BI Sebut Empat Risiko di Balik Lonjakan Transaksi dan Dominasi Fintech

Fahmi Ahmad Burhan
10 November 2020, 13:28
BI Sebut Empat Tantangan dari Meningkatnya Transaksi Fintech
ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin/aww.
Ilustrasi, penjaga loket menunjukan kode pembayaran digital di pintu masuk objek wisata alam Lombongo, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, Minggu (12/7/2020).

Bank Indonesia (BI) mencatat, penggunaan layanan teknologi finansial (fintech) pembayaran terus meningkat. Ini kemudian menciptakan empat tantangan yaitu perbankan bayangan (shadow banking), risiko keamanan, kepentingan nasional, dan akses internet.

Deputi Gubernur BI Sugeng menilai, fintech pembayaran kian menggeser peran perbankan bagi masyarakat dalam bertransaksi. "Pada 2015, bank mendominasi. Sejak akhir 2019 perkembangan non-bank membuat dominasinya tersisih," katanya dalam diskusi virtual dan peluncuran Indonesia Fintech Society (IFSoc), Senin (9/11).

Advertisement

Berdasarkan data BI, transaksi uang elektronik menggunakan fintech terus tumbuh sejak akhir 2019. Persentase penggunaan OVO untuk uang elektronik mencapai 20% mengalahkan Bank Mandiri dan GoPay masing-masing 19%.

Sedangkan DANA dan BCA 10%, BRI 6,3%, LinkAja 5,8%, ShopeePay 3,7%, BNI 1,3%, serta Doku 1,2%.

Sugeng mencatat, perbankan masih berfokus pada layanan kartu kredit dan debit dibandingkan uang elektronik. Jika layanan itu digabungkan, BCA memang masih mendominasi yakni 23%.

Disusul oleh Bank Mandiri dan BRI 16%, OVO 9%, GoPay 8,4%, BNI 8%, DANA 4,6%, LinkAja 2,5%, ShopeePay 1,6%, serta CIMB Niaga 0,9%.

Padahal, BI mencatat bahwa rata-rata nilai transaksi uang elektronik selama Januari-Juli atau pandemi corona mencapai Rp 16,7 triliun per bulan. Nilainya meningkat 59% secara tahunan (year on year/yoy).

Pada tahun ini, nilai transaksi tertinggi terjadi pada April Rp 17,5 triliun. Ini seiring dengan mulai diterapkannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta. 

Seiring dengan peningkatan tersebut, Sugeng menilai ada empat tantangan yang mungkin timbul. Pertama, perbankan bayangan. "Saat masuk sektor digital harus antisipasi risiko, yang paling utama terkait shadow banking," katanya.

Shadow banking adalah kegiatan menghimpun dana, investasi, dan pinjaman yang tidak diawasi oleh otoritas. Kegiatan ini sudah dijegal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lewat Peraturan OJK (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 tentang layanan pinjam meminjam berbasis teknologi informasi dan POJK Nomor 3 Tahun 2018 terkait inovasi keuangan digital.

Halaman:
Reporter: Fahmi Ahmad Burhan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement