Nokia hingga Samsung Persempit Pasar Huawei yang Tertekan Sanksi AS

Desy Setyowati
7 Oktober 2020, 15:15
Nokia, Ericsson, Samsung Kikis Pasar Huawei yang Tertekan Sanksi AS
123rf/ moovstock
Ilustrasi. Bisnis Huawei yang menggurita makin terdesak dampak sanksi AS.

Perusahaan asal TiongkokHuawei masih memimpin pasar peralatan telekomunikasi berbasis jaringan internet generasi kelima atau 5G secara global. Namun, sanksi pemerintah Amerika Serikat (AS) terhadap raksasa teknologi ini mulai menguntungkan para pesaingnya, seperti Ericsson, Samsung, dan Nokia.

Samsung Electronics misalnya, mendapatkan proyek US$ 6,64 miliar atau sekitar Rp 839 miliar dari operator seluler asal AS, Verizon pada awal bulan lalu. Perusahaan akan memasok peralatan jaringan akses radio (RAN) 5G hingga 2025.

Advertisement

Selain itu, Samsung memenangkan kesepakatan dengan perusahaan telekomunikasi AS lainnya seperti Sprint, AT&T dan US Cellular. Lalu bekerja sama dengan KDDI Corporation di Jepang, Telus dan Videotron di Kanada dan Spark di Selandia Baru.

Padahal, pangsa pasar korporasi yang bermarkas di Seoul, Korea Selatan itu telah lama tertinggal dari para pesaingnya. “Kemenangan Samsung baru-baru ini dengan Verizon bisa menjadi pengubah permainan,” kata pakar 5G di perusahaan riset Dell'Oro Group Stefan Pongratz dikutip dari Financial Times, kemarin (6/10).

Berdasarkan data Dell’Oro, Huawei memimpin industri peralatan telekomunikasi dengan 31% pangsa pasar sepanjang semester I. Disusul oleh Nokia dan Ericsson masing-masing 14%. Kemudian ZTE 11% dan Cisco 6%.

Samsung hanya memiliki 3% pasar, tetapi porsinya meningkat dua kali lipat sejak akhir 2018. Selain itu, pasar perusahaan terkait instruktur seluler 5G-nya di kisaran 10-15%.

Analis telekomunikasi veteran di LightCounting Market Research Stephane Teral menilai, Samsung menjadi pendatang baru yang agresif dalam bisnis peralatan telekomunikasi dan jaringan. “Mereka akan mendapatkan keuntungan paling besar, karena sudah mendapatkan porsi di pasar utama seperti Jepang dan AS,” kata dia dikutip dari Nikkei Asian Review, pertengahan bulan lalu (14/9).

Analis utama di perusahaan riset asal Inggris Opensignal, Ian Fogg mengatakan bahwa teknologi peralatan jaringan berubah sekitar 10 tahun sekali. Oleh karena itu, belanja modal perlu meningkat drastis untuk mendukung penelitian dan pengembangan layanan.

“Memilih pemasok peralatan 5G bukanlah persamaan yang sederhana,” kata Fogg dikutip dari Financial Times, kemarin (6/10). “Pada dasarnya Anda harus membuat keputusan tentang masa depan mereka dan keandalan masa pakai kontrak.”

Ia menilai, operator yang menukar peralatan lama Huawei mungkin lebih menyukai Ericsson dan Nokia. Ini karena keduanya memasok peralatan 2G hingga 5G lebih lama dibandingkan Samsung.

Beberapa perusahaan teknologi di Eropa memang memilih Nokia dan Ericsson setelah memutuskan untuk menyetop kerja sama dengan Huawei secara bertahap.

Perusahaan telekomunikasi asal Finlandia, Nokia mengumumkan kesepakatan pengembangan 5G dengan korporasi sejenis asal Inggris, BT pada pekan lalu (29/9). Kesepakatan ini dicapai setelah pemerintah Inggris memutuskan tak akan lagi memakai jasa Huawei.

Berdasarkan kesepakatan itu, Nokia menjadi mitra infrastruktur terbesar BT yang akan mencakup 63% dari seluruh jaringan milik perusahaan.

Nokia bakal menyediakan infrastuktur 5G di 11.600 menara radio BT di Inggris. BT akan menggunakan teknologi Nokia yaitu AirScale Single Ran (S-RAN) untuk memperluas cakupan 5G. Selain itu, memanfaatkan stasiun pangkalan dan produk akses radio.

Perusahaan mengklaim telah memenangkan 100 kesepakatan 5G komersial, sehingga totalnya 160. Nokia juga memiliki portofolio 180 pelanggan nirkabel pribadi.

“Kami tahu, masih ada pekerjaan yang harus dilakukan dan pasar sangat kompetitif. Tapi, kami bergerak cepat, dan kemenangan ini memperjelas bahwa kemajuan perusahaan divalidasi oleh pelanggan,” kata Presiden Jaringan Seluler Nokia Tommi Uitto dikutip dari Economic Times India Times, pekan lalu (2/10).

Pesaingnya, yakni Ericsson lebih dulu mengumumkan perolehan 100 kesepakatan pada Agustus lalu. Ini disampaikan setelah bekerja sama dengan perusahaan telekomunikasi asal Slovenia, Telekom Slovenije.

Kedua perusahaan berhasil merebut pasar di Eropa. Setelah Inggris, Presiden AS Donald Trump memengaruhi negara lainnya seperti Jerman dan Prancis, untuk tidak memakai jasa Huawei.

Ada tiga sumber Reuters dari koalisi dan pemerintah mengatakan, Jerman sepakat melarang penggunaan solusi 5G Huawei. “Prinsipnya untuk memperluas pengawasan tata kelola vendor dan teknologi ke Radio Access Networks (RAN) yang mendukung 5G,” dikutip dari Reuters, pekan lalu (30/9).

Surat kabar The Handelsblatt melaporkan, Kanselir Jerman Angela Merkel menyetujui formula penanganan vendor berisiko tinggi seperti Huawei. Lalu memasukkannya ke dalam Undang-undang (UU) Keamanan Teknologi Informasi.

Italia juga berencana mengikuti saran AS terkait Huawei. Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dan Menteri Luar Negeri Italia Luigi Di Maio mengadakan pertemuan, pekan lalu.

Pompeo mengatakan, AS mendesak Italia untuk mempertimbangkan risiko pengembangan 5G jika memakai jasa Huawei. Alasannya, Huawei dianggap terikat dengan Partai Komunis Tiongkok sehingga dinilai membahayakan keamananan serta privasi pengguna.

Negara lainnya, Prancis memilih cara halus untuk menahan Huawei. Negara itu tidak langsung melarang teknologinya, tetapi mendorong operator untuk menghentikan kerja sama terlebih dahulu.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement