Daya Tarik Ekonomi Digital RI yang Membuat Mantan PM Malaysia Kecewa
- Mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak kecewa Google hingga Tesla lebih memilih Indonesia
- Peringkat daya saing digital Malaysia lebih tinggi ketimbang Indonesia
- Startup Indonesia jadi ‘medan perang’ baru raksasa teknologi Tiongkok dan AS
Raksasa teknologi asal Amerika Serikat (AS) seperti Google dan Amazon, serta dari Tiongkok yakni Alibaba tertarik berinvestasi di Indonesia. Ini membuat mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak kecewa.
Google sudah membangun pusat data (data center) komputasi awan (cloud) di Indonesia. Sedangkan Amazon tengah membuat infrastruktur serupa di di Jawa Barat dan ditarget rampung tahun depan.
Adapun Alibaba Cloud telah membangun dua pusat data di Nusantara. Mereka juga tengah membuat yang ketiga dan ditarget selesai pada 2021.
Lalu Tesla tertarik berinvestasi mobil listrik di Tanah Air. “Ini karena pasar Indonesia sangat besar. Penguatan infrastruktur juga terus membaik,” kata Ketua Asosiasi Modal Ventura Untuk Startup Indonesia (Amvesindo) Jefri Sirait kepada Katadata.co.id, Selasa (22/12).
Malaysia memang unggul dari sisi daya saing digital dibandingkan Indonesia. Berdasarkan survei IMD World Digital Competitiveness Index 2020, Indonesia berada pada posisi 56, sementara negeri jiran ini 26 dari 63 negara.
Indeks tersebut berdasarkan tiga indikator yakni pengetahuan atau literasi, pembangunan teknologi, dan kesiapan transformasi. Secara berurutan, peringkat Indonesia untuk ketiganya yakni 63, 54, dan 48. Sedangkan Malaysia di posisi 19, 20, dan 32. Perbandingannya secara rinci dapat dilihat pada Tabel di bawah ini:
Negara | 2016 | 2017 | 2018 | 2019 | 2020 |
Literasi | |||||
Indonesia | 60 | 58 | 61 | 56 | 63 |
Malaysia | 22 | 17 | 17 | 19 | 19 |
Pembangunan teknologi | |||||
Indonesia | 58 | 56 | 49 | 47 | 54 |
Malaysia | 16 | 18 | 22 | 19 | 20 |
Kesiapan transformasi ke digital | |||||
Indonesia | 60 | 62 | 58 | 58 | 48 |
Malaysia | 28 | 27 | 29 | 28 | 32 |
Keseluruhan indeks daya saing digital | |||||
Indonesia | 60 | 59 | 62 | 56 | 56 |
Malaysia | 24 | 24 | 27 | 26 | 26 |
Sumber: IMD World Digital Competitiveness Index 2020
Selain itu, data Nielsen pada 2019 menunjukkan bahwa persentase kaum muda Malaysia lebih tinggi ketimbang Indonesia. Angkanya tertera pada Databoks di bawah ini:
Kemudian, cakupan akses internet di Tanah Air tertinggal dibandingkan Malaysia. Network Readiness Index 2019 Indonesia kalah dari Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina.
Indeks tersebut mengukur bagaimana teknologi dan masyarakat terintegrasi dalam struktur tata kelola yang efektif. Ini berdasarkan enam faktor yakni teknologi, masyarakat, pemerintahan, dan dampaknya terhadap kondisi ekonomi, kualitas hidup, dan kontribusi terhadap tujuan pembangunan berkualitas (SDGs) suatu negara.
Meski begitu, Jefri mengatakan bahwa pasar Indonesia jauh lebih besar dibandingkan Malaysia. Akan tetapi, “harus ada peningkatan berkelanjutan dari sisi infrastruktur lewat fasilitas modern dan sistem yang tangkas (agile) sebagai penggerak ekosistem dan pembangunan manusia,” kata dia.
Di satu sisi, Najib Razak kecewa raksasa teknologi global lebih melirik Indonesia. Padahal, Malaysia unggul dari sisi daya saing digital, cakupan akses internet, dan jumlah milenial.
"Tesla akan ke Indonesia. Amazon akan ke Indonesia. Google akan ke Indonesia. Apa yang terjadi?" Kata Najib dalam unggahan di akun Facebook, pekan lalu (14/12).
Padahal, Malaysia memiliki Kementerian Perindustrian dan Perdagangan Internasional (MITI), Otoritas Pengembangan Investasi Malaysia (MIDA), InvestKL, dan Malaysia Digital Economy Corporation (MDEC) yang bertugas menarik investasi raksasa teknologi. Ia menilai hasilnya nol.
Ia mengatakan, dirinya memimpin langsung misi perdagangan dan investasi saat menjabat. "Saya bertemu dengan para pemimpin dunia dan kapten industri," katanya. Dia mengklaim, sekitar 80 perusahaan internasional ia undang ke Malaysia selama periode itu.
Najib mengatakan, investasi itu bisa menambah penciptaan lapangan kerja baru dan menghadirkan talenta digital bagi Malaysia. Namun, ia menilai upaya pemerintah menarik investasi minim sejak 2018.
"Apa yang kami lihat yakni ketidakstabilan politik. Apa yang kami alami yaitu kebijakan pemerintah yang lemah yang berdampak besar pada perekonomian dan masyarakat," katanya.
Daya Tarik Indonesia di Mata Rakasa Teknologi Global
Potensi pasar yang besar sebagaimana diungkapkan oleh Jefri tertuang dalam laporan Google, Temasek, dan Bain and Company bertajuk ‘e-Conomy SEA 2020’. Nilai ekonomi digital Indonesia diperkirakan tumbuh 11% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi US$ 44 miliar atau Rp 619 triliun pada tahun ini. Sedangkan Malaysia naik 6% menjadi US$ 11,4 miliar.
Pada 2025, nilai ekonomi digital Indonesia diproyeksikan US$ 124 miliar. Sedangkan Malaysia US$ 30 miliar.
Jumlah pengguna internet Indonesia juga 196,7 juta per kuartal II 2020, berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJII). Sedangkan Statista memperkirakan, pemakai internet di Malaysia hanya 30,44 juta.
Sejalan dengan hal itu, jumlah pengguna ponsel pintar (smartphone) di Tanah Air diperkirakan mencapai 70,1% dari total populasi. Sedangkan Statista memprediksi, pengguna gadget di negeri jiran itu hanya 30,1 juta pada tahun ini.
Berdasarkan riset Facebook dan Bain and Company, konsumen digital di Indonesia diperkirakan meningkat dari 119 juta tahun lalu menjadi 137 juta pada 2020. Persentasenya pun melonjak dari 58% menjadi 68% terhadap total populasi.
Sedangkan jumlah konsumen digital di Asia Tenggara tertera pada Databoks di bawah ini:
Alibaba Cloud yang berinvestasi tiga data center di Indonesia menyampaikan, Nusantara berada pada tahap awal penggunaan cloud. “Potensi di negara ini terbilang besar untuk ekonomi digital,” kata Country Manager Alibaba Cloud Indonesia Leon Chen kepada Katadata.co.id, awal Desember lalu (8/12).
Sedangkan Country Director Google Cloud Indonesia Megawaty Khie mengatakan, Indonesia merupakan pasar strategis. "Keberadaan unicorn artinya banyak pelanggan yang dilayani,” kata dia saat konferensi pers virtual, Juni lalu (24/6).
Indonesia memiliki satu decacorn atau startup dengan valuasi lebih dari US$ 10 miliar, yakni Gojek. Selain itu ada empat unicorn atau bervaluasi US$ 1 miliar lebih yakni Bukalapak, Traveloka, Tokopedia, dan OVO. Valuasi kelimanya per November 2019 dapat dilihat pada Databoks di bawha ini:
Kemudian, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) optimistis Tesla bakal memilih Indonesia untuk membangun pabrik baterai lithium. “Dengan cadangan nikel yang kita miliki, seharusnya bisa menang,” ujar dia, pekan lalu (15/12).
Dengan beragam keunggulan tersebut, startup Indonesia pun menjadi ‘medan perang’ baru raksasa teknologi AS dan Tiongkok. Big tech di kedua negara itu mulai beralih ke Asia Tenggara karena pemisahan ekosistem teknologi.
"Ini untuk menghindari gangguan dan pemisahan (ekosistem) yang tidak produktif tanpa tujuan,” kata penulis laporan, yang dipimpin oleh analis data Rhodium Adam Lysenko, dikutip dari SCMP, Januari lalu (15/1).
Startup jumbo Tanah Air seperti Gojek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak pun kebagian aliran dana yang beralih tersebut. Rincian investor di balik para unicorn ini dapat terlihat pada Tabel berikut:
Unicorn/Decacorn | Investor AS | Investor Tiongkok |
Gojek | Facebook, PayPal, Google, Visa, Pegasus Tech Ventures, Sequoia Capital | Tencent, JD.Com |
Tokopedia | Alibaba | |
Traveloka | GFC, Sequoia Capital | JD.com, Hillhouse Capital |
Bukalapak | Microsoft | Ant Financial |
Sumber: data diolah
Data Cento Ventures pun menunjukkan, jumlah pendanaan ke startup Indonesia jauh lebih banyak dibanding Malaysia. Angkanya tertera pada Bagan di bawah ini: