Banyak Startup RI Bakal Merger dan Akuisisi untuk Raih Untung di 2022
Perusahaan jasa profesional asal Inggris, Ernst & Young (EY) memperkirakan bahwa startup Indonesia masif merger dan akuisisi tahun ini. Ini bertujuan mendapatkan untung pada 2022.
Dalam laporan berjudul EY Global Capital Confidence Barometer, 98% perusahaan meninjau strategi dan portofolio secara komprehensif selama pandemi corona. Mereka bakal berfokus pada investasi.
Selain itu, 37% perusahaan berencana melakukan aksi korporasi seperti merger dan akuisisi secara aktif selama pandemi Covid-19.
Ketika ditanya terkait strategi setahun, setelah awal pandemi 2020 lalu, 13% perusahaan mempertimbangkan untuk mengakuisisi. Ini untuk mengambil potensi pertumbuhan baru.
"Transaksi akuisisi akan terus terjadi," kata Strategy and Transactions Leader EY Indonesia David Rimbo saat konferensi pers virtual, Rabu (7/4).
EY mencatat, upaya konsolidasi pada awalnya banyak dilakukan oleh perusahaan sektor mineral dan gas (migas). Namun, korporasi beralih ke digital selama pandemi corona.
Oleh karena itu, tren merger dan akuisisi bergeser ke perusahaan teknologi termasuk startup. "Industri 4.0 akan menjadi sasaran selanjutnya," ujar David.
Alasan perusahaan mempertimbangkan merger dan akuisisi saat pandemi yakni meningkatkan profit. Langkah konsolidasi dinilai membantu mereka untuk pulih.
"Menarik melihat perusahaan melakukan transformasi selama pandemi Covid-19," ujar Strategy and Transaction Leader EY Asean Vikram Chakravarty.
Laporan EY tersebut sejalan dengan riset PwC bertajuk Global M&A Industry Trends yang dirilis Maret lalu. PwC mencatat, volume merger dan akuisisi perusahaan teknologi global meningkat 34% secara tahunan (year on year/yoy) pada semester II tahun lalu. Dari sisi nilai, meningkat 118%.
Secara keseluruhan, volume merger dan akuisisi sepanjang semester II 2020 meningkat 18%. Sedangkan nilainya naik 94%.
Laporan Cento Ventures bertajuk Southeast Asia Tech Investment 2020 yang dirilis akhir pekan lalu juga menunjukkan hal serupa. Indonesia dan Singapura menjadi negara yang paling banyak melakukan aksi likuidasi startup.
Berdasarkan alokasi dana likuidasi, Singapura menyumbang hampir setengah dari dana keluar se-Asia Tenggara atau mencapai 45%. Sedangkan Indonesia 16%.
Namun, berdasarkan pangsa peristiwa, startup Indonesia yang paling banyak yakni 32% di Asia Tenggara. Singapura 30%.
Langkah likuidasi startup di Asia Tenggara didorong oleh sektor ritel seperti akuisisi Alibaba terhadap Lazada dan beberapa platform e-commerce. Likuidasi sektor ritel mencapai 27% dari total.
Sektor lainnya yakni layanan lokal 19%, hiburan non-game 16%, dan pembayaran 12%.
Di Indonesia, sektor teknologi finansial (fintech), e-commerce, dan kesehatan berpotensi masif melakukan merger dan akuisisi pada tahun ini.
Untuk fintech, riset Dealroom, Finch Capital dan MDI Ventures yang dirilis September 2020 menunjukkan bahwa lanskap strategi ‘exit’ startup sektor ini di Asia Tenggara sebagian besar berupa merger dan akuisisi sejak 2015.
Target utamanya yakni perusahaan di sektor pembayaran dan manajemen investasi. Sedangkan angkanya dapat dilihat pada Databoks di bawah ini:
Di satu sisi, 80% pangsa pasar fintech pembayaran dikuasai lima pemain besar. Rinciannya dapat dilihat dari hasil riset beberapa perusahaan: