Tren ‘Exit’ Startup Indonesia 2021, antara IPO, Merger, dan Akuisisi
- Startup kesehatan, fintech, dan e-commerce diramal masif merger dan akuisisi pada tahun ini
- Startup jumbo seperti Gojek, Tokopedia, dan Traveloka lebih memilih segera IPO
- Imbas pandemi corona, investor yang memiliki modal tersedia dalam jumlah besar menyasar aset potensial untuk merger atau akuisisi
Startup jumbo Indonesia seperti Gojek, Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak menyatakan bersiap untuk menawarkan saham perdana alias IPO. Sedangkan perusahaan rintisan lainnya mulai melakukan merger dan akuisisi.
Warung Pintar mengakuisisi perusahaan rintisan logistik, Bizzy Digital pada bulan lalu. Aksi ini untuk memperkuat posisi korporasi di pasar e-commerce business to business (B2B) Indonesia dan mendukung rencana ekspansi.
Investor dari kalangan modal ventura memperkirakan exit strategy berupa IPO dan konsolidasi startup marak tahun ini. Exit strategy adalah pendekatan yang direncanakan untuk mengakhiri investasi dengan cara yang akan memaksimalkan keuntungan dan/atau meminimalkan kerugian.
“Startup, terutama yang growth stage akan melirik opsi investasi yang lebih agresif seperti IPO,” ujar CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro kepada Katadata.co.id, Rabu (17/3). “Mungkin setelah mendapatkan pendanaan seri B.”
Sedangkan perusahaan rintisan yang sukses mencari pendanaan (fund raising) dinilai bakal melirik akuisisi. Ini bertujuan mencapai pertumbuhan non-organic, produk, atau talenta digital.
“Sebaiknya untuk startup growth stage atau yang sudah melewat beberapa putaran pendanaan,” kata Eddi. Akan tetapi, potensi IPO dan konsolidasi ini tergantung pada sektor dan wilayah operasi.
Akan tetapi, riset PwC bertajuk Global M&A Industry Trends menunjukkan, volume merger dan akuisisi perusahaan teknologi global meningkat 34% secara tahunan (year on year/yoy) pada semester II 2020. Dari sisi nilai, meningkat 118%.
“Pertumbuhan aktivitas merger dan akuisisi subsektor teknologi dan telekomunikasi merupakan yang tertinggi,” demikian isi laporannya, dikutip Selasa (16/3).
Secara keseluruhan, volume transaksi konsolidasi di Amerika Serikat (AS) naik 20%. Sedangkan Asia Pasifik serta Eropa, Timur Tengah, dan Afrika (EMEA) masing-masing meningkat 17%.
Global Deals Industries Leader, Partner, PwC AS Brian Levy menilai, pandemi corona dinilai mendorong transaksi merger dan akuisisi. “Akselerasi digitalisasi dan transformasi bisnis langsung menjadi prioritas utama. Merger dan akuisisi pun dipandang sebagai cara tercepat untuk mewujudkan ini,” kata dia dalam siaran pers.
Tren konsolidasi juga dipengaruhi oleh suku bunga rendah, melimpahnya modal tersedia, serta keinginan untuk mengakuisisi bisnis inovatif, berbasis digital atau yang mendukung teknologi.
PwC mencatat, modal tersedia dari kalangan perusahaan dalam bentuk surat berharga dan tunai lebih dari US$ 7,6 triliun. Sedangkan dari korporasi ekuitas swasta US$ 1,7 triliun.
Berdasarkan laporan Google, Temasek, dan Bain and Company bertajuk ‘e-Conomy 2020’, modal tersedia atau ‘dry powder’ di Asia Tenggara, termasuk private equity dan modal ventura, mencapai US$ 11,9 miliar tahun lalu. Rinciannya sebagai berikut:
“Ada begitu banyak modal di luar sana. Bisnis yang bagus dapat menciptakan kelipatan nilai yang tinggi dan mendapatkan modal. Jika ini terus berlanjut, dan saya yakin itu akan terjadi, maka kebutuhan untuk melipatgandakan upaya penciptaan nilai semakin relevan, demi merger dan akuisisi yang sukses,” kata Global Deals Leader, Partner, PwC Spanyol Malcolm Lloyd.
