Kominfo Bantah Blokir Media Sosial Terkait Demonstrasi Omnibus Law
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) membantah kabar akan memblokir media sosial terkait kericuhan saat demonstrasi menolak Undang-undang atau UU Omnibus Law Cipta Kerja. Isu ini beredar di sejumlah aplikasi pada kemarin malam (8/10).
Menteri Kominfo Johnny G Plate menyampaikan, isu tersebut merupakan kabar bohong atau hoaks. “Tim dan mesin AIS Kominfo bertugas menjaga ruang digital agar tetap bersih dan sehat," kata dia dikutip dari Antara, Jumat (9/10). Ini tertuang dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Kementerian lebih berfokus membersihkan platform media sosial dari hoaks. "Ini tugas rutin. Ini termasuk hoaks terkait Covid-19 dan UU Omnibus Cipta Kerja," kata Johnny.
Johnny menyatakan tidak akan membiarkan hoaks beredar di media sosial. “Itu pasti melanggar hukum dan tentu harus dibersihkan," ujar dia.
Kominfo pun mencatat, ada 1.184 isu hoaks terkait pandemi corona per Oktober. Sebanyak 104 di antaranya sudah dilaporkan ke kepolisian.
Sebelumnya beredar informasi di media sosial, bahwa tim Kominfo bersiap memblokir WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter dan TikTok. Kabar itu berbunyi, pemblokiran dilakukan karena aksi unjuk rasa terkait omnibus law.
Kominfo memang pernah membatasi akses ke media sosial pada Mei tahun lalu. Ini dilakukan karena maraknya penyebaran kabar bohong terkait kerusuhan 22 Mei di Jakarta.
Menteri Kominfo saat itu, Rudiantara menyampaikan permohonan maaf karena membatasi akses terhadap media sosial. Namun, kebijakan ini dinilai tidak melanggar UU ITE.
Alasannya, UU ITE berfokus pada dua hal. Pertama, meningkatkan literasi, kemampuan, kapasitas dan kapabilitas masyarakat akan digital. Kedua, manajemen konten.
Kominfo juga membatasi akses internet di beberapa kabupaten/kota di Papua dan Papua Barat pada Agustus dan September tahun lalu. Langkah ini ditempuh dengan dalih untuk meminimalkan penyebaran berita bohong selama kerusuhan.
Setelah terpilih menjadi Menteri Kominfo, Johnny G Plate mengaku telah menyiapkan strategi untuk meminimalkan penyebaran hoaks. Pada Februari lalu, ia mengatakan bahwa kementerian tidak akan langsung memblokir konten bermuatan hoaks.
Kominfo akan mengimbau masyarakat terlebih dulu, lalu mengelompokan jenis hoaksnya. Jika berita bohong terus beredar, maka kementerian menggaet lembaga penegak hukum untuk meminta rekomendasi hukum pidana dan perdata.
Kementerian pun membuka opsi untuk mencegah penyebaran hoaks melalui SMS blast. Caranya, dengan menggandeng perusahaan telekomunikasi.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika (Aptika) Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan kemudian menegaskan, akan menghindari langkah pemblokiran internet untuk menangkal hoaks. "Kalau bisa, blokir internet tidak perlu terjadi.Kami akan memaksimalkan literasi digital," katanya, Juni lalu (23/6).
Melalui program literasi digital, kementerian menargetkan sedikitnya 12,5 juta orang memiliki literasi digital pada tahun depan. Jumlahnya ditarget 50 juta orang pada 2040.