Mampukah Omnibus Law Atasi Defisit Pekerja Digital pada Startup?

Desy Setyowati
15 Oktober 2020, 14:00
Mampukah Omnibus Law Atasi Persoalan Minim Pekerja Digital di Startup?
Jakub Jirsak/123rf
Ilustrasi

Undang-undang atau UU Omnibus Law Cipta Kerja mengatur tentang perizinan tenaga kerja asing, termasuk di startup. Perusahaan rintisan selama ini memang kesulitan mendapatkan pekerja ahli di Indonesia sehingga merekrut TKA. Peneliti menilai ada beberapa hal yang perlu dikaji ulang dari kebijakan ini.

Dalam draf UU Omnibus Law Cipta Kerja versi terakhir yang berisi 812 halaman mengubah beberapa aturan UU Ketenagakerjaan. Salah satunya Pasal 42 ayat 1, menjadi berbunyi, “setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki pengesahan rencana penggunaan dari pemerintah pusat."

Advertisement

Sebelumnya, perusahaan harus memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Kemudian pada ayat 3 disebutkan, pemerintah menambahkan pihak yang bebas dari persyaratan sebagaimana tercantum di ayat 1. Sebelumnya, ini hanya berlaku bagi perwakilan negara asing yang menggunakan pekerja dari luar negeri sebagai pegawai diplomatik dan konsuler.

Pada UU Omnibus Law, privilese itu berlaku juga untuk direksi atau komisaris dengan kepemilikan saham tertentu. Selain itu, bagi pemegang saham dan tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh pemberi kerja pada jenis kegiatan produksi yang terhenti karena keadaan darurat, vokasi, startup, kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.

Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Bima Laga masih mempelajari regulasi sapu jagat tersebut. “Jika diperlukan, kami selalu siap untuk berdialog dengan pemerintah sebagai bagian dari upaya penguatan ekonomi digital Indonesia melalui ketersediaan talenta,” kata dia kepada Katadata.co.id, Kamis (15/10).

Secara umum, ia menyampaikan bahwa ketersediaan talenta digital merupakan faktor pendukung utama bagi usaha rintisan di sektor  ekonomi digital, termasuk e-commerce. “Tentu perusahaan e-commerce Indonesia akan mengutamakan pekerja Indonesia,” ujarnya. Beberapa korporasi juga bekerja sama dengan sejumlah instansi, termasuk pemerintah untuk mengembangkan talenta digital Indonesia.

Namun, talenta digital dari negara lain dinilai bisa menambah khazanah perkembangan ekonomi digital di Tanah Air. “Namun dengan tetap memperhatikan kebutuhan dan kepentingan nasional,” kata Bima.

Asosiasi pun pernah menyurvei 500 startup di Bandung, Jakarta, dan Surabaya pada 2018, terkait talenta digital. Hasilnya, perusahaan mengeluarkan Rp 210 juta hingga Rp 1,1 miliar untuk head hunter atau jasa pencarian kandidat, khususnya di tataran pimpinan atau chief level. Ini belum termasuk gaji dan fasilitas lain bagi pekerjanya sendiri.

Secara rinci, untuk mendapatan talenta junior, startup biasanya membayar Rp 13,2 juta-Rp 29 juta kepada head hunter. Sedangkan untuk kualifikasi menengah biayanya Rp 25 juta-Rp 79 juta, dan senior Rp 66 juta-Rp 264 juta.

Itu terjadi karena perusahaan rintisan berebut untuk mendapatkan pekerja ahli. Ini tecermin pada rasio pegawai keluar masuk (turnover) sektor digital 19,22%, di atas rerata nasional 10%.

Berdasarkan riset Robert Walters Indonesia, startup pendidikan, kesehatan, dan teknologi finansial (fintech) pembayaran bahkan menawarkan gaji hingga mencapai Rp 1,7 miliar per tahun pada 2019. Rinciannya dapat dilihat pada Databoks di bawah ini:

Salah satu perusahaan yang sempat mengeluhkan kebijakan terkait tenaga kerja asing yakni Cashlez Worldwide Indonesia. CEO Cashlez Teddy Tee menyebutkan kesulitan mendapatkan izin dari Bank Indonesia (BI), karena salah satu pendirinya berkewarganegaraan asing.