Modal ventura menilai, di Indonesia, startup teknologi finansial (fintech), e-commerce, dan kesehatan berpotensi masif konsolidasi pada tahun ini. Pada November 2020, Farmaku mengakuisisi DokterSehat. Farmaku menyediakan layanan pembelian obat, sementara DokterSehat merupakan portal informasi kesehatan.
Bain and Company memperkirakan, perusahaan di sektor kesehatan menggencarkan strategi membeli dan membangun pada tahun ini. “Investor berfokus pada konsolidasi rumah sakit dan laboratorium,” demikian dikutip dari laporan yang dirilis Maret 2020.
Selain itu, fintech diramal masif konsolidasi tahun ini. Berdasarkan riset Dealroom, Finch Capital dan MDI Ventures yang dirilis September 2020, lanskap strategi ‘exit’ startup fintech di Asia Tenggara sejak 2015 sebagian besar berupa merger dan akuisisi.
Target utamanya yakni perusahaan di sektor pembayaran dan manajemen investasi. Sedangkan angkanya dapat dilihat pada Databoks di bawah ini:
CEO BRI Ventures Nicko Widjaja menilai, ekosistem industri fintech Indonesia lebih mirip Tiongkok ketimbang Silicon Valley, AS. “Berkaca dari sana (Tiongkok), sangat masuk akal jika pemain fintech pembayaran Indonesia yang menguasai pangsa pasar lebih kecil, memilih bekerja sama dengan mitra strategis," ujar dia kepada Katadata.co.id, Juni 2020 (16/6/2020).
Di Negeri Tirai Bambu, tersisa dua pemain fintech pembayaran besar yakni WeChat Pay dan Alipay. Oleh karena itu, menurutnya kabar bahwa OVO dan DANA dalam pembicaraan untuk merger, sangat mungkin terjadi Lagi pula, merger akan memperkuat ekosistem di industri fintech. "Jika berkaca ke pasar Indonesia secara spesifik, kunci sukses industri fintech yakni kolaborasi," kata dia.
Sebab, ekosistem sektor fintech pembayaran besar. Layanan yang tersedia pun beragam, mulai dari fungsi gerbang pembayaran (payment gateway), card switching, dan lainnya, yang bersifat end to end.
Di satu sisi, 80% pangsa pasar fintech pembayaran dikuasai lima pemain besar. Rinciannya dapat dilihat dari hasil riset beberapa perusahaan:
Konsolidasi juga diramal menjadi tren fintech pembiayaan (lending) pada tahun ini. Itu karena Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengkaji aturan baru, salah satunya mengatur kenaikan modal inti.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bima Yudhistira Adhinegara memperkirakan, aturan tersebut membuat jumlah pemain fintech lending susut dari 154 (per akhir 2020) menjadi kurang dari 90. “Ada potensi untuk merger dan akuisisi,” ujarnya kepada Katadata.co.id, Desember lalu (8/12/2020).
Ia sepakat dengan kebijakan tersebut, karena memungkinkan pelaku usaha menggenjot kredit ke sektor produktif dan luar Jawa. Selain itu, perusahaan bisa meningkatkan teknologi terkait keamanan sistem. “Selama ini yang membuat fintech belum tertarik ke luar Jawa itu biaya operasional tinggi. Kalau modal inti naik, seharusnya mereka bisa lebih ekspansi,” kata Bima.
(BACA JUGA: Peluang Fintech Pertahankan Gelar Primadona Investor pada 2021)
Bima memperkirakan, ada lebih banyak fintech lending yang membuka putaran pendanaan maupun konsolidasi tahun ini. “Mereka harus kreatif mencari investasi seri A, B, keatas. Ini tantangan,” ujarnya.
Ia juga memprediksi, merger dan akuisisi mewarna sektor fintech lending dan perbankan. “Bank atau lembaga pembiayaan, karena terkait kebutuhan dari sisi channeling pinjaman dan adopsi teknologi dari fintech, khususnya penilaian kredit (credit scoring),” kata dia.
Perusahaan rintisan e-commerce juga diramal masif konsolidasi tahun ini. Direktur Investasi BRI Ventures William Gozali menjelaskan, merger dan akuisisi biasanya berfokus pada efisiensi.
“Sekarang terlalu banyak (e-commerce agregasi suplai seperti Tokopedia dan Bukalapak). Nilainya bukan lagi di agregasi, tetapi kurasi. Jadi kalau dilihat merger dan akuisisi, tentu sektor ini,” kata dia dalam acara media gathering virtual Asosiasi Modal Ventura untuk Startup lndonesia (Amvesindo) bertajuk ‘Mengupas Dinamika dan Tren Pendanaan Startup 2020-2021’, November 2020 (2/11/2020).
Startup Jumbo Lebih Pilih IPO
Decacorn dan unicorn Tanah Air lebih memilih untuk IPO sebagai exit strategy. Traveloka misalnya, berencana mencatatkan saham perdana pada tahun ini.
"Jika dapat melakukannya lebih cepat, kami kemudian dapat berfokus pada eksekusi dan mengembangkan perusahaan," kata CEO Traveloka Ferry Unardi dalam sesi wawancara dengan jurnalis Bloomberg, dikutip Februari lalu (16/2).
Rencananya, pada tahap awal Traveloka akan IPO di Wall Street, AS. Namun, Ferry tidak memerinci bursa saham AS yang akan dipilih yakni New York Stock Exchange (NYSE) atau Nasdaq.
Traveloka juga sudah menggaet JPMorgan Chase & Co untuk proses IPO di AS itu. Setelah AS, unicorn itu mengkaji penawaran saham perdana di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Di bursa AS, Traveloka akan IPO lewat perusahaan akuisisi bertujuan khusus (SPAC). "SPAC sangat efisien,” kata Ferry.
(BACA JUGA: Mengenal SPAC, Kendaraan Tokopedia untuk Tembus Bursa Saham AS)
Tokopedia juga sempat dikabarkan bakal merger dengan SPAC atau perusahaan cek kosong asal AS Bridgetown Holdings Ltd. Namun belakangan, Tokopedia disebut-sebut mengkaji merger dengan Gojek.
Bahkan, kedua startup jumbo itu disebut-sebut sudah menandatangani kesepakatan jual beli saham saham bersyarat atau conditional sales and purchase agreement (CSPA) untuk merger.
VP of Corporate Communications Tokopedia Nuraini Razak menyatakan kabar tersebut tidak benar. “Kami tidak berkomentar atas spekulasi pasar,” kata dia kepada Katadata.co.id, pekan lalu (10/3).
Hal senada disampaikan oleh Chief Corporate Affairs Gojek Nila Marita. “Kami tidak dapat memberikan komentar terhadap rumor yang beredar,” ujar dia.
Sumber Bloomberg mengatakan, Gojek dan Tokopedia telah membahas berbagai skenario kemungkinan merger. Salah satunya, membentuk entitas gabungan yang memungkinkan keduanya mempertahankan merek masing-masing.
Keputusan itu juga akan mengacu pada rencana penawaran saham perdana ke publik alias IPO entitas gabungan di bursa AS dan Indonesia. Salah satu skenario yang dikaji yakni menggabungkan kedua perusahaan sebelum IPO di bursa Indonesia dan AS.
Skenario lainnya, Tokopedia akan IPO terlebih dahulu di bursa Indonesia. Lalu bergabung dengan Gojek sebelum mendaftarkan entitas gabungan di Negeri Paman Sam.
E-commerce lainnya, Bukalapak juga berencana IPO. “Kami memikirkan itu,” kata CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin saat wawancara dengan jurnalis Bloomberg, bulan lalu (25/2). “Memiliki akses ke pasar modal merupakan sesuatu yang baik dan penting bagi kami.”