Adopsi Tanda Tangan Digital Melonjak saat Corona, tapi Ada 3 Hambatan

Fahmi Ahmad Burhan
21 Juli 2021, 18:54
kominfo, pandemi corona, tanda tangan digital
kementerian kominfo
Dirjen Aptika Kementerian Kominfo Semuel A Pangerapan saat mewakili Menteri Kominfo dalam Pelucuran Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (PSrE) dan Tanda Tangan Elektronik (TTE) di Hotel Marlynn Park, Jakarta, Rabu (13/11/2019).

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat, adopsi teknologi tanda tangan digital atau digital signature semakin masif saat pandemi corona. Namun, industri ini menghadapi tiga tantangan.

Kominfo mencatat, ada lebih dari 2,58 juta sertifikat elektronik selama 2018-2020. Ini termasuk yang mengadopsi tanda tangan digital.

"Itu menunjukkan tanda tangan digital semakin banyak digunakan dalam transaksi online. Keberadaannya menjadi katalisator," kata Sekjen Kominfo Mira Tayyiba dalam diskusi FinTech Talk bertajuk ‘The Key Role of Digital Signature Innovation and Services in Supporting Digital Economy Ecosystem’, Rabu (21/7).

Berdasarkan riset dari Market and Market, potensi pasar tanda tangan digital secara global US$ 2,8 miliar tahun lalu. Nilainya diperkirakan US$ 14,1 miliar pada 2026.

Di Indonesia, Mira mencatat bahwa penggunaan tanda tangan digital melonjak 350% selama pandemi Covid-19. "Tanda tangan digital menjadi tuntunan guna mengurangi mobilitas selama pandemi," kata Mira.

Meski begitu, menurutnya industri ini menghadapi tiga tantangan. Pertama, risiko keamanan siber dan rentan modifikasi. "Teknologi ini mesti menjamin validitas dalam mencegah penipuan online dan transaksi yang merugikan," kata Mira.

Tanda tangan digital memuat informasi pribadi yang mempunyai risiko terkena serangan siber. Informasi pribadi itu bisa dimanfaatkan oleh peretas untuk tindak kejahatan lanjutan, seperti penipuan.

Selain itu, rentan dimodifikasi karena secara visual sulit membedakan dokumen tanda tangan digital asli atau palsu. Kepemilikan dokumen pun dapat diubah. 

Kedua, belum ada regulasi perlindungan data pribadi. Sedangkan tanda tangan digital mempunyai risiko penyalahgunaan data pribadi.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah sebenarnya tengah membahas Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP). Hanya saja, regulasi itu belum juga rampung.

Padahal pada Maret lalu, RUU PDP ditarget rampung setelah lebaran atau Mei. Target ini pun mundur beberapa kali, dari rencana awal 2019.

Sekretaris Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Satriyo Wibowo mengatakan, tanda tangan digital sebenarnya diatur lewat berbagai regulasi seperti Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.

Namun, menurutnya perlu ada regulasi yang mengatur rinci keamanan data pengguna layanan. Selain itu, harus ada standar sistem identitas digital bagi perusahaan yang mengadopsi teknologi ini.

Perusahaan juga harus menjalani audit manajemen. Kemudian memenuhi persyaratan interoperabilitas, dan harus memenuhi ISO tertentu.

"Harus ada persyaratan operasional dan diatur detail, agar meyakinkan diri sendiri dan masyarakat," kata Satriyo.

Tantangan ketiga, yakni literasi masyarakat. Menurut Satriyo, terkadang masyarakat masih meragukan kekuatan hukum dari tanda tangan digital. Padahal dalam UU ITE disebutkan bahwa prasyarat keabsahan tanda tangan digital di antaranya data pembuatan tanda tangan terkait hanya kepada dan dalam kuasa penanda tangan.

Prasyarat lainnya, harus ada cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa penanda tangannya. Selain itu, terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penanda tangan telah memberikan persetujuan terhadap informasi digital terkait.

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...