Tren ‘Exit’ Startup Indonesia 2021, antara IPO, Merger, dan Akuisisi

Desy Setyowati
17 Maret 2021, 14:55
Tren ‘Exit’ Startup Indonesia 2021, Antara IPO, Merger, dan Akuisisi
Leo Lintang/123rf
Ilustrasi
  • Startup kesehatan, fintech, dan e-commerce diramal masif merger dan akuisisi pada tahun ini
  • Startup jumbo seperti Gojek, Tokopedia, dan Traveloka lebih memilih segera IPO
  • Imbas pandemi corona, investor yang memiliki modal tersedia dalam jumlah besar menyasar aset potensial untuk merger atau akuisisi

Startup jumbo Indonesia seperti Gojek, Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak menyatakan bersiap untuk menawarkan saham perdana alias IPO. Sedangkan perusahaan rintisan lainnya mulai melakukan merger dan akuisisi.

Warung Pintar mengakuisisi perusahaan rintisan logistik, Bizzy Digital pada bulan lalu. Aksi ini untuk memperkuat posisi korporasi di pasar e-commerce business to business (B2B) Indonesia dan mendukung rencana ekspansi.

Advertisement

Investor dari kalangan modal ventura memperkirakan exit strategy berupa IPO dan konsolidasi startup marak tahun ini. Exit strategy adalah pendekatan yang direncanakan untuk mengakhiri investasi dengan cara yang akan memaksimalkan keuntungan dan/atau meminimalkan kerugian.

Startup, terutama yang growth stage akan melirik opsi investasi yang lebih agresif seperti IPO,” ujar CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro kepada Katadata.co.id, Rabu (17/3). “Mungkin setelah mendapatkan pendanaan seri B.”

Sedangkan perusahaan rintisan yang sukses mencari pendanaan (fund raising) dinilai bakal melirik akuisisi. Ini bertujuan mencapai pertumbuhan non-organic, produk, atau talenta digital.

“Sebaiknya untuk startup growth stage atau yang sudah melewat beberapa putaran pendanaan,” kata Eddi. Akan tetapi, potensi IPO dan konsolidasi ini tergantung pada sektor dan wilayah operasi.

Akan tetapi, riset PwC bertajuk Global M&A Industry Trends menunjukkan, volume merger dan akuisisi perusahaan teknologi global meningkat 34% secara tahunan (year on year/yoy) pada semester II 2020. Dari sisi nilai, meningkat 118%.

“Pertumbuhan aktivitas merger dan akuisisi subsektor teknologi dan telekomunikasi merupakan yang tertinggi,” demikian isi laporannya, dikutip Selasa (16/3).

Secara keseluruhan, volume transaksi konsolidasi di Amerika Serikat (AS) naik 20%. Sedangkan Asia Pasifik serta Eropa, Timur Tengah, dan Afrika (EMEA) masing-masing meningkat 17%.

Global Deals Industries Leader, Partner, PwC AS Brian Levy menilai, pandemi corona dinilai mendorong transaksi merger dan akuisisi. “Akselerasi digitalisasi dan transformasi bisnis langsung menjadi prioritas utama. Merger dan akuisisi pun dipandang sebagai cara tercepat untuk mewujudkan ini,” kata dia dalam siaran pers.

Tren konsolidasi juga dipengaruhi oleh suku bunga rendah, melimpahnya modal tersedia, serta keinginan untuk mengakuisisi bisnis inovatif, berbasis digital atau yang mendukung teknologi.

PwC mencatat, modal tersedia dari kalangan perusahaan dalam bentuk surat berharga dan tunai lebih dari US$ 7,6 triliun. Sedangkan dari korporasi ekuitas swasta US$ 1,7 triliun.

Berdasarkan laporan Google, Temasek, dan Bain and Company bertajuk ‘e-Conomy 2020’, modal tersedia atau ‘dry powder’ di Asia Tenggara, termasuk private equity dan modal ventura, mencapai US$ 11,9 miliar tahun lalu. Rinciannya sebagai berikut:

Modal tersedia (dry powder) di Asia Tenggara
Modal tersedia (dry powder) di Asia Tenggara (e-Conomy 2020 dan Preqin)

“Ada begitu banyak modal di luar sana. Bisnis yang bagus dapat menciptakan kelipatan nilai yang tinggi dan mendapatkan modal. Jika ini terus berlanjut, dan saya yakin itu akan terjadi, maka  kebutuhan untuk melipatgandakan upaya penciptaan nilai semakin relevan, demi merger dan akuisisi yang sukses,” kata Global Deals Leader, Partner, PwC Spanyol Malcolm Lloyd.

Modal ventura menilai, di Indonesia, startup teknologi finansial (fintech), e-commerce, dan kesehatan berpotensi masif konsolidasi pada tahun ini. Pada November 2020, Farmaku mengakuisisi DokterSehat. Farmaku menyediakan layanan pembelian obat, sementara DokterSehat merupakan portal informasi kesehatan.

Bain and Company memperkirakan, perusahaan di sektor kesehatan menggencarkan strategi membeli dan membangun pada tahun ini. “Investor berfokus pada konsolidasi rumah sakit dan laboratorium,” demikian dikutip dari laporan yang dirilis Maret 2020.

Selain itu, fintech diramal masif konsolidasi tahun ini. Berdasarkan riset Dealroom, Finch Capital dan MDI Ventures yang dirilis September 2020, lanskap strategi ‘exit’ startup fintech di Asia Tenggara sejak 2015 sebagian besar berupa merger dan akuisisi.

Target utamanya yakni perusahaan di sektor pembayaran dan manajemen investasi. Sedangkan angkanya dapat dilihat pada Databoks di bawah ini:

CEO BRI Ventures Nicko Widjaja menilai, ekosistem industri fintech Indonesia lebih mirip Tiongkok ketimbang Silicon Valley, AS. “Berkaca dari sana (Tiongkok), sangat masuk akal jika pemain fintech pembayaran Indonesia yang menguasai pangsa pasar lebih kecil, memilih bekerja sama dengan mitra strategis," ujar dia kepada Katadata.co.id, Juni 2020 (16/6/2020).

Di Negeri Tirai Bambu, tersisa dua pemain fintech pembayaran besar yakni WeChat Pay dan Alipay. Oleh karena itu, menurutnya kabar bahwa OVO dan DANA dalam pembicaraan untuk merger, sangat mungkin terjadi Lagi pula, merger akan memperkuat ekosistem di industri fintech. "Jika berkaca ke pasar Indonesia secara spesifik, kunci sukses industri fintech yakni kolaborasi," kata dia.

Sebab, ekosistem sektor fintech pembayaran besar. Layanan yang tersedia pun beragam, mulai dari fungsi gerbang pembayaran (payment gateway), card switching, dan lainnya, yang bersifat end to end.

Di satu sisi, 80% pangsa pasar fintech pembayaran dikuasai lima pemain besar. Rinciannya dapat dilihat dari hasil riset beberapa perusahaan:

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati, Fahmi Ahmad Burhan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement