7 Negara Diramal Resesi 2023, Apa Dampaknya ke Startup Indonesia?
Perusahaan Pialang Global Nomura Holdings memperkirakan ada tujuh negara yang masuk jurang resesi ekonomi tahun depan. Apa dampaknya ke startup Indonesia?
Ketua Asosiasi Modal Ventura Untuk Startup Indonesia (Amvesindo) Eddi Danusaputro menyampaikan, resesi akan berpengaruh terhadap likuiditas. “Terutama dari investor asing, ini membuat pendanaan berkurang,” kata dia kepada Katadata.co.id, Jumat (8/7).
Kondisi itu akan semakin menantang bagi startup yang ingin mendapatkan pendanaan atau fundraising.
“Kalau dulu mudah didapat, sekarang lebih sulit. Ini dampak ke startup Indonesia. Uang tidak ada,” ujar Eddi.
Selain karena resesi, pengetatan likuiditas terjadi karena dua faktor, yakni:
- Kebijakan moneter bank sentral di banyak negara
- Perang Rusia dan Ukraina yang berpengaruh terhadap suplai
Dia memperkirakan, pengetatan likuiditas itu terjadi dalam satu sampai dua tahun. “Saya tidak tahu juga. Ini perkiraan saja,” katanya pada Mei (27/5).
Sebelumnya, Nomura Holdings memperkirakan setidaknya ada tujuh negara yang jurang resesi dalam 12 bulan ke depan. Ini karena langkah agresif bank sentral untuk memperketat kebijakan moneter demi melawan lonjakan inflasi.
“Banyak bank sentral beralih ke mandat tunggal untuk menurunkan inflasi. Kredibilitas kebijakan moneter adalah aset yang terlalu berharga untuk hilang. Jadi mereka akan menjadi sangat agresif,” ujar Kepala Riset Pasar Global, Asia ex-Jepang Rob Subbaraman kepada “Street Signs Asia” CNBC, Kamis (7/6).
Sedangkan tujuh negara yang diprediksi mengalami resesi ekonomi tahun depan, yaitu:
- Amerika Serikat
- Zona Eropa
- Inggris
- Jepang
- Korea Selatan
- Australia
- Kanada
Dalam catatan penelitian, Nomura menggarisbawahi beberapa negara ekonomi menengah, termasuk Australia, Kanada, dan Korea Selatan, akan menghadapi masalah utang. Mereka berisiko mengalami resesi lebih dalam dari perkiraan, jika kenaikan suku bunga memicu kegagalan di sektor perumahan.
“Namun jika bank sentral tidak memperketat kebijakan moneter untuk menurunkan inflasi sekarang, akan ada rasa sakit bagi perekonomian karena berpindah ke rezim inflasi tinggi dan terjebak di sana," ujar Subbaraman.