Konten Diblokir, TikTok Laporkan Induk WeChat soal Dugaan Monopoli
ByteDance menuduh perusahaan teknologi, Tencent anti terhadap persaingan karena memblokir aplikasi TikTok versi Tiongkok, Douyin di WeChat dan QQ. Induk TikTok itu juga melaporkan pengembang gim PUBG tersebut ke otoritas antimonopoli.
Perusahaan asal Negeri Panda itu mengajukan gugatan pada Selasa lalu (2/2). Mereka menilai, tindakan pemblokiran konten oleh Tencent melanggar UU Antimonopoli.
“Kami percaya bahwa persaingan lebih baik bagi konsumen dan mendorong inovasi," kata juru bicara ByteDance dikutip dari Engadget, Rabu (3/2). "Kami telah mengajukan gugatan untuk melindungi hak kami dan pengguna."
ByteDance meminta otoritas terkait untuk mendorong Tencent menghentikan tindakan pemblokiran konten Douyin di WeChat dan QQ. Selain itu, memberikan sanksi denda 90 juta yuan atau US$ 14 juta sebagai kompensasi.
Melalui akun resmi di WeChat, Tencent menyatakan mereka tidak menerima dokumen gugatan tersebut. Raksasa teknologi Tiongkok itu pun menilai bahwa gugatan yang diajukan oleh induk TikTok salah dan fitnah.
Tencent menjelaskan, WeChat telah lama membangun kebijakan yang membatasi akses pengguna terhadap konten tidak sesuai. Saat ini, WeChat digunakan oleh lebih dari 1 miliar pengguna secara global.
Pengembang game online itu juga mengklaim, perusahaan menawarkan layanan kepada pengguna dan pihak ketiga dengan prinsip persaingan yang adil dan kolaborasi terbuka.
Perusahaan pun menilai bahwa ByteDance merusak ekosistem platform dan melanggar hak pengguna. Oleh karena itu, Tencent menyatakan akan membalas gugatan tersebut.
Gugatan dari ByteDance itu diajukan saat otoritas Tiongkok serius mengkaji dugaan monopoli oleh raksasa teknologi. Pada November tahun lalu, Beijing pun meluncurkan regulasi terkait antimonopoli.
Beijing bahkan tengah menyelidiki Alibaba terkait dugaan monopoli. Selain itu, meminta perusahaan milik Jack Ma lainnya yakni Ant Group untuk merombak bisnis.
Partner di firma hukum Han Kun, Ma Chen menilai bahwa regulasi baru itu dibuat karena otoritas khawatir raksasa teknologi seperti Alibaba dan Tencent menjadi terlalu kuat, sehingga mempersulit korporasi lain berkembang. "Ini momen yang menentukan,” kata Ma dikutip dari Bloomberg, November tahun lalu (10/11/2020).
Sebenarnya, Tiongkok memiliki UU Antimonopoli yang terbit pada 2007. Namun, ini berlaku bagi perusahaan asing yang mendominasi pasar.
Pada 2009, aturan itu menjerat Coca-Cola dengan denda US$ 2,3 miliar karena memblokir China Huiyuan Juice Group. Enam tahun kemudian, perancang cip (chipset) Amerika Serikat (AS) Qualcomm didenda US$ 975 juta dan dipaksa menurunkan royalti.
Beijing memperbarui aturan antimonopoli itu mengingat bisnis digital berubah dengan cepat dan sulit diukur. Regulator biasanya menggunakan indikator seperti pendapatan atau pangsa pasar untuk menentukan apakah suatu perusahaan konvensional melakukan monopoli atau tidak.
Indikator itu tidak berlaku bagi perusahaan digital. Sebab, mereka mengontrol informasi berharga atau data yang belum dimonetisasi.
Di satu sisi, kapitalisasi pasar gabungan perusahaan digital di Tiongkok hampir US$ 2 triliun atau sekitar Rp 28.126 triliun. Khusus untuk Alibaba dan Tencent bahkan melampaui bank milik negara, seperti Bank of China.