Selain Produk Impor, Regulasi - Akses Pasar Jadi Aral UMKM Digital
Kementerian Perdagangan (Kemendag) berencana membuat aturan terkait diskon di e-commerce, untuk mengantisipasi predatory pricing. Namun, Asosiasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan praktisi menilai bahwa regulasi dan akses pasar juga menjadi tantangan.
Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia Ikhsan Ingratubun menilai, regulasi belum cukup melindungi produk lokal. "Yang sudah ada, baru terkait pajak," kata dia kepada Katadata.co.id, Senin (8/3).
Menurutnya, perlu ada penghambat atas masuknya produk impor di e-commerce di Tanah Air. "Regulasi pajak bisa diperketat," ujar Ikhsan.
Sebenarnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan sudah menurunkan batas nilai impor barang kiriman yang dikenakan bea masuk dari US$ 75 (Rp 1,05 juta) menjadi US$ 3 (Rp 42 ribu) per invoice sejak awal tahun lalu.
Akan tetapi, Ikhsan menyoroti perjanjian kerja sama di bidang perdagangan dengan negara lain. "Penyedia produk impor akan mengejar pasar yang sudah ada perjanjian kerja samanya. Di sini, mau tidak mau harus bersaing," katanya.
Tantangan kedua, Ikhsan menilai bahwa UMKM Tanah Air belum memiliki penyangga pembiayaan yang kuat. "Seharusnya bisa dibuat seperti koperasi modern,” ujar dia.
Riset Pricewaterhouse Coopers (PwC) pada 2019 menyebutkan, 74% UMKM di Indonesia belum mendapat akses pembiayaan.
Ketiga, kurangnya akses pasar yang berkesinambungan. "Harus ada jaminan kesinambungan permintaan di pasar Indonesia. Setelah itu, UMKM baru bisa bersaing dengan produk asing di e-commerce, baik dari sisi kualitas maupun harga," katanya.
Keempat, kurangnya industri pendukung. Mantan ketua Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung mencontohkan casing ponsel yang belum diproduksi di Nusantara. "Padahal pasarnya besar,” katanya. “Jadi, yang tersedia berasal dari Tiongkok atau Taiwan.”
Ia mengusulkan agar pemerintah membuka keran pengembangan manufaktur untuk barang-barang yang paling diincar di e-commerce. "Bisa dicek produk apa yang dicari konsumen, tetapi kebanyakan tersedia di negara lain,” ujarnya.
Kelima, masalah kualitas barang. Ignatius menilai, banyak dari UMKM yang gagal karena kualitas produk rendah.
Keenam, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki sempat menyampaikan bahwa salah satu penyebab UMKM gagal merambah pasar digital yakni minimnya pemahaman terkait teknologi. Oleh karena itu, edukasi pelaku usaha secara intens menjadi keharusan.
Ketujuh, UMKM dinilai lambat beradaptasi dalam menyesuaikan produk dengan minat konsumen. Ini karena pelaku usaha tidak memiliki kemampuan menganalisis kebutuhan pasar.
Meski begitu, saat ini Kemendag berencana membuat aturan terkait diskon di e-commerce untuk mengantisipasi praktik predatory pricing. Menurut Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD), predatory pricing merupakan strategi perusahaan menetapkan harga sangat rendah atau di bawah rerata pasar, dalam jangka waktu tertentu.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi bercerita, dirinya menemukan penjual online dari luar negeri yang menjual hijab di e-commerce Tanah Air Rp 1.900 per potong.
"Ini jauh di bawah ongkos produksi yang menciptakan nilai tambah untuk Indonesia. Ini hal yang dilarang WTO," ujar Lutfi. Ia mengatakan, praktik ini bisa menghambat UMKM Tanah Air berkembang di e-commerce.
Ia pun melaporkan praktik tersebut kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), beberapa menit sebelum berpidato dalam Pembukaan Rapat Kerja Nasional Kemendag 2021 di Istana Negara, Jakarta, Kamis (4/3).
Saat berpidato, Jokowi menyatakan kekecewaannya terhadap praktik predatory pricing oleh penjual asing di e-commerce. Ia mendorong masyarakat mencintai produk lokal.
Kemendag pun berencana membuat aturan terkait diskon di platform belanja online.