Ancaman Penyebaran Hoaks, Blokir Internet, dan Wacana Revisi UU ITE

Desy Setyowati
17 Februari 2021, 18:20
Ancaman Penyebaran Hoaks, Blokir Internet, dan Wacana Revisi UU ITE
123RF.com/macrovector
Ilustrasi media sosial
  • Presiden Jokowi membuka peluang revisi UU ITE, karena ada beberapa pasal karet
  • Pasal terkait pemblokiran internet seperti yang terjadi di Jakarta dan Papua pada 2019, diusulkan untuk diubah
  • Belum ada aturan terkait mekanisme pemblokiran internet ataupun media sosial

Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka peluang revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pakar teknologi menilai pasal 27-29 terkait pencemaran nama baik, ujaran kebencian, dan ancaman kekerasan perlu diubah. Selain itu, mereka menyoroti pasal tentang pemblokiran internet dan media sosial.

Jokowi menilai ada beberapa pasal karet pada UU ITE. Selain itu, ia ingin pelaksanaan UU ini tidak menimbulkan rasa ketidakadilan. Oleh karena itu, dia berencana meminta DPR untuk merevisi regulasi tersebut.

Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menilai ada sembilan pasal dalam UU ITE yang perlu direvisi. “Kami anggap (pasal-pasal ini) bermasalah, karena secara substansial definisi dan kriterianya tidak jelas sehingga sangat multitafsir," ujar Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet Ika Ningtyas kepada Katadata.co.id, Selasa (16/2).

Pasal yang dimaksud yakni 26 ayat 3, 27 ayat 1, 27 ayat 3, 28 ayat 2, 29, 36, 40 ayat 2a, 40 ayat 2b, dan 45 ayat 3. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel di bawah ini:

Usulan SAFEnet terkait pasal-pasal dalam UU ITE yang perlu direvisi
Usulan SAFEnet terkait pasal-pasal dalam UU ITE yang perlu direvisi (SAFEnet)

Sejauh ini, pasal yang banyak menjerat warga yakni pasal 27-29. Amnesty International Indonesia mencatat, ada 774 perkara terkait UU ITE. Sebanyak 676 di antaranya divonis bersalah.

Meski begitu, SAFEnet menilai pasal 40 ayat 2a dan 2b tentang muatan yang dilarang dan pembatasan akses internet, perlu diubah. Ini dianggap bermasalah, karena menjadi dalih bagi pemerintah untuk memblokir internet.

Di Indonesia, setidaknya ada dua kali pembatasan akses internet. Pertama, membatasi penyebaran gambar dan video di media sosial saat kerusuhan di DKI Jakarta pada Mei 2019 lalu.

Pembatasan penggunaan media sosial dan aplikasi percakapan itu dilakukan, karena Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menemukan sejumlah konten yang memuat ujaran kebencian, fitnah dan hoaks.

Kedua, pemblokiran layanan data atau akses internet di Papua dan Papua Barat pada Agustus 2019. Ini untuk meminimalkan penyebaran informasi palsu di tengah kerusuhan.

 

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memutuskan Presiden Jokowi dan Menteri Kominfo melanggar hukum karena memblokir akses internet di Papua dan Papua Barat. Jokowi sempat mengajukan banding, namun membatalkannya.

Dalam eksepsi, lima pengacara Jokowi mengatakan bahwa gugatan itu error in persona atau salah pihak. Mereka juga mengatakan, penggugat yakni Tim Pembela Kebebasan Pers tidak berhak mengajukan gugatan (persona standi in judicio) dan gugatan dinilai kabur (obscuur libel).

Namun, Tim Pembela Kebebasan Pers yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan SAFEnet sebagai penggugat menyatakan ada legal standing. “Majelis hakim dalam keputusannya menyimpulkan, gugatan yang diajukan AJI dan SAFENet masih dalam tenggang waktu. Kedua lembaga juga dinilai memenuhi syarat untuk mengajukan gugatan dengan mekanisme gugatan legal standing,” demikian dikutip dari laman resmi SAFEnet, pertengahan tahun lalu (4/6/2020).

Pada 2019, Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto mengatakan bahwa pemblokiran internet merujuk pada Peraturan Menteri Kominfo Nomor 19 Tahun 2014 soal konten negatif. Langkah ini merupakan bentuk baru dari penyaringan konten negatif.

Pada pasal 2 huruf b tertulis bahwa penyaringan itu bertujuan melindungi kepentingan umum dari konten yang berpotensi memberikan dampak negatif atau merugikan.

Kebijakan itu merujuk pada kasus di negara lain, seperti India. Mesir juga pernah menerapkan langkah serupa pada satu dekade lalu.

Pada 2019, Sudan, Venezuela, dan Rusia juga membatasi askses internet atau media sosial. Pada Januari lalu, Uganda memblokir media sosial selama lima hari jelang pemilu.

Yang terbaru, Myanmar memblokir media sosial seperti Twitter, Instagram, dan Facebook terkait kudeta militer.

Namun, SAFEnet menilai pemerintah perlu membuat aturan dalam bentuk UU soal mekanisme pemblokiran internet. “Pasal 40 UU ITE tidak bisa dijadikan dasar untuk memblokir internet,” kata dia pada medio 2019 lalu (3/9/2019).

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati, Fahmi Ahmad Burhan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...