“Kami harus mendirikan penanaman modal asing (PMA), karena salah satu pendirinya WNA," kata Teddy kepada Katadata.co.id di sela-sela acara Fintech Summit di JCC, Jakarta, akhir tahun lalu (23/8/2019). Perusahaan aggregator fintech pembayaran ini pun mengurus perizinan selama dua tahun, dan baru mendapatkan ‘lampu hijau’ pada Mei 2019.

Katadata.co.id sudah meminta tanggapan Cashlez terkait UU Omnibus Law Cipta Kerja. Namun, perusahaan belum mau berkomentar.

Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) pun mencatat, mayoritas anggota kesulitan mencari bakat bidang data dan analisis, pemrograman, dan manajemen risiko. Ini berdasarkan survei terhadap 154 anggota di masa pandemi corona.

kesenjangan keahlian di industri fintech
kesenjangan keahlian di industri fintech (Analisis Sekretariat Aftech 2020)



Meski begitu, 67% responden tidak mempekerjakan pekerja asing. Untuk menjawab tantangan ini, sebagian besar melakukan in-house training dan merekrut sejumlah talenta dari lembaga keuangan.

Strategi untuk mengatasi kesenjangan keahlian
Strategi untuk mengatasi kesenjangan keahlian (Analisis Sekretariat Aftech 2020)



External Communications Senior Lead Tokopedia Ekhel Chandra Wijaya juga enggan berkomentar mengenai regulasi kontroversial tersebut. “Kami masih mempelajari aturan baru ini,” ujarnya kepada Katadata.co.id, Selasa lalu (12/10).

Namun, ia menyatakan bahwa perusahaan selalu memberikan ruang bagi siapa pun yang ingin berkarya lewat teknologi. SDM merupakan investasi terbesar bagi Tokopedia. “Kami percaya, talenta terbaik yang akan menciptakan produk terbaik,” kata dia.

Saat ini, Tokopedia mempekerjakan 4.500 karyawan yang disebut nakama. Sebagian besar merupakan warga Indonesia dari berbagai latar belakang.

Sedangkan CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin mengatakan selalu mengacu kepada peraturan pemerintah yang berlaku, termasuk dalam proses perekrutan karyawan. “Fokus utama kami membantu mengembangkan talenta anak bangsa. Sekitar 99% pegawai merupakan warga negara Indonesia,” ujar dia kepada Katadata.co.id.

Lalu Gojek memiliki pekerja yang tersebar di negara lain. Tim data science misalnya, berada di Singapura, Thailand, Vietnam, India, dan Indonesia.

Decacorn Tanah Air itu pun membangun pusat teknologi di Bangalore, India pada 2016 lalu. Di negara ini, Gojek merekrut insinyur, pemrogram, dan peneliti data.

Bangalore memang disebut-sebut sebagai Silicon Valley Asia, karena mengekspor banyak pekerja dan produk teknologi. Sedangkan Silicon Valey merupakan julukan bagi San Francisco Bay Area di California, Amerika Serikat (AS). Daerah ini memiliki banyak perusahaan teknologi seperti Adobe System, Apple, eBay, Google, Intel hingga Yahoo.

VP of Data Science Gojek Syafri Bahar menyadari adanya selisih (gap) antara pasokan pekerja dengan kebutuhan startup. ‘Di Gojek kami melakukan grooming, karena talenta digital di bidang data sangat langka. Kami berusaha membuat sumber daya yang ada, termasuk yang basisnya di luar data, akhirnya menjadi data driven,” kata dia kepada Katadata.co.id.

Ia mencontohkan, perusahaan memberikan para pekerja alat agar bisa mengakses insight tertentu. “Kemudian, karena ada talenta internasional, kami berusaha membuat suatu ekosistem. Semua harus saling diskusi sehingga ada transfer knowledge,” ujar dia.

Gojek setidaknya memiliki ratusan tim data. Perusahaan ini memburu pekerja di Vietnam, Thailand, Singapura, dan India. “Ada juga yang bekerja secara remote di AS dan di Indonesia,” katanya.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement