Siasat Sirclo Lolos dari Badai Kebangkrutan pada Masa Awal Berdiri
Startup e-commerce enabler Sirclo pernah melalui badai yang membuat perusahaan ini hampir menutup layanan. Sirclo berhasil melewati masa-masa berat dengan melakukan berbagai strategi yang tepat.
Kini, perusahaan rintisan itu telah menggaet lebih dari 150 ribu merek (brands) dan 500 ribu pemilik warung. Sirclo yang berdiri pada 2013 ini pun mempunyai 25 juta konsumen akhir dengan lebih dari 80 titik distribusi yang tersebar di Indonesia. Startup ini mempunyai lebih dari 2.000 karyawan.
E-commerce enabler itu juga mengakuisisi Warung Pintar pada Februari. Kedua startup ini kemudian berfokus memperkuat posisi dalam bisnis solusi omnichannel bagi merek, distributor, pelaku usaha hingga konsumen akhir.
Founder sekaligus Chief Executive Officer Sirclo Group Brian Marshal bercerita, masa sulit dialaminya pada 2015 atau tahun ketiga beroperasi. Perusahaan hampir tutup. "‘Bakar uang’ semakin tinggi dan mencari pendanaan sulit. Pada 2015, gagal mendapatkan pendanaan. Melihat rekening, runway sudah tipis dan sempat berpikir untuk berhenti,” kata Brian dalam program serial podcast Impacttalk yang dirilis oleh Impactto belum lama ini.
Runway merupakan istilah yang menggambarkan panjangnya umur startup. Sedangkan modal memang menjadi salah satu penyebab startup gagal, sebagaimana terlihat pada Databoks di bawah ini:
[Perbincangan lengkap program Impacttalk tersebut bisa dililhat pada link berikut ini]
Ia menyampaikan, salah satu hal yang paling penting untuk dipikirkan oleh CEO dalam kondisi seperti itu yakni keberlangsungan perusahaan. Setidaknya, bisa menggaji karyawan.
Perusahaan pun mengambil langkah efisiensi dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebanyak 40%. Ketika itu jumlah karyawan sekitar 30 orang.
“Kami memutuskan untuk tidak tutup, harus lanjut, tetapi dengan mengurangi 40% tim. Setahun berikutnya, try to stand on our feet,” kata Brian.
Dengan langkah-langkah tersebut, Sirclo berhasil lolos dari ‘kebangkrutan’. Pada akhir 2015, startup ini pun mulai breakeven atau tidak merugi. Kemudian, “mulai memikirkan ekspansi lain, mendapatkan pendanaan, dan lainnya,” ujarnya.
Menurut dia, salah satu faktor pendorong Sirclo bisa bertahan yakni kekompakan tim. Startup ini pun memperkuat kepercayaan, hubungan, dan budaya, baik dengan karyawan maupun mitra.
“Setiap orang yang baru bergabung dengan Sirclo pasti akan bertemu dengan manajemen. Ini supaya membangun hubungan antar-manusia yang lebih dari sekadar ‘angka’ dalam hubungannya,” ujar dia.
Sirclo juga berhasil lolos dari jurang kebangkrutan karena mencapai product-market fit. Product Plan mendefinisikan product-market fit sebagai konsep atau skenario ketika para pelanggan suatu perusahaan mau membeli, menggunakan, dan menyebarkan informasi tentang suatu produk.
Jika itu terjadi pada banyak pelanggan suatu bisnis, product-market fit akan mampu mendukung pertumbuhan perusahaan dan meningkatkan keuntungan.
Profesor Thomas R Eisenmann dari Harvard Business School mengungkapkan, 90 % startup gagal. Alasan utamanya, karena produk atau layanan yang dikembangkan tidak sesuai dengan kebutuhan pasar. Hal itu senada dengan temuan CB Insights, yakni 42% startup bangkrut karena tidak berhasil menemukan product-market fit.
“Product-market fit itu saat kami melihat klien sudah bisa sukses berjualan di website manapun. Benar-benar terjadi transaksi,” kata Brian. “Terjadi transaksi itu hasil pertama. Di Sirclo, sales itu harus terjadi secepat mungkin.”
Sirclo memang menyasar segmen korporasi atau menerapkan model Business to Business (B2B). Setelah mengakuisisi Warung Pintar, startup ini juga menjangkau konsumen akhir atau Business to Customer (B2C).
Dengan akuisisi itu, ada tiga kategorisasi utama pada pilar solusi dari Sirclo Group, yaitu:
1. Enterprise
Caranya, menghadirkan layanan teknologi end-to-end yang dapat dikustomisasi bagi principal atau brand besar.
2. Entrepreneur atau wirausaha dan UMKM
Menyediakan layanan berbasis Software-as-a-Service (SaaS), termasuk penyediaan toko online siap pakai bagi bisnis berskala UMKM.
3. Model bisnis new retail seperti warung
Sirclo akan berfokus pada pemberdayaan warung melalui beragam produk dan layanan digital. Tujuannya, meningkatkan transparansi dan efisiensi pada alur distribusi, akses ke principal atau distributor nasional, ketersediaan produk hingga pinjaman modal.
“Don’t plan anything too big. Saat sudah terjadi transaksi, pertanyaan selanjutnya yakni apakah bisa berkembang? Jadi, ada dampak positif dengan menggunakan jasa Sirclo,” kata Brian. Kemudian, ujian akhir untuk mencapai product-market fit yaitu apakah mereka memperbarui kontrak. Dan akan sukses signifikan ketika si klien tersebut mengenalkannya ke partner yang lain.
Brian menyampaikan bahwa menyasar segmen korporasi lebih mudah dalam melihat skala pertumbuhan. “Bisa kami monetisasi dari perkembangan itu,” ujar dia.
Gambaran terkait hasil layanan yang disediakan itu bisa disampaikan kepada investor untuk mendapatkan pendanaan. Walaupun, “ada investor yang hanya percaya pada B2C. Supaya tidak membuang waktu, kami memilih modal ventura yang mengerti B2B dan dinamikanya,” katanya.
Ia pun memberikan beberapa tips kepada pendiri startup lain, sebagai berikut:
1. Persoalan timing
Menurutnya, pandemi corona mendorong masyarakat beralih ke digital lebih cepat. Ini menjadi momen yang tepat bagi startup untuk masuk ke bisnis B2B, karena banyak korporasi dan UMKM yang beralih ke digital.
2. Memberi contoh hasil kepada calon klien
Startup bisa mulai dengan layanan yang memberikan hasil, meski kecil. “Jadi, kalau ada peluang kecil dan bisa membuktikan apa yang Anda lakukan itu bernilai, lakukan saja dulu. Buktikan bahwa solusi Anda bekerja,” katanya.
3. Menyampaikan produk secara baik kepada calon klien
Startup B2B menawarkan layanan yang bersifat deep technology. Fungsinya, membantu korporasi atau UMKM menjadi lebih efisien dengan teknologi.
“Invest in your service capability, dalam artian komunikasi, atau orang sales yang bisa berkomunikasi dengan baik. Tidak hanya berfokus pada teknologi,” kata Brian.