Militer AS Beli Data Lokasi Jutaan Muslim di Aplikasi Muslim Pro
Militer Amerika Serikat (AS) dikabarkan membeli data lokasi jutaan pengguna aplikasi komunitas muslim, Muslim Pro. Alasannya, untuk melacak teroris dan mencegah tindaka terorisme.
Berdasarkan laporan perusahaan teknologi Motherboard, Muslim Pro menjual data lokasi pengguna ke pihak ketiga yang disebut X-Mode. Para pialang data X-Mode kemudian menjual datanya kepada klien, termasuk militer AS.
X-Mode mengatakan, kemitraan dengan militer AS berfokus pada tiga hal. "Untuk kontra-terorisme, keamanan siber, dan prediksi penyebaran Covid-19 di masa depan," kata X-Mode dikutip dari Business Insider, Senin (16/11).
Muslim Pro merupakan aplikasi besutan pengembang asal Singapura, Bitsmedia, yang diunduh 98 juta kali. Aplikasi ini menyedikan fitur doa harian, bacaan Alquran hingga pengingat waktu salat.
MuslimPro hanyalah salah satu dari ratusan aplikasi yang menghasilkan uang dengan menjual data lokasi pengguna ke broker pihak ketiga seperti X-Mode. Selain MuslimPro, X-Mode mendapatkan data dari aplikasi pelacakan cuaca dan penelusuran Craigslist.
Sedangkan militer AS juga dilaporkan membeli data dari broker pihak ketiga lainnya, yakni Babel Street. Berdasarkan catatan pengadaan publik, Komando Operasi Khusus AS (US Special Operations Command) menghabiskan US$ 90.656 pada April lalu untuk membeli data lokasi dari Babel Street.
Babel Street menambang data dari aplikasi yang ada di ponsel dan menjual produk bernama Locate X. Ini memungkinkan orang memilih wilayah yang ingin dipantau dan menunjukkan pergerakan setiap perangkat di area itu.
Klien Babel Street, termasuk militer AS dapat meminta untuk mencari lokasi perangkat tertentu setelah membayar untuk mengakses data.
Juru bicara Komando Operasi Khusus AS Tim Hawkins mengatakan, pembelian data dari Babel Street untuk mendukung misi pasukan operasi khusus di luar negeri. "Kami secara ketat mematuhi prosedur dan kebijakan yang ditetapkan untuk melindungi privasi, kebebasan sipil, hak konstitusional dan hukum warga AS," katanya.
Selain militer, The Intercept melaporkan badan keamanan nasional AS menggunakan jenis data lokasi berbeda yang dikumpulkan dari nomor ponsel (simcard) untuk melakukan serangan drone terhadap tersangka anggota Taliban.
Sedangkan Israel membuat perangkat lunak (software) sendiri untuk melacak teroris dan memata-matai warga sipil. Aplikasi buatan NSO Group ini juga diekspor ke negara lain.
Software itu bisa digunakan untuk menguping pembicaraan warga sipil, memantau e-mail, meretas aplikasi, dan merekam percakapan.
Investigasi Haaretz yang mencakup 100 sumber di 15 negara mengungkapkan, Israel menjual aplikasinya itu ke diktator di seluruh dunia. Selain itu, ke negara-negara yang tidak memiliki hubungan formal dengan Israel.
Beberapa negara yang menjadi tujuan ekspor yakni Bahrain, Angola, Mozambik, Republik Dominika, Azerbaijan, Swaziland, Botswana, Bangladesh, El Salvador, Panama, Nikaragua hingga Indonesia.
WhatsApp bahkan pernah menggugat NSO Group atas tuduhan peretasan di 20 negara di empat benua. Beberapa negara yang teridentifikasi mengalami peretasan yakni Meksiko, Uni Emirat Arab, serta Bahrain. Sasarannya mulai dari para diplomat, oposisi pemerintah, jurnalis, dan pejabat senior pemerintah setempat.
Dalam pernyataannya, WhatsApp mengatakan bahwa 100 anggota masyarakat sipil mengaku diretas. "Tak dapat diragukan lagi, ini pola pelecehan (teknologi) yang nyata," ujar WhatsApp dikutip dari Reuters, Oktober tahun lalu (30/10/2019).