan transportasi, bisa statusnya karyawan," kata Budi.
(Baca: Rugi Rp 74,3 Triliun, Uber Jadi Beban Softbank)
Adapun pemerintah California menerbitkan aturan terkait tenaga kerja yang disebut Assembly Bill 5 (AB5). Regulasi itu mewajibkan perusahaan seperti Uber dan Lyft untuk memperlakukan pengemudi taksi online sebagai karyawan. Dengan begitu, mereka berhak atas gaji pokok, cuti, asuransi, dan tunjangan lainnya.
Namun, Barclays memperkirakan, Uber mengeluarkan biaya tambahan US$ 500 juta dengan adanya aturan tersebut. Sedangkan Lyft akan menanggung US$ 290 juta biaya tambahan dalam setahun.
Morgan Stanley pun memprediksi bahwa pengeluaran Uber akan naik 35%. Jika pengeluaran tersebut diteruskan ke pelanggan, maka tarif layanan berbagi tumpangan di California naik 25%. Pemesanan layanan ini pun diprediksi turun 1-2%.
Uber tercatat memiliki 3,9 juta pengemudi taksi online. Sedangkan Lyft punya dua juta mitra. Meski begitu, aturan ini juga berlaku bagi perusahaan rintisan di bidang logistik seperti DoorDash dan Postmates.
Sedangkan Gojek telah menggaet sekitar dua juta mitra pengemudi baik taksi maupun ojek online. Sedangkan Grab—berdasarkan data Nikkei Asian Review—memiliki 4,5 juta pengemudi.
(Baca: Kemenhub: Gaspol dan Cyberjeck Tingkatkan Persaingan Antar Aplikasi)