Gojek Masuk ke Bank Jago, Era Baru Perkawinan SuperApp - Bank Digital
Perusahaan penyedia layanan on-demand, Gojek melalui lini usahanya, GoPay, merambah ke bisnis perbankan dengan memiliki 22% saham PT Bank Jago Tbk (ARTO). Langkah kolaborasi dengan bank digital tersebut diprediksi bakal memperkuat posisi dedacorn ini di bisnis keuangan digital, baik di Indonesia maupun Asia Tenggara.
Selain itu, langkah itu akan memperkuat daya saing Gojek dalam berkompetisi dengan Grab yang sudah mengantongi lisensi bank digital di Singapura.
“Kolaborasi ini akan menjadi awal dari cara baru dalam menawarkan layanan keuangan kepada para pengguna Gojek,” kata Co-CEO Gojek Andre Soelistyo dikutip dari siaran pers, Jumat (18/12).
Dengan memiliki bank digital, pengguna Gojek kini dapat membuka rekening Bank Jago melalui aplikasi. “Kemitraan ini merupakan pencapaian baru bagi kami dalam menyediakan berbagai solusi dari masalah sehari-hari melalui teknologi,” ujar dia.
Bank Jago akan memperkuat ekosistem Gojek sekaligus membuka akses yang lebih luas kepada bagi masyarakat terhadap layanan perbankan digita
Kolaborasi itu juga memungkinkan decacorn Tanah Air ini mengembangkan model bisnis baru untuk dapat bermitra dengan lebih banyak institusi keuangan. “Kami ingin terus meningkatkan kerja sama seperti ini agar aplikasi Gojek semakin menjadi andalan masyarakat dalam memenuhi berbagai kebutuhan finansial,” katanya.
Apalagi, Gojek mencatat bahwa 52% penduduk dewasa atau sekitar 95 juta orang di Indonesia tidak memiliki rekening bank. Selain itu, lebih dari 47 juta tak memiliki akses memadai pada kredit, investasi dan asuransi.
Gojek pun sudah merombak jajaran pimpinan alias chief level. CEO GoPay Aldi Haryopratomo akan mundur per Januari 2021.
Sedangkan dua Co-CEO yakni Kevin Aluwi dan Andre Soelistyo akan berbagi tugas. Kevin akan berfokus memimpin layanan Gojek, sementara Andre mengomando lini bisnis pembayaran digital dan finansial.
Penguatan fokus manajemen ini efektif per Januari 2021. “Kami akan melanjutkan peran sebagai Co-CEO Gojek Group, namun masing-masing memiliki ruang lingkup dan tanggung jawab yang lebih spesifik ke depan,” kata Kevin dan Andre dalam pernyataan resminya, November lalu (18/11).
Keduanya menilai, dua bisnis besar yakni layanan di bawah merek (brand) Gojek dan finansial tumbuh semakin kuat. Sedangkan pada setiap portofolio membutuhkan keahlian dan fokus yang berbeda.
“Guna terus mendorong pertumbuhan ini, kami harus memiliki struktur yang tepat untuk memastikan kesiapan perusahaan dalam menyongsong masa yang akan datang,” kata keduanya. “Ini waktu yang tepat untuk melihat kembali bisnis dan memastikan Gojek dapat berjalan semakin optimal.”
Oleh karena itu, Gojek memutuskan untuk mengoptimalkan tim agar bisa memaksimalkan pertumbuhan di kedua bisnis tersebut. Andre misalnya, memimpin tiga unit usaha yaitu pembayaran digital atau GoPay, layanan jasa keuangan seperti paylater, serta solusi business to business (B2B) dan merchant.
Chief Operating Officer Gojek Hans Patuwo, yang menjabat selama tiga tahun, akan beralih memimpin GoPay. Lalu, Head of Merchants Gojek Ryu Suliawan bakal mengomando solusi B2B dan merchant.
Sedangkan Andre pernah menyampaikan, perusahaan mengendalikan penuh berbagai lini bisnis yang ada di platform, sehingga aplikasinya bisa disebut superapp. Namun, ada peluang GoPay terpisah, seperti Ant Group dan Alibaba maupun Grab Financial dan Grab.
“Akan ada satu titik di mana (struktur) vertikal (bisnis) tertentu mungkin perlu memiliki pemegang saham dan tata kelola sendiri, ketika model bisnisnya terkait peraturan atau punya ekosistem yang lebih besar di luar platform. Jadi, mungkin ini persoalannya,” kata Andre dalam acara Asia PE-VC Summit 2019 dikutip dari DealStreetAsia, akhir tahun lalu (2/10/2019)
Ia menilai, unit bisnis pembayaran merupakan yang paling masuk akal untuk terpisah. “Itu alasan mengapa Ant Financial dipisahkan dari Alibaba, lalu PayPal dari eBay,” kata Andre.
