Mantan Pejabat Pentagon: AS Kalah Telak dari Cina soal Teknologi AI

Fahmi Ahmad Burhan
12 Oktober 2021, 10:23
cina, amerika, ai
ANTARA FOTO/REUTERS/Aly Song/nz/cf
Warga memakai masker pelindung menyusul penyebaran penyakit virus korona (COVID9-19) terlihat di dekat sebuah robot di lokasi World Artificial Intelligence Conference (WAIC) di Shanghai, Cina, Kamis (9/7/2020).

Mantan Chief Software Officer Departemen Pertahanan Amerika Serikat (AS) Nicolas Chaillan mengatakan, AS kalah telak dari Cina soal kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI). Menurutnya, AS tidak memiliki peluang untuk menang melawan Cina setidaknya dalam 15 - 20 tahun ke depan.

Chaillan mengatakan, saat ini Beijing menuju dominasi global karena kemajuan dalam berbagai bidang teknologi untuk pertahanan, mulai dari AI, mesin pembelajar alias machine learning, dan keamanan siber. Cina juga menguasai narasi media hingga geopolitik. 

Sedangkan pertahanan siber AS di beberapa departemen pemerintahan masih berada pada tingkat ‘taman kanak-kanak’. "AS tidak memiliki peluang bertarung yang bersaing melawan Cina dalam 15 - 20 tahun," kata Chaillan dikutip dari Financial Times, Senin (11/10).

Menurutnya, Cina telah menguasai teknologi seperti AI dan machine learning. Ini dinilai jauh lebih penting ke depan ketimbang jet tempur generasi kelima yang membutuhkan anggaran besar.

Ia menilai, investasi AS di bidang teknologi masih rendah. Ia juga menyalahkan ketidakmauan perusahaan teknologi AS seperti Google untuk bekerja sama dengan Departemen Pertahanan AS pada bidang AI.

Sebaliknya, sejumlah perusahaan teknologi di Cina seperti Huawei, Alibaba hingga Tencent wajib bekerja sama dengan Beijing. "Cina juga berinvestasi besar-besaran di AI," katanya.

Chaillan merupakan mantan pejabat di Pentagon atau markas besar Departemen Pertahanan AS. Pria berusia 37 tahun ini menghabiskan tiga tahun di Pentagon untuk meningkatkan keamanan siber.

Ia mundur dari Pentagon sebagai bentuk protes atas lambatnya transformasi teknologi di militer AS. Chaillan khawatir akan membahayakan keamanan anak-anaknya apabila terus bertahan di Pentagon, dengan mempertimbangkan persaingan antara AS dan Cina.

Menanggapi komentar Chaillan, Direktur Pusat AI Departemen Pertahanan AS Michael Groen mengatakan bahwa AS sebenarnya berupaya meningkatkan kemampuan militer dengan AI. Namun ini dilakukan bertahap, karena adopsinya membutuhkan perubahan budaya di dalam militer.

Pada Juli, Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin mengatakan bahwa departemen sangat membutuhkan AI yang bertanggung jawab sebagai prioritas. Departemen akan menambahkan investasi baru US$ 1,5 miliar untuk adopsi AI dalam lima tahun ke depan. 

"Namun kami tidak akan memotong jalan pintas pengembangan AI ini dengan mempertaruhkan keselamatan, keamanan, atau etika," kata Llyod.

Secara umum, AS juga banyak menekan perusahaan teknologi Cina. Mantan Presiden AS Donald Trump memasukkan beberapa raksasa teknologi Cina ke dalam daftar hitam (blacklist) perdagangan.

Pada awal 2019, Huawei masuk daftar hitam. Tahun lalu, TikTok dan WeChat yang diberi sanksi.

Pakar perdagangan di The Center for Strategic and International Studies William Reinsch menilai, Presiden AS saat ini, Joe Biden tidak akan menurunkan intensitas tekanan pada perusahaan teknologi Tiongkok. "Sudah cukup jelas tentang bagaimana dia ingin melanjutkan (tekanan)," katanya dikutip dari Reuters, tahun lalu (9/11/2020).

Atas tekanan itu, Beijing pun berupaya mengurangi ketergantungan pada pasar luar negerinya. Negeri Tirai Bambu bahkan menghabiskan miliaran dolar untuk mendorong industri memori atau cip (chipset) dalam negeri.

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...