Bagaimana Dampak Fatwa Haram MUI terhadap Transaksi Kripto di RI?
Majelis Ulama Indonesia (MUI) memutuskan bahwa penggunaan uang kripto (cryptocurrency) sebagai mata uang, hukumnya haram bulan lalu (11/11). Namun, platform perdagangan kripto Indodax dan Tokocrypto menilai, ini tidak berpengaruh signifikan terhadap transaksi di Indonesia.
Katadata.co.id meminta tanggapan Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mengenai dampak fatwa MUI terhadap transaksi aset kripto seperti bitcoin dan ethereum di Indonesia. Namun belum ada tanggapan hingga hari ini (10/12).
Sebelumnya, pelaksana tugas (Plt) Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan dan Penindakan Bappebti M Syist mengatakan, keputusan MUI itu sebenarnya sejalan dengan pemerintah. Di Indonesia, kripto memang dilarang digunakan sebagai mata uang.
Menurutnya, MUI membuka ruang agar aset kripto menjadi komoditi perdagangan asalkan memenuhi persyaratan seperti ada penyerahan, permintaan, penawaran, dan dari sisi keamanan terjamin.
Syist mengatakan, potensi transaksi aset kripto di Indonesia juga besar. Saat ini, jumlah pelanggan aset kripto Indonesia di perdagangan mencapai 7,5 juta orang. Angkanya melonjak hampir dua kali lipat dibandingkan tahun lalu 4 juta orang.
Begitupun dengan nilai transaksinya yang meningkat menjadi Rp 478,5 triliun per Juli. Nilainya naik signifikan dibandingkan tahun lalu Rp 65 triliun.
Beberapa jenis aset kripto yang banyak diminati di Indonesia antara lain bitcoin, ethereum, dan cardano. Kendati demikian, transaksi kripto di Indonesia masih tergolong kecil, yakni hanya 1% dari transaksi volume global.
Hal senada disampaikan oleh CEO Indodax Oscar Darmawan. “Selama ini kripto tidak digunakan sebagai mata uang di Indonesia," kata dia kepada Katadata.co.id, Rabu (8/12).
Oleh karena itu, fatwa MUI tidak berpengaruh besar terhadap transaksi kripto di Tanah Air. “Selama sebulan, fatwa MUI tidak terlalu banyak berpengaruh terhadap prospek perdagangan aset kripto di Indonesia," ujar Oscar.
Alasan lainnya yakni banyak masyarakat yang mengandalkan aset kripto untuk mendapatkan keuntungan modal (capital gain). Kepercayaan masyarakat terhadap aset kripto juga dinilai masih tinggi.
VP Corporate Communications Tokocrypto Rieka Handayani sepakat bahwa masyarakat percaya aset kripto dapat diperdagangkan sebagai komoditi selama memiliki underlying. "Jenis-jenis aset kripto selama ini ditentukan secara resmi oleh Bappebti," katanya.
"Yang patut diwaspadai bersama adalah maraknya kasus penipuan terkait investasi aset kripto maupun pedagang yang bersifat ilegal," katanya.
Sebelumnya, Ketua MUI Asrorun Niam Soleh mengatakan bahwa alasan MUI mengeluarkan fatwa kripto haram karena mengandung unsur gharar, dharar, serta bertentangan dengan UU nomor 7 tahun 2019 dan Peraturan Bank Indonesia (BI) nomor 17 tahun 2015.
MUI juga memutuskan bahwa aset kripto sebagai komoditi tidak sah untuk diperdagangkan. Sebab, aset kripto mengandung unsur gharar, dharar, dan qimar. Selain itu, aset kripto dinilai tidak memenuhi syarat sil'ah secara syar'i.
"Syarat sil'ah yaitu harus ada wujud fisik, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, hak milik, dan bisa diserahkan ke pembeli," kata Niam dikutip dari Antara, bulan lalu (11/11).
Dikutip dari situs Bank Muamalat, gharar adalah ketidakpastian dalam transaksi yang diakibatkan dari tidak terpenuhinya ketentuan syariah dalam transaksi tersebut.
Sedangkan dharar adalah transaksi yang dapat menimbulkan kerusakan, kerugian, ataupun ada unsur penganiayaan, sehingga bisa mengakibatkan terjadinya pemindahan hak kepemilikan secara batil.
Lalu, qimar yakni suatu bentuk permainan yang di dalamnya dipersyaratkan, jika salah seorang pemain menang maka dia akan mengambil keuntungan dari pemain yang kalah dan sebaliknya.