Akan tetapi, ia tidak berkomentar mengenai pernah tidaknya upaya pemisahan itu dibahas di Gojek. Namun, “itu (layanan pembayaran terpisah) mungkin salah satu dari hal yang kami tidak akan pernah mengatakan ‘tidak pernah’,” kata dia.
Decacorn Tanah Air itu sudah lama memperkuat bisnis keuangan. Perusahaan mengakuisisi Kartuku, Midtrans dan Mapan pada 2017.
Lalu, Gojek merambah bisnis fintech lending dengan menggandeng tiga mitra yakni Findaya, Dana Cita dan Aktivaku pada 2018. Dengan Findaya, Gojek menyediakan layanan ‘beli sekarang bayar kemudian’ atau paylater.
Di bidang investasi, perusahaan penyedia layanan on-demand itu menggadeng startup investasi reksa dana berbasis teknologi atau robo advisor, Bibit pada 2019. Kemudian, menggaet fintech, Pluang untuk menawarkan investasi emas pada Juni lalu.
Untuk bisnis asuransi, startup jumbo itu menggandeng PasarPolis menyediakan layanan GoSure pada akhir tahun lalu. Di platform Gojek, fintech asuransi (insurance) ini menyediakan perlindungan layar ponsel, perjalanan, dan kendaraan bermotor.
Yang terbaru, Gojek juga menggandeng Bank Central Asia (BCA) membuat perangkat untuk transaksi bernama GoBiz Plus. Mesin ini mirip electronic data capture atau EDC, namun dapat menerima pembayaran berbasis kode Quick Response atau QR Code maupun kartu.
Pada Juni lalu, bisnis pembayaran dan keuangan Gojek pun disokong oleh Facebook dan PayPal. Keduanya masuk dalam putaran pendanaan seri F lanjutan Gojek, bersama dengan Google dan Tencent.
Beberapa ahli keuangan menilai, perusahaan teknologi global butuh pemahaman lokal yang mendalam terkait pasar, jika ingin berhasil di Asia Tenggara. Gojek dinilai menjadi jalan bagi Facebook dan PayPal untuk merambah pasar Indonesia.
“Pasar kami secara fundamental terdiri dari UKM,” kata Aldi saat wawancara dengan jurnalis CNBC Internasional Saheli Roy Choudhury, dikutip Juni lalu (11/6). “Kami menjembatani pedagang kecil di jalan dengan beberapa perusahaan teknologi global.”
Kini, transaksi GoPay terus meningkat. Per Oktober, peningkatannya hingga 2,7 kali secara tahunan (year on year/yoy).
Sedangkan secara keseluruhan, layanan inti sudah mencetak margin kontribusi positif pada 2020. Transaksi brutonya atau gross transaction value (GTV) tumbuh 10 % menjadi US$ 12 miliar atau Rp 170 triliun sejak awal tahun.
Bisnis keuangan di Indonesia memang menggiurkan. Pertama, banyaknya jumlah penduduk unbanked di Indonesia. Kedua, pengguna ponsel pintar (smartphone) diprediksi mencapai 70,1% dari total penduduk pada tahun ini. Angkanya tertera pada Databoks berikut:
Selain itu, banyaknya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang belum tersentuh layanan keuangan. Peluang di Indonesia bahkan sangat besar, dengan 64 juta lebih UMKM.
Berdasarkan laporan Google, Temasek, dan Bain and Company bertajuk ‘e-Conomy 2019’, nilai dari layanan keuangan digital di Asia Tenggara diproyeksi US$ 38 miliar sampai US$ 60 miliar (Rp 554,2 triliun-Rp 875 triliun) per tahun pada 2025. Porsi per negara sebagai berikut:
Namun, dalam studi terbaru Google, Temasek, dan Bain and Company, nilainya bisa lebih besar pada tahun ini karena ada pandemi corona. Nilai transaksi (gross transaction value/GTV) pembayaran di regional diproyeksikan US$ 620 miliar pada tahun ini dan US$ 1,2 triliun di 2025.
Lalu, transaksi remitansi secara online diprediksi US$ 35 miliar pada 2025. Penyaluran pembiayaan melalui fintech lending diramal US$ 92 miliar. Kemudian, dana kelolaan investasi diproyeksi mencapai US$ 84 miliar.