Tantangan Startup Agritech Dukung Ketahanan Pangan Indonesia

Desy Setyowati
15 Desember 2020, 19:30
ketahanan pangan, krisis pangan, startup, pertanian, perikanan, pandemi corona, fintech lending,
123RF.com/Sergey Nivens
Ilustrasi
  • Menteri Sri Mulyani menganggarkan Rp 99 triliun untuk ketahanan pangan pada 2021, yang menjadi peluang bagi startup pertanian dan perikanan
  • Startup pertanian dan perikanan kategori e-commerce dinilai lebih mudah meraup untung ketimbang penyedia solusi teknologi
  • Gojek berinvestasi di startup perikanan lewat GoVentures

Pemerintah menyiapkan Rp 99 triliun untuk program ketahanan pangan pada 2021, seiring meningkatnya ancaman krisis pangan dunia akibat pandemi corona. Ini menjadi peluang sekaligus tantangan bagi startup pertanian (agritech) dan perikanan (aquaculture).

Rerata startup yang merambah sektor ini masuk kategori teknologi finansial pembiayaan (fintech lending) seperti TaniFund dan Crowde maupun e-commerce seperti TaniHub dan Aruna. Sedangkan yang mengembangkan teknologi yakni eFishery, Jala Tech dan Hara.

Co-Founder sekaligus Managing Partner di Ideosource dan Gayo Capital Edward Ismawan Chamdani mengatakan, salah satu kesulitan startup agritech menyediakan solusi berbasis teknologi bagi petani yakni sistem tanam polikultur atau menanam beragam tanaman pada satu lahan. Ini menyulitkan perangkat atau alat melakukan kontrol jarak jauh.

Untuk berinvestasi di startup yang menyediakan perangkat berbasis teknologi, investor biasanya mengkaji tiga hal yakni kualitas, konsistensi, dan scalability layanan. “Kalau ada teknologi yang mendukung ketiga ini akan dicari investor,” kata Edward kepada Katadata.co.id, Selasa (15/12). “Jika tidak, (perangkat) sulit dijual ke konsumen akhir.”

Tantangan lainnya yakni petani di Indonesia bekerja sendiri-sendiri. “Perlu membentuk koperasi. Harus ada pemimpin (petani) yang mengerti soal infrastruktur, proses produksi hingga mengemas produk,” ujar Edward. “Perlu menyatukan ekosistem.” Konsep seperti ini menurutnya berhasil di beberapa negara.

Sedangkan Investment and Venture Partner di UMG Idealab Jefry Pratama menilai, model bisnis e-commerce merupakan cara termudah bagi startup agritech untuk menghasilkan uang. Jumlah perusahaan rintisan yang masuk kategori ini di sektor pertanian pun cukup banyak.

Akan tetapi, sedikit startup agritech Indonesia yang mengandalkan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), analisis data, robotika, atau teknologi mendalam (deeptech) seperti rekayasa genetika. Jefry menilai, salah satu penyebabnya yakni minimnya talenta digital.

“Kurangnya teknologi canggih di startup agritech Indonesia merupakan peluang pertumbuhan yang lebih besar di bidang logistik, rantai pasokan, dan infrastruktur,” demikian kata Jefry dikutip dari laporan CompassList berjudul ‘Indonesia Agritech Report 2020’ yang dirilis Maret lalu (31/3).

Kategori startup pertanian dan perikanan di Indonesia dan negara tetangga
Kategori startup pertanian dan perikanan di Indonesia dan negara tetangga (Padang & Co)

Selain itu, ia tidak yakin petani mau membeli solusi pertanian berbasis teknologi. “Potensinya besar, tetapi saat ini mungkin tidak mudah diterima pasar,” kata dia dikutip dari situs resmi UMG Idealab, September tahun lalu.

Ia mencontohkan salah satu portofolio UMG Idealab yakni FROGS yang mengembangkan drone untuk mengumpulkan data di lahan pertanian. Pembeli layanan ini sedikit. Selain itu, “perlu mendidik pasar tentang potensi produk ini,” ujar dia.

Pemerintah memang menjadi pengguna potensial untuk produk tersebut. Namun, “jika mencari pendapatan, Anda harus menjual produk,” kata Jefry.

Di Indonesia, eFishery sempat mengalami persoalan serupa. Startup ini menyediakan perangkat pemberi pakan otomatis (autofeeder) untuk ikan dan udang. Ini memungkinkan petambak menjadwalkan pemberian makan menggunakan ponsel pintar (smartphone).

efishery
efishery (instagram/@efishery)

Alat tersebut memiliki sensor berbasis Internet of Things (IoT) untuk mengetahui kapan ikan atau udang kenyang, sehingga berhenti mengeluarkan pakan. eFishery mencatat, sekitar 70-90% biaya budidaya ikan atau udang yakni untuk pakan.

Co-Founder sekaligus CEO eFishery Gibran Huzaifah bercerita, pengembangan bisnis ketika awal berdiri pada 2013 menemui sejumlah tantangan. “Kami membangun ketika belum banyak komponen perangkat keras (hardware),” kata dia saat wawancara via podcast dengan jurnalis Indo Tekno Alan Hellawell, Maret lalu (9/3).

Selain itu, petambak belum terbiasa menggunakan ponsel pintar (smartphone) berbasis teknologi seperti IoT. “Jadi kami mengedukasi petambak mengenai penggunaan layanan dan prosesnya untuk waktu yang cukup lama,” ujar dia.

Sembari mengedukasi, eFishery terus mengembangkan teknologi solusi pemberi pakan ikan dan udang. Kini, perusahaan mendukung puluhan ribu kolam ikan di lebih dari 180 kota.

Dalam dua tahun terakhir, eFishery mengkaji solusi lain yang menciptakan nilai tambah bagi petambak menggunakan data yang dikumpulkan oleh smart feeder. Pada tahun lalu, startup ini pun merambah bisnis e-commerce melalui eFisheryFresh dan eFisheryFeed, serta fintech lending lewat eFisheryFund.

Marketplace eFisheryFeed menghubungkan petambak dengan produsen secara langsung. Sedangkan platform business-to-business (B2B) eFisheryFresh, memungkinkan mereka menjual ikan langsung ke restoran, hotel, dan bisnis kuliner lainnya.

Perusahaan juga memiliki 50 eFisheryPoints per Oktober, yang merupakan lokasi bagi petani untuk mendapatkan produk eFishery, menjual ikan, dan mengikuti pelatihan. Startup ini menargetkan 100 eFisheryPoints pada akhir 2020.

Dengan strategi tersebut, eFishery diminati oleh investor. Startup ini memperoleh investasi dari modal ventura dan investor Gojek yakni GoVentures dan Northstar Group. Penanam modal lain yang masuk yakni Aqua-spark, Wavemaker Partners, Triputra Group hingga Maloekoe Ventures.

NILAI TUKAR PETANI NAIK
NILAI TUKAR PETANI NAIK (ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/rwa.)

Sedangkan CTO Hara Agriculture Imron Zuhri mengatakan bahwa menemukan model bisnis yang berkelanjutan merupakan tantangan utama. Berbeda dengan e-commerce atau fintech, ia mencatat belum ada pemain raksasa di bisnis agritech yang terbukti sukses.

Alhasil, tidak ada contoh jelas bagaimana perusahaan agritech ideal bisa untung. Oleh karena itu, startup di sektor perlu bereksperimen untuk dapat menemukan cara berbisnis yang sesuai. Selain itu, harus berkolaborasi dengan banyak institusi seperti pemerintah, perusahaan, dan startup lainnya.

Hara pada awalnya ingin menerapkan konsep ‘pertanian presisi’ di Indonesia dengan memanfaatkan teknologi seperti pengawasan sawah atau kebun dari jarak jauh secara akurat dan dapat meningkatkan hasil panden. Caranya, menggunakan drone dan citra satelit untuk menilai kesehatan dan pertumbuhan tanaman.

“Kami meluncurkan pilot project di Lampung, cukup berhasil dan meningkatkan produktivitas petani 27%,” kata Imron dikutip dari Kr Asia, pada Juni tahun lalu (24/6/2019).

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...