Perlukah Batasan Usia Pengguna Medsos dalam RUU Perlindungan Data?

Desy Setyowati
24 November 2020, 06:30
Menimbang Dampak dan Manfaat jika Pengguna Medsos Dibatasi 17 Tahun
123RF.com/macrovector
Ilustrasi

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rayat (DPR) tengah membahas Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP), yang ditarget selesai pada pertengahan Desember. Salah satu pasal yang diusulkan yakni pengguna media sosial dibatasi 17 tahun.

Pengguna di bawah usia tersebut harus memperoleh persetujuan orang tua, jika ingin membuat akun media sosial. “Orang tua harus terlibat," kata Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Semuel Abrijani Pangerapan saat diskusi virtual bertajuk ‘Melindungi Jejak Digital dan Mengamankan Data Pribadi’ dikutip dari Antara, Kamis lalu (19/11).

Advertisement

UU tersebut akan mensyaratkan adanya mekanisme identifikasi yang melibatkan orang tu,  ketika anak di bawah 17 tahun akan membuka akun media sosial. Jika ini diterapkan, maka bakal ada banyak tahapan yang harus dilewati jika anak di bawah umur ingin membuat akun.

Kebijakan tersebut mengadopsi UU perlindungan data pribadi di Uni Eropa yang dikenal dengan General Data Protection Regulation (GDPR). Regulasi ini menetapkan, pengguna di bawah 16 tahun harus mendapatkan izin dari orang tua jika ingin membuat akun media sosial.

Setiap negara anggota boleh membuat batasan tersendiri sepanjang di bawah 16 tahun dan di atas 13 tahun.

Kominfo mengusulkan kebijakan serupa berlaku di Indonesia. Ini bertujuan mendorong keterlibatan dan komunikasi antara anak dan orang tua sebelum masuk ke ruang digital. “Ini akan menyulitkan. Kalau tidak begitu, terputus hubungan anak dengan orang tua, karena masing-masing membuat dunia sendiri," kata Semuel.

Selain itu, informasi pribadi pengguna di bawah 17 tahun akan diperlakukan sebagai data sensitif. Informasinya dianggap sama krusialnya dengan data sidik jari, retina mata, dan biometrik lainnya.

Data sensitif tersebut akan wajib diamankan secara enkripsi, sehingga tidak dapat dibaca oleh siapapin tanpa bantuan ‘pengetahuan’ khusus. Selain itu, tak boleh digunakan untuk tujuan pemasaran.

Sedangkan pada draf RUU PDP, regulasi itu akan memuat hak dan kewajiban pemilik data pribadi, pemroses atau pengumpul, serta yang mengawasi. Selain itu, ada klausul pembentukan lembaga khusus yang disebut otoritas perlindungan data atau data protection authority (DPA).

Semuel mengatakan, lembaga itu akan ada di bawah Kominfo. Struktur ini mirip dengan di Singapura dan Malaysia. Sedangkan saat ini, ada 20 staf yang memiliki sertifikasi perlindungan data.

Jika usulan-usulan tersebut disetujui, maka Kominfo akan diberi waktu dua tahun untuk menyesuaikan diri, terhitung sejak UU disahkan. “RUU ini 80% mazhabnya GDPR. Harus ada penyesuaian,” kata Semuel.

Ia juga menyampaikan, separuh dari sekitar 300 daftar inventarisasi masalah (DIM) selesai dibahas. Jika tidak tahun ini, Kominfo optimistis rampung awal tahun depan.

Wakil Ketua DPR M Azis Syamsuddin meminta masukan masyarakat terkait usulan batasan usia, selama pembahasan RUU PDP. “Ini mengingat aktivitas masyarakat di media sosial juga menjadi hak bagi setiap warga negara,” kata dia dikutip dari situs resmi DPR, akhir pekan lalu (21/11).

Terlebih lagi, media sosial juga menjadi alternatif platform pembelajaran jarak jauh selama pandemi corona. Di satu sisi, ia menilai bahwa usulan tersebut mengedepankan upaya perlindungan anak dari konten yang tidak sesuai. “Perlu kajian,” ujar dia.

Saat ini, beberapa pengembang platform media sosial seperti Facebook, Instagram, WhatsApp, YouTube, Twitter, dan TikTok membatasi penggunanya minimal 13 tahun. Ketika membuat akun, calon pengguna diminta mengisi formulir tanggal lahir.

Twitter menerapkan kebijakan tersebut pada 2018. Pengguna di bawah usia tersebut, yang terlanjur memiliki akun, maka akan diblokir. Namun, konsumen terkait bisa memulihkan akunnya ketika sudah berusia 13 tahun.

Begitu juga dengan Facebook, Instagram, dan WhatsApp. Namun di Eropa, mereka membatasi penggunanya berusia 16 tahun ke atas, sesuai GDPR.

YouTube dan TikTok juga membatasi pengguna di bawah 13 tahun. Namun, perusahaan di bawah naungan Google ini memiliki YouTube Kids yang ditujukan untuk anak di bawah 12 tahun.

Pembatasan tersebut dinilai untuk melindungi anak dari konten negatif. Apalagi, berdasarkan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJII) bertajuk penetrasi internet dan perilaku pengguna internet di Indonesia pada 2018 menunjukkan, 49% pengguna internet pernah dirisak (di-bully) dalam bentuk ejekan atau pelecehan di media sosial.

Namun, Executive Director ICT Institute Heru Sutadi mengatakan bahwa pengguna bisa saja berbohong saat mengisi formulir pembuatan akun media sosial. “Banyak yang tidak jujur,” kata dia kepada Katadata.co.id, Senin (23/11).

Selain itu, bisa menggunakan jaringan pribadi virtual atau virtual private network/VPN). “Ini bisa digunakan untuk by pass akses internet lokal bila ada halangan atau aturan kebebasan akses. Gateway akses VPN berada di luar negeri. Memang bisa saja terjadi,” kata dia.

Pada dasarnya, layanan VPN bersifat tertutup karena semua data yang diakses atau dikirim akan diamankan lewat kode tertentu oleh provider. Namun, VPN gratis berpotensi membahayakan data pribadi pengguna, mengingat belum ada aturan khusus terkait ini.

Heru juga menyoroti pengenaan pasal 27 ayat 3 UU ITE atau Informasi dan Transaksi Elektronik mengenai fitnah atau pencemaran nama baik. “Jangan sampai, banyak anak-anak yang menjadi ‘terdakwa’ setelah UU PDP disahkan,” ujar dia.

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement