Regulasi Jadi Ganjalan Startup Kesehatan RI untuk Raih Pendanaan
CB Insights mencatat, pendanaan ke startup kesehatan (healthtech) secara global memecahkan rekor US$ 2,8 miliar pada kuartal III. Namun di Indonesia belum ada yang meraih dana segar saat pandemi corona, meski sektor ini dinilai moncer.
Ada 162 kesepakatan untuk startup healthtech pada kuartal III atau naik 73% secara kuartalan (quarter to quarter/qtq). Di Asia bahkan meningkat hampir tiga kali lipat.
Sedangkan di Indonesia, sektor terkait kesehatan yang meraih dana segar yakni Nusantics yang bergerak di bidang riset genomika dan mikrobioma. Mereka berfokus membantu industri dan konsumen mempertimbangkan dampak setiap keputusan bagi kesehatan dan keberlangsungan alam.
CEO BRI Ventures Nicko Widjaja mengatakan, aturan di sektor kesehatan sangat kaku. “Lebih rigid dibandingkan finansial,” kata dia dalam acara media gathering virtual Asosiasi Modal Ventura untuk Startup lndonesia (Amvesindo) bertajuk ‘Mengupas Dinamika dan Tren Pendanaan Startup 2020-2021’, Senin (2/11).
Hal itu mengingat data kesehatan sangat sensitif. “Kalau regulasi tidak berubah, ya bagaimana?” kata Nicko. “Sangat sulit startup kesehatan untuk meningkatkan skala (bisnis). Mungkin perlu ada sandbox." Sandbox adalah pusat inkubasi atau wadah untuk menguji model bisnis, produk, layanan dan teknologi startup.
Pada September lalu, ia juga menyatakan bahwa berdasarkan data pendanaan yang dipublikasikan (publicly available), belum ada startup kesehatan yang mendapatkan suntikan modal sejak awal tahun ini. Padahal penggunaan layanannya melonjak di masa pandemi virus corona ini.
Ia menilai, pandemi Covid-19 merupakan waktu paling tepat untuk melayani sub-segmen karena mobilitas dibatasi. “Mengapa belum menonjol untuk sub-segmen lain? Mungkin banyak faktor seperti kesiapan produk, kerja sama antara pihak publik dan privat, dan lainnya,” ujar Nicko kepada Katadata.co.id, September lalu (24/9).
Selain itu, valuasi perusahaan rintisan cenderung terkoreksi tahun ini, termasuk unicorn. Tentunya startup semakin berhati-hati dalam mengevaluasi performanya. “Untuk menentukan apakah perlu memulai pendanaan sekarang, karena investor semakin berhati-hati dalam menilai masing-masing startup,” ujar dia.
Sedangkan Direktur Investasi BRI Ventures William Gozali mengatakan, startup kesehatan di Indonesia lebih berfokus pada kesehatan dan perawatan diri (consumer healthcare) atau berbeda dengan ekosistem di Singapura. Selain itu, ia sepakat bahwa tantangan terbesarnya yakni regulasi.
“Kalau beli barang di e-commerce dan salah, bisa ganti. Tapi kalau produk kesehatan salah, itu mengerikan juga,” kata William.
Meski begitu, pemain di sektor kesehatan masih sedikit sehingga bisnisnya dinilai potensial. “Ada permasalahan-permasalah yang belum terjawab,” ujar dia.
Berdasarkan data Frost and Sullivan, nilai industri kesehatan di Indonesia diperkirakan mencapai US$ 21 triliun pada tahun lalu, meningkat dari US$ 7 triliun saat 2014.
Sedangkan Founder ProSehat dan Chairman Asosiasi Healthtech Indonesia Gregorius Bimantoro mengatakan, ada banyak startup kesehatan yang sedang menggalang pendanaan. Selain itu, penggunaan layanan seperti konsultasi kesehatan virtual meningkat selama pandemi virus corona.
“Tetapi pemanfaatannya belum sebesar yang diharapkan, karena masyarakat Indonesia belum semuanya beralih ke konsultasi virtual,” kata pria yang akrab disapa Bimo itu. Selain itu, “pembiayaan Covid-19 dari pemerintah itu tidak masuk ke healthtech, tetapi layanan offline.”
Regulasi dan kebiasaan masyarakat tersebut menjadi tantangan bagi startup kesehatan Indonesia untuk meraih pendanaan. Sedangkan pemain sejenis lainnya di Asia justru kebanjiran pendanaan selama pandemi corona.
Berdasarkan data CB Insights, pendanaan kepada perusahaan swasta, termasuk startup penyedia layanan kesehatan di Asia turun pada kuartal I. Pada kuartal II, kesepakatannya mulai meningkat.