StaffAny asal Singapura Tawarkan Solusi Kerja Pegawai ke Startup RI

StaffAny meluncurkan produk baru yakni ‘Startup Plan’. Perusahaan rintisan asal Singapura ini pun menyasar startup Indonesia.
Perusahaan itu menyediakan layanan manajemen sumber daya manusia (SDM) berbasis teknologi. Solusinya seperti penjadwalan kerja, absensi berbasis komputasi awan (cloud), permohonan cuti hingga laporan terkait kinerja karyawan secara real-time.
StaffAny kemudian meluncurkan produk ‘Startup Plan’ pada Maret. Layanan ini telah digunakan oleh lebih dari 400 institusi.
Kini, layanan tersebut tersedia untuk startup berusia di bawah setahun, dengan jumlah tim di bawah 25 orang. Sebab, bisnis yang baru berdiri cenderung tidak punya waktu ataupun keterampilan mentransformasi operasional menjadi serba digital dan serba otomatis.
Hal itu cenderung menimbulkan tantangan efisiensi dan pemanfaatan sumber daya perusahaan seperti absensi kehadiran, kesalahan penugasan shift, penyalahgunaan waktu kerja, atau bahkan kesalahan pembayaran lembur.
“Kami melihat bahwa 60% bisnis baru gagal dalam dua tahun pertama karena manajemen staf dan perencanaan sumber daya yang kurang profesional,” kata Co-Founder sekaligus CEO StaffAny Janson Seah dalam keterangan pers, Rabu (8/6).
Menurut Janson, klien StaffAny mampu menghemat hingga 3% biaya tenaga kerja per jam setelah menggunakan platform-nya. “Kami betul-betul memahami tantangan pemilik bisnis dalam pengaturan karyawan berbasis shift,” katanya.
Ia menjelaskan, aplikasi StaffAny dirancang untuk menjadi ‘standar emas’ industri ke depan. Tujuannya, para klien bisa meninggalkan cara lama yang bersifat manual dan mengadopsi sistem berbasis cloud untuk seluruh proses penanganan SDM.
Apalagi, menurutnya pandemi corona mendorong kebutuhan terhadap industri SDM dan personalia di seluruh dunia. Di Indonesia misalnya, menghadapi tantangan baru yang terus berkembang dan menuntut kebutuhan akan standar digitalisasi manajemen tenaga kerja, di antaranya:
1. Meningkatnya jumlah pekerja lepas (freelancer)
Akibat pandemi corona, semakin banyak pelaku usaha yang memilih untuk menggunakan pekerja lepas dibandingkan formal. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2021, jumlah freelancer meningkat 26% dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 33,34 juta.
Bank Dunia juga mencatat, jumlah pekerja freelance tumbuh 30% setiap tahun. Ini didominasi usia 18 - 44 tahun.
2. Komunikasi berbasis teknologi
Dinamika metode kerja berubah, sehingga perusahaan membutuhkan platform komunikasi berbasis teknologi untuk memudahkan transparansi alur kerja dan koordinasi antar anggota tim.
Oleh karena itu, kehadiran platform konferensi video dan platform koordinasi kerja mengalami lonjakan penggunaan sejak pandemi.
3. Lebih berfokus pada kesehatan dan kesejahteraan karyawan
Selama pandemi, sebagian besar karyawan (89%) mengalami kelelahan ekstrem (burn out), terutama di tengah keadaan yang terus berubah. Oleh karena itu, divisi HR & personalia memiliki pekerjaan rumah yakni berfokus pada peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan karyawan.
Ketika dua aspek tersebut tidak dijaga dengan seimbang, maka karyawan bisa mengundurkan diri untuk mencari alternatif lebih baik. Hal ini tecermin dalam fenomena “The Great Quits” yang sedang terjadi di Amerika Serikat.
Sebanyak 4,3 juta karyawan di Negeri Paman Sam mengundurkan diri hampir di saat bersamaan dan mengakibatkan kekacauan industri kerja.